10. Sampai kapan aku harus menunggu?

1307 Words
Setelah beberapa saat suasana kamar diliputi keheningan, akhirnya Meylin berhasil menguasai diri. "Maaf, Mas. Aku bangun kesiangan. Mas Byan sudah sarapan? Kalau belum, biar aku cepat bersiap dan membuatkan sarapan yang sederhana," ucap Meylin dengan suara tenang. Ia kembali bertingkah biasa, karena merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Ia hanya terkejut saat mendapati Byantara muncul tanpa suara di kamarnya. Tidak ada sedikit pun kecurigaan di dalam benaknya. Namun berbeda dengan Byantara. Sejak awal ia sudah memandang Meylin dengan prasangka buruk. Maka, ketika melihat istrinya mampu menenangkan diri begitu cepat, kecurigaannya justru semakin menjadi. Begitulah, jika seseorang menilai orang lain dengan ukuran dirinya sendiri. Berbekal sikap tenangnya, Meylin pun mulai bangkit dari tempat tidur, merapikan rambutnya sekadarnya, lalu berjalan menuju lemari pakaian tanpa sedikit pun menatap Byantara lagi. Seolah-olah kejadian barusan bukan sesuatu yang perlu dipersoalkan. “Silakan mas, tunggu di ruang makan saja. Tidak akan lama,” ujarnya sambil menunduk sopan, seperti seorang istri yang tahu apa yang harus dilakukan. Byantara masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Meylin yang tampak begitu tenang dan tanpa beban. Sesuatu dalam dirinya terasa mengganjal, antara kagum dan curiga. Ia sudah bersiap mendengar alasan atau permintaan maaf yang gugup, tapi perempuan itu malah menunjukkan pengendalian diri yang luar biasa. Jika sebelumnya keraguan hanya seujung rambut, kini semakin tebal. Perempuan ini... terlalu tenang, atau...terlalu terlatih? Setelah berpikir sejenak, Byantara menyadari bahwa dirinya dan Meylin sebenarnya tidak berbeda jauh. Sama seperti Meylin yang masih menerima telepon dari orang-orang di masa lalunya, Dewi pun masih kerap menghubunginya, bahkan terkadang merayunya tanpa sungkan. Bahkan dia dan Dewi memiliki rencana yang tidak baik. Meski hal itu mengusik hatinya, Byantara memilih diam. Ia tidak ingin memperpanjang urusan yang hanya akan menimbulkan konflik baru. Tanpa sepatah kata pun, Byantara keluar dari kamar Meylin. Suara pintu yang ditutup sedikit keras membuat Meylin terperanjat. Ia pun membalikkan badan dan menatap pintu yang kini menutup rapat, seakan menjadi batas tegas di antara mereka. Tatapannya merendah pada baju tidur tipis yang masih ia kenakan, sesuatu yang dulu begitu ia sukai karena terasa nyaman. Namun setelah menikah, Meylin tidak pernah merasa bebas dan nyaman mengenakannya. Terlebih karena sejak hari pertama pernikahan, Byantara belum pernah sekalipun menyentuhnya, apalagi menunjukkan ketertarikan padanya. Ada rasa malu yang menelusup dan harga diri yang tercuil, ketika ia membayangkan tatapan acuh tidak acuh Byantara pada dirinya yang sudah selalu berusaha berpenampilan menarik di hadapan sang suami. Yang lebih menyakitkan bagi Meylin bukanlah jarak fisik di antara mereka, melainkan sikap Byantara yang sama sekali tidak peduli. Bahkan saat ponselnya berdering tadi, Byantara tidak pernah bertanya siapa yang menelpon. Tidak ingin tahu, seolah dirinya bukan sesuatu yang patut dipahami atau dijaga. Padahal, dalam hatinya, Meylin ingin sekali bercerita. Tentang masa lalunya, tentang alasan kenapa ia begitu membenci lelaki yang tidak setia. Tapi ia sadar, menceritakan semua itu pada seseorang yang tidak pernah berusaha tahu, hanya akan membuatnya tampak seperti sedang menyombongkan diri, seakan mengatakan bahwa ia adalah perempuan yang banyak dicintai. Dan itu bukanlah dirinya. Dengan helaan napas yang berat, Meylin melangkah menuju kamar mandi. Hari sudah siang, dan meski ada kecewa yang menyesakkan, ia tetap memilih menjalankan perannya sebagai seorang istri. Bagaimanapun perasaannya, ia tidak akan membiarkan suaminya beraktivitas dalam keadaan lapar. “Walau hati ini sering dibiarkan kosong,” batinnya lirih, “tugasku tetap mengisi meja makan. Meski mungkin mas Byan tidak terlalu mempermasalahkan hal seperti itu, itu sudah kewajibanku.” Dan dalam sunyi, hanya kesetiaan yang tersisa dan rasa ingin mengabdi kepada suami karena ingin dihargai dan dicintai, tetapi perlahan kini terasa seperti beban, bukan pilihan. Air hangat dari shower mengalir membasahi tubuh Meylin, namun tidak satu pun tetesnya mampu menghapus sesak di dadanya. Di balik kabut uap kaca kamar mandi yang mulai mengembun, pikirannya melayang jauh, mengingat masa ketika hatinya penuh harap. Ia benar-benar percaya bahwa pernikahan ini akan datang membawa kebahagiaan, atau setidaknya kedamaian. Ia sempat berpikir, begitu mereka tinggal berdua, tanpa campur tangan siapa pun, terutama ibunda Byantara yang selalu dikelilingi tamu, segalanya akan berubah. Mungkin selama di sana, Byantara bersikap dingin hanya karena menjaga wibawa. Namun pada kenyataannya, semua itu hanyalah angan. Bahkan setelah berada dalam rumah yang lebih kecil, lebih sepi, lebih intim, Byantara tetap saja bersikap jauh dan asing. Meylin menarik napas panjang, membiarkan kenyataan yang pahit meresap di dadanya. Tempat tidur di sampingnya kosong sejak semalam. Padahal, ia sudah memberi isyarat halus, bahwa ia siap berbagi ruang, berbagi hangat, berbagi istirahat dengan suaminya. Tapi, lagi-lagi hanya dingin yang ia terima. Byantara memang beralasan ia lebih nyaman tidur di kamar kerja, dengan dalih pekerjaannya menyita sebagian besar waktu dan pikirannya. Tapi Meylin bukan perempuan bodoh. Sesibuk apa pun seseorang, pekerjaannya tidak bisa merampas tempat tidurnya setiap malam. Tidur siang di ruang kerja, mungkin. Tapi tidur malam, sepanjang waktu, jelas bukan hal yang wajar. “Apa sebenarnya yang dia pikirkan tentangku?” lirihnya, di antara gemericik air yang mengalir dari shower. Ia tahu, Byantara bukanlah pria dingin jika bersama yang lain, dia juga bisa bercanda walaupun tidak sering. Sorot matanya menyimpan kelembutan yang tidak serasi dengan wajah tegasnya. Meylin ingat hari-hari ketika mereka masih di rumah ibu Byantara, walau Byantara tidak banyak bicara, tapi sebenarnya Byantara orang yang cukup perhatian. Namun kini dia kembali ragu dengan penilaiannya sendiri. Sebuah tembok tinggi seolah berdiri kokoh di antara mereka. Tembok yang tidak mampu ia robohkan, meski sudah ia coba dengan perhatian tanpa syarat, kalimat lembut, dan kesetiaan tanpa suara. Hatinya terasa lebih sakit lagi, ketika sebuah pikiran muncul. Apakah hanya kepadaku Byantara bersikap seperti itu? ******* Setelah merapikan diri dan mengganti pakaian, Meylin turun ke dapur. Tubuhnya seolah bergerak sendiri, menggoreng telur mata sapi, memanggang roti, menyiapkan keju dan menuangkan kopi hitam pekat. Semua serba rapi, semua dilakukan dalam diam, seperti ritual harian yang tak pernah gagal. Semua itu ia lakukan dengan penuh hati, sebelumnya dia sudah menanyakan kesukaan Byantara pada Risma, ibu mertuanya. Risma menyambutnya dengan hangat, memuji betapa perhatian dan lembutnya menantu kesayangannya ini. Meylin waktu itu tersenyum, merasa usahanya tidak sia-sia. Sayang, penerimaan sang ibu tidak sama dengan penerimaan sang suami. Kini, meja makan sudah tertata rapi. Kursi-kursi tampak kosong, sunyi menyelimuti ruang itu. Tidak ada tanda-tanda Byantara menunggu sarapannya. Tidak ada bunyi langkah kaki, tidak terdengar suara pintu kamar dibuka. Meylin tidak tahu apakah suaminya sudah berangkat kerja atau masih di rumah. Jadwalnya selalu misterius. Sejak mereka menikah hingga kini, lebih banyak sunyi mengisi ruang antara mereka daripada percakapan. Jangankan berbagi cerita hariannya, menjawab pertanyaan sederhana pun sering kali tidak mendapat balasan dari Byantara. Semua interaksi terasa sepihak. Meylin berusaha, Byantara mengabaikan. Ia menarik kursi, namun belum sempat duduk. Pandangannya tertuju pada pintu depan yang tertutup rapat. Terlalu tenang. Terlalu sepi untuk sebuah rumah yang seharusnya dihuni dua hati yang saling berbagi. Jam dinding berdetak perlahan. Detik demi detik terasa seperti suara yang mengingatkan bahwa waktu terus berjalan, tanpa peduli siapa yang terluka. “Mas Byan…” suaranya nyaris tidak terdengar, lebih mirip gumaman yang ditelan udara. “Kapan kita bisa bicara… dari hati ke hati?” Tidak ada jawaban. Hanya sunyi. Hanya suara hatinya yang menjerit dalam diam. Sarapan yang ia siapkan, kembali menjadi bukti betapa ia berjuang sendirian dalam pernikahan ini. Tidak ada apresiasi, tidak ada sentuhan, tidak ada kehangatan. Ia mulai menyadari, bahwa pernikahan tidak selalu seperti cerita yang ia yakini, di mana dua orang saling melengkapi, saling menopang. Dalam hatinya, Meylin ingin percaya bahwa semua ini hanya soal waktu. Bahwa mungkin Byantara hanya butuh ruang, butuh proses... Tapi semakin hari, ia sendiri ragu berapa lama lagi ia mampu menunggu tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh suaminya. Sejak dulu, ia dibesarkan untuk tidak cengeng, tidak lemah. Ia diajari untuk tegar, berdiri, dan bertahan di tengah badai apa pun. Dan kini, ia mencoba memegang ajaran itu erat, meski cintanya tidak pernah benar-benar disambut. Lagi pula, ini baru awal. Apa yang harus ia keluhkan? Mungkin, hanya mungkin… Byantara masih butuh waktu untuk beradaptasi. Tapi sampai kapan ia harus menunggu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD