Mahesa menghentikan mobilnya perlahan di pinggir jalan, matanya tak lepas dari sosok itu. Jantungnya berdetak cepat, gemetar oleh perasaan yang sulit dijelaskan—antara marah, takut, dan kebingungan yang mengguncang hati. Sosok di seberang jalan itu berbalik, menatap lurus ke arahnya. Cemara. “Cemara!” serunya memanggil. Ia berdiri diam dengan gaun hitam sederhana, wajahnya datar, namun tatapannya tajam menembus da-da Mahesa. Seolah tahu pria itu baru saja mengingat sebagian masa lalu mereka. Dunia sekitar terasa hening, hanya detak jantung Mahesa yang terdengar di telinganya. Mahesa membuka pintu mobil, melangkah keluar dengan napas memburu. Tapi saat dia baru menjejakkan kaki di trotoar, Cemara perlahan berbalik dan mulai melangkah menjauh, menyelinap di antara deretan mobil dan pejala