Mahesa terdiam, napasnya memburu. Matanya membulat, menatap kosong ke depan seolah berusaha mengolah semua kenyataan yang baru saja dipaparkan Berlian. “Cemara ... terlibat?” Suaranya lirih, nyaris tak terdengar. Tangannya mengepal tanpa sadar. Potongan-potongan memori yang sebelumnya terasa terpisah kini mulai menyatu, membentuk gambaran yang utuh—pengkhianatan, rencana tersembunyi, dan dirinya yang dijadikan umpan. “Aku ... dijebak,” ucap Mahesa, nyaris seperti gumaman pada dirinya sendiri. “Selama ini aku kira hanya hilang ingatan biasa ... tapi ternyata semua ini lebih besar dari dugaanku.” Berlian mendekat, menyentuh pundaknya dengan lembut. “Kita bisa ungkap semua ini bersama. Kamu nggak sendirian, Mahesa.” Mahesa menoleh padanya. Matanya basah, bukan karena takut—tapi karena