Amelia tidak mendebat lagi, dan memutuskan untuk menunggu. Semoga Leila benar. Ruangan itu sunyi. Amelia duduk di atas sofa empuk berlapis beludru abu-abu, lututnya ditarik ke d@da dan dipeluk erat, seolah cara itu bisa menahan gejolak rasa cemas yang terus membara. Rambut cokelatnya tergerai berantakan, beberapa helai menutupi wajah pucatnya. Pintu terbuka perlahan. Leila masuk sambil membawa nampan perak yang tertata rapi—semangkuk sup hangat yang masih mengepul, beberapa potong roti, dan segelas jus jeruk. Aroma kaldu semerbak langsung memenuhi ruangan, mencoba mengusir kesunyian yang pekat. “Nona,” suara Leila terdengar lembut, penuh bujukan. Ia meletakkan nampan itu di meja rendah di depan sofa. “Sudah lewat jam makan siang. Setidaknya makanlah sedikit. Sup ini masih hangat.” Amel

