Di apartemennya, Light duduk di sofa, menatap layar televisi yang menampilkan film acak yang tidak benar-benar ia tonton.
Ia membuka ponselnya, dan entah mengapa, tangannya hampir mengetik nama Celine di sebuah aplikasi sosial media.
Tapi dia berhenti.
"Apa gunanya?" gumamnya pada diri sendiri. "Dia sudah pergi, dan aku tidak punya alasan untuk mencarinya. Dia juga yang memutuskan ini.”
Light meletakkan ponselnya di meja dan bersandar di sofa, mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya sudah berlalu.
Tapi jauh di dalam hatinya, dia tahu bahwa Celine bukan hanya sekadar "iklan panas yang lewat" dalam hidupnya.
Wanita itu meninggalkan sesuatu—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, sesuatu yang samar tetapi nyata.
Dan meskipun Light mencoba melupakan, dia tahu bahwa bagian kecil dari dirinya akan selalu penasaran.
‘Siapa sebenarnya Celine? Dan apa yang akan mereka lakukan saat mereka bertemu lagi?’
*
*
*
*
Dua bulan berlalu sejak malam penuh gairah itu. Malam yang dimulai dengan alunan musik di pesta topeng dan diakhiri dengan sebuah keputusan impulsif yang membawa Arcene pada pengalaman yang tak terlupakan bersama pria asing bernama Light.
Arcene tidak pernah menyangka pria itu akan meninggalkan jejak yang begitu nyata di hidupnya.
Namun, pagi ini, saat dia berdiri di dapur kafenya, rasa mual yang tak tertahankan menyerangnya.
Arcene menutup mulut dengan cepat dan berlari ke kamar mandi, hampir tidak sempat menarik nafas sebelum muntah dengan hebat.
“Cene, kau baik-baik saja?” Maria, pemilik sekaligus sahabatnya, berdiri di ambang pintu kamar mandi, matanya penuh kekhawatiran.
Arcene berusaha mengatur napasnya, wajahnya terlihat pucat. “Aku tidak tahu, Maria. Perutku rasanya mual sejak pagi tadi. Dan kemarin aku juga merasakan hal yang sama. Kurasa ini karena aku salah makan kemarin.”
Maria memperhatikan Arcene dengan tatapan tajam, seperti sedang mencoba menghubungkan titik-titik yang terpisah dalam pikirannya. “Mual ... muntah ... sejak kemarin?” gumamnya pelan. Kemudian matanya melebar. “Cene, kau yakin ini bukan sesuatu yang lebih serius?”
“Apa maksudmu? Aku punya penyakit berbahaya? Begitu maksudmu?” Arcene mengerutkan dahi, mencoba memahami arah pembicaraan Maria.
Maria melipat tangan di d**a, ekspresinya berubah serius. “Cene, kau mungkin hamil. Apakah kau punya pacar? Aku tak pernah melihatnya selama ini. Apa kau …?”
Kata-kata itu menghantam Arcene seperti petir di siang bolong. Dia tertegun, menatap Maria dengan ekspresi tidak percaya. “H-hamil? Tidak mungkin. Itu ... itu tidak mungkin.”
“Tapi gejalanya menunjukkan ke arah itu, Cene,” Maria bersikeras. “Mual, muntah, lemas ... kau harus memeriksa kondisimu. Hei, apakah kau melakukan itu beberapa bulan lalu? Dengan siapa? Bukankah kau tak mau menikah dan punya anak dulu?”
Arcene menggeleng, mencoba menolak gagasan itu. “Aku tidak mungkin hamil, Maria. Aku ... aku hanya sedikit stres, mungkin makananku tidak cocok.”
Maria mengangkat alis, jelas tidak percaya. “Kau tak menjawab pertanyaanku, Cene. Kau tahu itu lebih dari sekadar stres. Dan jangan coba-coba menyembunyikan sesuatu dariku. Ingat, aku tahu tentang malam topeng itu, apakah kau melakukan one night stand dengan salah satu pria di sana?”
Wajah Arcene langsung memerah. Dia mencoba menyangkal, tapi tidak bisa berkata apa-apa.
Maria memang tahu tentang pesta topeng itu. Sebagai satu-satunya sahabat Arcene, Maria selalu menjadi tempat curhatnya, namun dia tak menceritakan tentang Light.
“Cene, kau harus tahu. Kalau kau benar kamu hamil, kau tidak bisa mengabaikannya,” ujar Maria tegas.
Akhirnya, setelah tekanan tanpa henti dari Maria, Arcene menyerah. Wanita itu beranjak dan pergi dari sana.
Maria menahan tangannya. “Jangan melakukan hal yang tidak-tidak, Cene. Kau harus tetap waras.”
Arcene hanya mengangguk dan kemudian dia pergi ke apotek yang tidak terlalu jauh dari kafe untuk membeli testpack.
*
*
Setelah membeli testpack, Arcene memutuskan untuk langsung pulang ke apartemennya dan tak kembali ke cafe karena Maria menjaga di sana.
Dalam perjalanan pulang, dia merasa seluruh tubuhnya gemetar. Pikirannya berputar-putar, mengingat malam itu.
Light, dengan senyumnya yang memabukkan, tatapan matanya yang penuh intensitas, dan ...
“Berhenti memikirkannya, Arcene,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba mengusir bayangan Light dari pikirannya.
Sesampainya di apartemen, Arcene langsung menuju kamar mandi. Dia memegang testpack di tangannya, menatap benda kecil itu dengan perasaan campur aduk. “Semoga hasilnya bukan seperti yang dikatakan oleh Maria,” katanya, berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
Beberapa menit berlalu, dan Arcene duduk di lantai kamar mandi, matanya terpaku pada sebuah kata yang muncul di testpack itu. Pregnant. Itu artinya dia positif hamil.
“Tidak mungkin,” bisiknya. Jantungnya berdebar kencang, rasa panik mulai menyeruak.
Dia menutup wajah dengan kedua tangannya, mencoba mencerna apa yang baru saja dia lihat.
*
*
Alih-alih tetap di apartemen, akhirnya Arcene memutuskan untuk kembali ke kafe.
Dia datang dengan wajah pucat. Maria langsung tahu hasilnya hanya dengan melihat ekspresi Arcene.
Maria menarik tangan Arcene dengan perlahan dan membawanya ke ruangan kantor.
“Kau hamil, kan?” tanya Maria tanpa basa-basi.
Arcene mengangguk pelan, matanya berkaca-kaca. “Aku ... aku tidak tahu harus bagaimana, Maria. Ini terlalu cepat. Aku bahkan tidak kenal pria itu dengan baik. Bagaimana aku bisa memberitahunya? Bagaimana aku menghadapi ini sendirian?”
Maria meraih tangan Arcene, memberinya sedikit kekuatan. “Kau tidak sendirian, Cene. Aku ada di sini untukmu. Tapi kau harus mengambil langkah selanjutnya. Kau tidak bisa membiarkan ini menggantung. Kau harus tetap memberitahunya. Dia ayah bayimu.”
“Tapi bagaimana jika dia tidak peduli? Bagaimana jika dia tidak menginginkanku, atau anak ini? Level kami jauh berbeda, Maria. Dia tak akan mengakui bahwa dia sudah tidur dengan wanita penjaga cafe. Itu akan memalukan baginya.” Arcene mulai menangis, rasa takut dan ketidakpastian menyelimuti dirinya.
Maria menghela napas panjang. “Kau tidak tahu itu sampai kau mencoba, Cene. Jika mungkin pria asing itu tak mengakuinya, kau bisa meminta biaya untuk bayimu dengan cara tes DNA. Meskipun dia muncul di hidupmu sesaat, tapi dia juga bagian dari ini. Dia berhak tahu dan bertanggung jawab.”
Arcene terdiam, mencoba mengatur pikirannya yang berantakan. Dia tahu Maria benar, tapi keberanian untuk menghadapi kenyataan itu terasa begitu jauh dari jangkauannya.
“Cene, apapun yang terjadi, kau harus memberitahunya.”
“Aku bahkan tak tahu dia berasal dari mana. Aku hanya tahu nama depannya, tidak dengan nama belakangnya. Aku masih bingung dengan semua ini, Maria.”
Maria kemudian memeluknya, memberinya kekuatan pada Arcene yang merasa bahwa dia menanggung beban ini sendirian.
“Aku sahabatmu, Cene. Kau tak akan sendirian. Aku akan menemanimu.”