Keesokan paginya, Meylin terbangun dan terkejut melihat jam dinding menunjukkan hampir pukul delapan. Semalam ia tidur begitu nyenyak, untuk pertama kalinya setelah berhari-hari kekurangan tidur. Tubuhnya terasa sedikit lebih segar, meski hati masih diliputi banyak kegundahan.
Tiba-tiba, ponsel di atas nakas berbunyi. Nomor asing tertera di layar. Meylin sempat ragu, hendak mengabaikannya. Namun ada dorongan samar dalam dirinya yang membuatnya akhirnya menekan tombol hijau.
“Meylin… maafkan aku. Jangan tutup dulu. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” suara itu terhubung. Suara yang sangat familiar. Suara yang dulu pernah begitu ia percaya.
Meylin terdiam. Ia tidak menyangka Andi berani menghubunginya lagi, setelah semua yang terjadi, setelah pengkhianatan yang tanpa sengaja ia lihat sendiri, pengkhianatan yang dilakukan Andi dengan teman sekamarnya.
Dadanya terasa sesak. Emosi lama yang belum sepenuhnya sembuh kembali menguar, membuat jemarinya perlahan mengepal di atas selimut.
Kejadian enam bulan yang lalu kembali berputar di kepalanya, seperti rekaman yang tidak pernah bisa ia hilangkan. Perasaan jijik langsung menyergap, seolah-olah waktu tidak pernah benar-benar menyembuhkan luka itu. Ia masih bisa membayangkan jelas bagaimana tubuh-tubuh itu meliuk, bergerak beriringan, padahal tanpa status, tanpa aturan, tanpa malu, di tempat yang selama ini ia anggap rumah keduanya. Momen itu bukan hanya menyakitkan, tapi juga merusak kepercayaan yang dulu ia jaga sepenuh hati.
******
Byantara menatap jam dinding sekali lagi. Pukul delapan lewat sedikit. Terlalu siang untuk seorang Meylin yang ia kenal sebagai gadis rapi, teratur, bahkan dalam pandangan ibunya, gadis yang sempurna. Meylin yang setiap pagi sudah siap sebelum matahari naik, Meylin yang dengan sopan menyapa semua orang di rumah besar itu sebelum orang-orang lain membuka mata. Lalu, kenapa hari ini tidak ada tanda-tanda kehidupannya sama sekali?
Pikiran Byantara berkecamuk.
Apakah semua sikap baiknya selama ini hanya topeng untuk menyenangkan ibuku? Apakah sifat anggun dan tertibnya hanya pura-pura demi mendapat tempat di hati ibu? Atau… justru ada alasan lain? Apakah dia benar-benar tidak sehat?
Rasa curiga, penasaran dan kekhawatiran saling bertarung dalam dirinya. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, Byantara memutuskan untuk naik. Ia menapaki anak tangga satu per satu, menuju kamar yang ditempati Meylin. Langkahnya pelan, tapi hatinya penuh tanya. Ia tidak ingin mengganggu, namun lebih takut jika justru ada sesuatu yang benar-benar terjadi pada perempuan itu.
Sampai di depan kamar, Byantara terdiam sejenak. Ia mengangkat tangannya, hendak mengetuk pintu, namun mengurungkannya kembali. Jika Meylin masih tidur, suara ketukan bisa mengganggunya. Ia ragu, tetapi akhirnya memutar gagang pintu secara perlahan. Ternyata tidak dikunci. Mungkin Meylin memang takut ia akan naik dan mendadak ingin tidur di kamar itu, atau mungkin Meylin masih belum merasa sepenuhnya aman di rumah ini.
Dengan hati-hati, Byantara membuka sedikit pintu dan mengintip. Pandangannya langsung tertuju pada sosok di atas tempat tidur. Meylin tidak sedang tidur. Ia duduk dengan tubuh tegak, masih memakai gaun tidur tipis dengan rambut yang tergerai alami di bahunya.
Meylin membelakangi pintu, tenggelam dalam percakapan, atau mungkin sekadar mendengarkan melalui telepon.Dan tanpa pikir panjang, rasa penasaran muncul dalam diri Byantara.
Siapa yang sedang menghubungi istrinya di pagi hari, saat bahkan ia sendiri belum berbicara kepada Meylin sejak semalam?
Ada dorongan kuat untuk masuk dan bertanya, bahkan mungkin merebut ponsel itu. Namun Byantara menahan diri. Ia baru saja menuduh dalam hati. Ia baru saja membentengi dirinya dengan kesimpulan-kesimpulan yang penuh curiga. Menyelinap masuk tanpa izin akan menjadi tindakan bodoh, apalagi jika ternyata Meylin sedang bicara dengan dokter, teman dekat, atau keluarganya.
Tapi Byantara juga tidak ingin pergi, rasa penasaran akhirnya membuat Byantara masuk perlahan, sementara Meylin sama sekali tidak menyadari Byantara sudah berada di belakangnya dan ikut mendengarkan apa yang tengah dia bicarakan.
*******
Meylin menahan napasnya. Untuk beberapa detik, ia hanya terdiam. Suara itu, suara yang dulu begitu ia rindukan, yang dulu bisa membuatnya tersenyum tanpa alasan, kini justru membuat dadanya terasa sesak. Tangannya refleks meremas selimut.
“Andi…?” Suaranya pelan, hampir seperti bisikan, seakan ia takut kenangan lama akan berhamburan keluar hanya karena menyebut nama itu.
“Meylin, tolong… dengarkan aku dulu. Aku tahu aku salah, aku menyesal. Aku benar-benar menyesal. Aku sudah kembali ke Indonesia, aku ingin bertemu denganmu. Hanya sebentar saja. Kumohon, beri aku kesempatan untuk jelaskan semuanya.” Suara Andi terdengar memohon, rendah, dan penuh tekanan.
Meylin memejamkan mata, mencoba mengendalikan diri. Kenangan itu berdatangan: tawa bersama, belajar berdua, janji-janji masa depan yang dulu terasa begitu meyakinkan. Tapi kini... semuanya sudah retak. Hatinya tidak lagi sama. Bahkan dia sudah menikah saat ini.
“Andi, apa yang ingin kau jelaskan? Bukankah semuanya sudah jelas?” ujar Meylin akhirnya, suaranya bergetar namun tegas. "Kau mengkhianati aku. Dengan Rose. Teman sekamarku sendiri. Aku melihatnya… aku mendengar semuanya. Tidak ada satu pun yang tersisa untuk dijelaskan.”
“Mey… itu salahku. Aku t***l. Aku dipermainkan. Aku...Aku digoda Rose”
“Sudah, Andi.” Meylin memotong, kini suaranya dingin, tegas. “Kalau ini soal penyesalan, aku sudah tahu. Tapi penyesalanmu tidak akan merubah apa pun. Aku sudah tidak peduli. Aku sudah hidup dengan nyaman tanpamu."
"Tapi.,.Bukankah kita sudah berjanji, begitu sampai Indonesia aku akan melamar mu. Aku harus memenuhi tanggung jawab ku karena sudah berjanji pada mu," ujar Andi.
"Itu bukan tanggung jawab mas Andi. Perjanjian itu sudah tidak ada semenjak hari itu.Jadi, tolong… jangan hubungi aku lagi.Aku sudah menikah, kuharap ini terakhir kalinya kamu menghubungi aku!”
Keheningan memenuhi saluran telepon. Hanya terdengar napas Andi yang tersengal, seakan menahan gejolak. Lalu…
“Meylin… aku masih mencintaimu. Aku akan datang... aku akan ke rumahmu hari ini, apa pun yang terjadi. Kau jangan berbohong pada ku, mana mungkin kamu menikah secepat itu!”
"Percuma mas Andi, aku sudah tidak berada di rumah ibuku, aku sudah menikah, saat ini aku tinggal bersama suamiku. Aku tidak peduli kamu mau percaya atau tidak, urusan mu tidak ada hubungannya dengan ku lagi. Jangan mencari ku lagi!" ujar Meylin dengan marah.
Klik.
Sambungan terputus.
Meylin menatap layar ponsel yang kembali gelap. Dalam hatinya ada sesuatu yang bergerak, bukan cinta, bukan rindu, melainkan kegelisahan. Dia tahu Andi dulu orang yang keras kepala dan agak nekad. Andi pasti akan berusaha mencari keberadaannya. Untung saja dia sudah menikah dengan Byantara dan tinggal di pinggiran kota, sehingga kesempatan mereka bertemu sedikit.
Meylin bukannya takut, tetapi dia lebih suka kehidupan yang tenang dan tidak banyak masalah.
Apakah hidupnya yang tenang ini akan kembali diusik? Apakah masa lalu yang sengaja ia kubur dalam akan kembali menghantuinya?
Ia menghembuskan napas panjang. Membiarkan pikirannya kembali jernih.
Namun satu hal kini jelas: hidupnya yang baru tidak seharusnya diganggu oleh seseorang dari masa lalu.
Terlebih… ia sudah menjadi istri orang. Meskipun suaminya sendiri bahkan belum benar-benar menerima kehadirannya.
Sementara itu Byantara yang sejak tadi sudah berdiri di belakang Meylin, mendengar apa yang diucapkan Meylin, tetapi tidak mendengar ucapan dari Andi. Namun suara laki-laki dari seberang telepon terdengar samar dan cukup jelas untuk membuat jantungnya menegang. Nada suara itu terdengar akrab… seolah bukan sekadar percakapan biasa.
Sejenak, akal sehat dan rasa curiga dalam benaknya beradu. Bara kecurigaan yang semalam ditekan, kini kembali menyala.
Laki-laki? Di pagi hari? Setelah ia muntah-muntah tadi malam? Apakah semua ini bukan kebetulan?
Byantara memejamkan matanya sejenak. Ia tahu tidak sepantasnya menguping, tidak sopan, apalagi tanpa izin masuk ke ruang privat Meylin. Tapi logikanya kalah oleh rasa waspada. Ia sudah terlalu banyak menahan prasangka. Terlalu banyak diam, terlalu banyak bertanya-tanya dalam hati.
Suara Meylin terdengar pelan, seperti sedang menahan sesuatu.
“Aku sudah hidup nyaman tanpa mu”
“Jangan hubungi aku lagi.”
“Itu bukan tanggung jawab mas Andi.”
"Jangan mencari ku lagi"
Nama itu, Andi.
Dada Byantara serasa dihantam. Nama asing yang sarat makna. Dan kini, ia tidak punya lagi alasan untuk berpura-pura tidak tahu.
Meylin bukan hanya sembunyikan sesuatu darinya... tapi sepertinya dia juga masih menyambung komunikasi dengan laki-laki lain.
Walaupun ia tahu tujuan akhir pernikahan mereka hanya menuju perpisahan, perasaan tidak rela tetap menyelinap dalam hatinya ketika merasa Meylin telah berbohong. Mungkin beginilah ego seorang pria bekerja, dia sendiri tidak merasa bersalah saat menyusun rencana bersama Dewi, namun saat mendengar istrinya berbicara dengan laki-laki lain, amarahnya justru memuncak. Hatinya seperti disulut api, seakan yang berhak mengkhianati hanya dirinya, bukan Meylin.
Tanpa sadar, dia menghela nafas mencoba menekan perasaan yang sesak dan curiga. Suasana kamar saat itu begitu hening, Meylin tersentak menoleh.
Jantung Byantara semakin mengetat. Wajah Meylin tampak terkejut, pucat dan bingung menatap sosok suaminya yang kini berdiri tepat di belakangnya.
Seketika itu juga, seluruh pertanyaan yang selama ini ditahannya pecah dalam tatapan Byantara. Kata "tanggung jawab" kembali berputar-putar di kepalanya, belum pernah sedemikian berat dan memuakkan. Ia terlalu sering memikirkannya belakangan ini, namun kini semua terasa jauh lebih jelas, sekaligus lebih kelam.
Jangan-jangan dugaanku benar selama ini.
Meylin sudah hamil. Dia butuh seorang laki-laki untuk menjadi tamengnya, untuk memberi nama pada anak yang bukan darahku.
Dan seketika itu, semua potongan teka-teki dalam pikirannya seolah menemukan tempatnya:
Ia menikah dalam waktu singkat, tanpa banyak bertanya dan permintaan. Ia tidak pernah menolak meski harus dibawa ke tempat terpencil. Ia tidak pernah protes meskipun diperlakukan dingin. Bahkan, tadi malam… ia muntah-muntah.
Bayangan itu membuat darah Byantara berdesir.
Licik, perempuan ini licik. Begitu batinnya terus berteriak.
Meski wajahnya terlihat polos dan jujur, tingkah lakunya anggun dan lembut, dia pasti hanya berpura-pura. Semua kebaikan dan keanggunan itu tampaknya hanya topeng untuk menjebaknya.
Untung aku sudah punya janji pada Dewi.
Untung aku tidak mudah termakan pesona Meylin.
Seketika itu, bayangan-bayangan saat mereka masih tinggal di tempat ibunya menyeruak. Meylin dengan pakaian tidurnya yang lembut, kadang terlalu tipis, terlalu menggoda. Meylin yang tanpa ragu naik ke atas ranjang dan tidur di sebelahnya, tanpa canggung sedikit pun.
Saat itu, Byantara sempat terpengaruh. Ia berusaha menahan hasratnya dengan bersikap dingin dan menjaga jarak. Bagaimanapun juga, ia hanyalah seorang pria normal dengan darah dan keinginan yang mengalir. Tapi semakin ia menahan diri, semakin pula ia merasa Meylin sedang "menawarkan diri". Seolah-olah perempuan itu begitu percaya bahwa dengan kecantikan wajah dan lekuk tubuhnya, ia bisa membuat Byantara menunduk, jatuh, dan menyerah. Bagi Byantara, semua itu kini tampak seperti godaan yang terencana, sebuah upaya halus untuk memaksanya menjalankan “tugas sebagai suami”.
Padahal… Meylin sama sekali tidak tahu.
Tidak peduli seberapa manis ia bersikap, seberapa cantik ia tampak, atau seberapa sabar ia menahan marah… Byantara sudah berjanji pada Dewi. Hatinya sudah terikat. Dan kini, semua kecurigaan itu membentuk satu kesimpulan yang membuat Byantara menjaga hatinya dari pesona Meylin.
Meylin hanyalah seorang perempuan yang berusaha memanipulasi. Dengan wajah suci, tapi hati penuh tipu daya, pikir Byantara.
Yang tidak Byantara tahu adalah: semua itu dilakukan Meylin bukan karena permainan, bukan karena kelicikan. Meylin hanya berusaha menjadi istri yang baik. Membaca buku demi memahami bagaimana cara menyenangkan suami. Ia hanya ingin dicintai, ingin pernikahan mereka berjalan baik.
Namun, niat tulus itu kini berubah menjadi sumber prasangka. Di dalam hatinya, kecurigaan kecil yang dulu hanya seperti benih, kini tumbuh menjadi sesuatu yang gelap dan berbahaya, seolah siap meledak kapan saja. Byantara merasa, apa yang awalnya hanya dugaan, perlahan menjelma menjadi kenyataan yang tidak bisa lagi ia abaikan.
Aku ingin tahu, sampai kapan kamu bisa menyembunyikan kebohongan itu. Percayalah, aku akan menunggu, bukan karena aku tidak tahu, tapi karena aku ingin melihat sampai sejauh mana kamu berani bermain api.
Bersambung......