Kontraksi

1761 Words
Pagi itu, setelah Arcene menjatuhkan nampan berisi pesanan pelanggan karena tangannya gemetar, Maria akhirnya menariknya ke dapur. “Cene, kita harus bicara,” kata Maria dengan nada tegas, meskipun matanya memancarkan kelembutan. “Aku tak apa-apa, Maria,” jawab Arcene cepat, mencoba tersenyum meskipun jelas terlihat lelah. “Tidak, Cene. Kau jelas tidak baik-baik saja,” potong Maria. “Kamu kelelahan. Aku tahu kau keras kepala dan ingin membuktikan kalau kau bisa melakukan semuanya sendiri. Tapi sekarang bukan waktunya untuk itu. Kau harus memikirkan kesehatanmu dan calon bayi-bayimu.” Arcene terdiam, menundukkan kepalanya. Ia tahu Maria benar, tapi rasa bersalah dan keras kepalanya terus menghalanginya untuk menyerah. “Maria, aku tak punya pilihan,” kata Arcene akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Aku harus tetap bekerja. Aku butuh uang untuk mereka nanti.” “Tapi kalau kau terus memaksakan diri seperti ini, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri. Dan tabunganmu sudah sangat cukup untukmu dan anak-anakmu nanti. Tak perlu memikirkan untuk membeli rumah lagi dan fokuslah pada dirimu dan bayi kembarmu,” jawab Maria lembut. “Dengar, aku ingin kau mengikuti saranku kali ini saja. Kau tahu rumah di desa yang dulu milik orang tuaku, kan? Rumah itu kosong sekarang. Kau bisa tinggal di sana untuk sementara waktu. Fokus saja pada kehamilanmu untuk saat ini. Aku tak punya saudara dan kau sudah kuanggap sebagai saudaraku. Jadi pakailah rumah itu sampai kapanpun kau mau.” Arcene mengerutkan kening, jelas terkejut dengan tawaran itu. “Maria, aku tak bisa melakukan itu. Aku tak mau semakin membebanimu. Kau sudah memberiku sewa gratis di cafe ini, dan sekarang kau memberikan rumahmu untuk kutinggali dengan gratis lagi? Itu membuatku—“ “Kau tak membebaniku, Cene,” potong Maria dengan cepat. “Rumah itu kosong, dan aku lebih senang kalau ada yang menggunakannya daripada dibiarkan begitu saja. Lagipula, ini bukan hanya untukmu. Ini juga untuk calon anak-anakmu,” kata Maria dengan tegas. Arcene menggeleng pelan, air mata mulai mengalir di pipinya. Maria meraih tangan Arcene dan menggenggamnya erat. “Cene, kadang kita harus membuat pilihan sulit untuk saat ini, supaya kita bisa bertahan. Kalau kau terus memaksakan diri seperti ini, apa kau yakin masa depan itu masih ada? Pakai tabunganmu mulai sekarang. Kau bisa mulai menabung lagi nanti. Yang penting, kau dan bayi-bayimu sehat.” Arcene terisak, merasa hatinya berat untuk menerima kenyataan ini. Tapi di lubuk hatinya, dia tahu Maria benar. Keputusan ini bukan tentang dirinya lagi. Ini tentang dua kehidupan yang sepenuhnya bergantung padanya. * * Seminggu kemudian, Arcene memutuskan untuk menerima tawaran Maria. Ia mengemasi barang-barangnya dengan berat hati, merasa seolah meninggalkan segala yang pernah dia bangun di kota ini. Tapi Maria terus memberinya semangat, bahkan ikut membantunya pindah ke rumah itu. Maria akan mengelola cafe itu bersama beberapa pegawai lain. Dia akan melanjutkan perjuangan Arcene dalam membesarkan cafe itu dan tetap membagi keuntungan pada Arcene. * * Rumah orang tua Maria di desa itu cukup sederhana, tapi nyaman dan lumayan besar. Terletak di pinggir hutan kecil dengan pemandangan yang menenangkan, rumah itu terasa seperti pelarian sempurna dari hiruk-pikuk kota. “Ini mungkin tidak mewah, tapi aku yakin kau akan nyaman di sini,” kata Maria sambil membantu Arcene meletakkan koper di kamar utama. “Dulu orang tuaku membangun beberapa penginapan di belakang, kau mungkin bisa menghidupkan penginapan itu lagi jika mau. Biasanya beberapa pendaki atau pelancong akan menginap,” lanjut Maria. “Tapi untuk saat ini, kau tak perlu memikirkan itu dulu. Kau harus fokus pada kehamilanmu dulu.” Arcene mengangguk pelan, matanya berkeliling ruangan. “Terima kasih, Maria. Aku benar-benar tak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu.” Maria tersenyum lembut. “Kau tak perlu berterima kasih. Aku cuma melakukan apa yang seorang sahabat harus lakukan. Sekarang, fokus saja pada dirimu dan bayi-bayimu, oke?” Arcene mengangguk lagi, kali ini dengan senyum kecil di wajahnya. Meski hatinya masih berat, dia mulai merasa sedikit lega. “Oh ya, aku juga akan memberitahumu tentang Paman Berto. Dia adalah penjaga kuda milik orang tuaku. Dia masih sehat dan kau bisa meminta bantuan padanya jika membutuhkan. Dia tinggal tak jauh dari sini bersama anak dan istrinya.” Arcene mengangguk dan tersenyum lagi. * * Hari-hari di desa itu berjalan lambat, tapi memberikan Arcene ruang untuk bernapas. Ia menghabiskan waktu dengan membaca buku, berjalan-jalan di sekitar rumah, dan belajar memasak makanan sehat untuk dirinya sendiri. Namun, meskipun dia mencoba menikmati ketenangan itu, Arcene sering merasa kesepian. Di malam hari, ketika angin berbisik di luar jendela, pikirannya sering melayang ke masa depan. Bagaimana dia akan membesarkan dua anak sendirian? Apakah dia akan mampu memberikan mereka kehidupan yang layak? Suatu malam, dia duduk di beranda dengan secangkir teh hangat di tangannya. Perutnya yang semakin membesar mulai terasa bergerak, membuatnya tersenyum kecil meskipun matanya berkaca-kaca. “Kalian benar-benar membuatku kuat, ya,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada bayi-bayinya. “Aku tak tahu bagaimana caranya nanti, tapi aku janji akan melakukan yang terbaik untuk kalian.” * * Maria terus mengunjungi Arcene setiap dua minggu sekali, membawa bahan makanan atau sekadar menghabiskan waktu bersama sahabatnya. Ia memastikan Arcene tidak merasa terlalu kesepian, meskipun Maria juga tahu bahwa ada banyak hal yang Arcene sembunyikan di hatinya. “Kau kelihatan lebih baik sekarang,” kata Maria suatu siang saat mereka duduk di dapur. Arcene tersenyum kecil. “Mungkin karena aku akhirnya punya waktu untuk bernapas.” Maria mengangguk, ikut tersenyum. “Itu bagus. Tapi aku tetap ingin kau ingat, kalau kau butuh apa pun, aku selalu ada.” “Terima kasih, Maria,” jawab Arcene tulus. “Kau tak tahu betapa berartinya ini buatku.” Maria menatap Arcene lama, sebelum akhirnya bertanya, “Apa kau pernah berpikir kembali untuk memberitahu pria itu?” Arcene menggeleng cepat, wajahnya berubah tegang. “Maria, kita sudah bicara soal ini. Aku tak akan melakukannya.” Maria menghela napas, tapi memutuskan untuk tidak memaksa lagi. Ia tahu bahwa keputusan itu sepenuhnya ada di tangan Arcene, dan yang bisa dia lakukan hanyalah mendukung apa pun yang sahabatnya pilih. * * Bulan demi bulan berlalu, kandungan Arcene mulai membesar dan membuatnya sedikit susah bergerak. Suatu malam, Arcene terbangun di tengah malam oleh rasa sakit yang menusuk di perutnya. Ia mengerang pelan sambil memegang perut yang terasa kencang. Keringat dingin mulai membasahi dahinya, dan napasnya terasa memburu. “Apa ini?” bisiknya sambil mencoba duduk. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul dua pagi. Ini seharusnya belum waktunya. Operasi caesarnya dijadwalkan dua minggu lagi. Dokter sudah menegaskan bahwa kehamilannya, yang penuh risiko karena membawa bayi kembar, harus ditangani dengan hati-hati. Namun, rasa sakit itu semakin intens, membuatnya panik. Dengan tangan gemetar, dia meraih ponsel di meja samping tempat tidur. Ia hanya punya kontak satu orang untuk dihubungi, yaitu Paman Berto, tetangganya yang sudah menganggapnya keluarga. “Paman Berto … tolong … aku butuh bantuan …” Arcene terengah-engah saat menelepon. “Arcene? Ada apa? Kau baik-baik saja?” suara berat Paman Berto terdengar jelas, penuh kekhawatiran. “Perutku … sakit sekali. Aku rasa ini kontraksi … bisakah Paman mengantarku ke rumah sakit malam ini juga?” Tanpa banyak tanya, Paman Berto langsung menyanggupi. "Tunggu di sana, aku akan segera ke rumahmu!" * * Beberapa menit kemudian, suara mesin mobil tua terdengar mendekat. Arcene berjalan perlahan keluar rumah, tubuhnya masih gemetar karena rasa sakit yang semakin intens. Paman Berto keluar dari mobil dan segera membantunya masuk ke kursi penumpang. “Tenang, Arcene. Kita akan segera sampai di rumah sakit,” kata Paman Berto sambil mencoba menenangkan. Mobil tua itu bergerak perlahan melintasi jalan desa yang gelap. Setiap kali Arcene mengerang kesakitan, Paman Berto mempercepat laju mobil, meskipun mesinnya terdengar berat menahan kecepatan. Namun, di tengah perjalanan, mesin mobil tiba-tiba mengeluarkan suara aneh. Lalu, mobil itu berhenti. “Tidak, tidak sekarang …” Paman Berto menggerutu sambil mencoba menyalakan kembali mesin. Tapi usahanya sia-sia. Mobil itu benar-benar mogok. Arcene menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. “Apa yang harus kita lakukan, Paman?” tanyanya dengan suara gemetar. Paman Berto keluar dari mobil dan berdiri di pinggir jalan. Ia mulai melambaikan tangan, mencoba menghentikan kendaraan yang lewat. Tapi jalanan itu sepi, dan beberapa kendaraan yang melintas tidak berhenti. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Arcene merasa putus asa, hingga akhirnya, sebuah SUV hitam berhenti di depan mereka. * * Seorang pria dan wanita paruh baya keluar dari mobil. Mereka tampak seperti pasangan suami istri. Pria itu berjalan mendekati Paman Berto, sementara wanita itu menghampiri Arcene yang masih duduk di kursi penumpang dengan wajah pucat. “Apa yang terjadi? Apa kau akan melahirkan, Nona?” tanya wanita itu dengan nada cemas dan Arcene mengangguk dengan ekspresi kesakitan. “Dia sedang kontraksi. Kami dalam perjalanan ke rumah sakit, tapi mobil kami mogok,” jelas Paman Berto. “Masukkan dia ke mobil kami. Kami akan mengantarnya ke rumah sakit,” pria itu langsung menawarkan bantuan tanpa ragu. Wanita itu membantu Arcene keluar dari mobil dan membimbingnya masuk ke SUV. Arcene, yang sudah terlalu lelah dan kesakitan, hanya bisa mengangguk lemah sebagai tanda terima kasih. “Kami akan sampai di rumah sakit dalam waktu singkat. Tenang saja,” kata pria itu, berusaha menenangkan Arcene sambil mempercepat laju mobil. * * Setelah perjalanan yang terasa seperti berabad-abad, mereka akhirnya tiba di rumah sakit. Petugas medis segera membawa Arcene ke ruang gawat darurat dengan brankar. Wanita yang membantu Arcene tadi menahan lengannya, memberikan dukungan moral. “Kami akan di sini. Jangan khawatir. Kau dan bayimu akan baik-baik saja,” kata wanita itu dengan lembut sebelum Arcene dibawa masuk ke ruang operasi. Arcene merasa dunia di sekitarnya mulai memudar. Rasa sakit di perutnya semakin kuat, tetapi dalam pikirannya hanya ada satu hal, bayi-bayi kembarnya. Ia menggenggam perutnya dengan penuh harap, meskipun tubuhnya lemah. “Ya, semuanya akan baik-baik saja …,” gumamnya, lebih seperti meyakinkan dirinya sendiri. “Kami akan tetap menunggumu di sini sampai keluargamu datang menyusul. Tenanglah,” kata wanita itu lagi ketika para perawat mengantar Arcene ke ruangan khusus. “Aku tak punya keluarga, jadi kalian bisa pergi. Aku akan baik-baik saja. Terima kasih banyak,” sahut Arcene terbata. Hati wanita paruh baya itu seperti tertusuk ketika mendengar ucapan Arcene yang begitu menyayat hati. “Kalau begitu, kami akan menunggumu di sini sampai semuanya selesai dan bayimu lahir. Jangan mengkhawatirkan biayanya, oke?” Arcene menangis dan air matanya semakin jatuh tak tertahankan, ditambah dengan rasa sakit dari kontraksi yang semakin sering dirasakannya. “Siapa nama kalian?” tanya Arcene pada wanita itu dan suaminya yang ada di belakangnya. “Aku Kei, dan dia Landon Romanov—suamiku.” “Aku akan selalu mengingat jasa besar kalian,” bisik Arcene sebelum akhirnya pintu ruangan itu tertutup dan mereka terpisah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD