The Lady

1632 Words
Caroline duduk menaut dirinya di meja riasnya. Rambutnya sudah digulung ke atas dihiasi dengan topi kecilnya, dan Caroline sudah memulas ulang make up-nya. Sebelum beranjak dari kamar pribadinya, Caroline mengambil tas tangannya. "Your Highness." Ketukan pintu kamarnya sedikit mengejutkannya, lantas dia membuka pintu itu, di depannya pengaalnya menunduk hormat.. "Kita sudah sampai." Ucap pengawalnya ketika Caroline membuka pintunya. "Baiklah." Caroline sekali lagi membenahi setelannya. Caroline berjalan dengan anggun diiringi empat pengawalnya. Sepatu heels-nya menjejak mantap di atas karpet mewah pesawatnya. Di dekat pintu sudah ada pramugari, pilot dan co-pilot yang siap menyapanya. Sayangnya, kali ini jejakan langkah Caroline tidak seimbang membuat tubuhnya terhuyung ke depan. 'Aku akan jatuh, aku akan jatuh.' Seru batin Caroline, matanya menutup rapat. Dia akan malu, akan sangat malu. Dia tidak siap tubuhnya jatuh menghantam lantai pesawatnya. Tragedi ini membuat hampir semua orang di pesawat ini menahan nafasnya, sementara beberapa pengawal mencoba meraih Caroline. Tapi mereka kalah cepat. Caroline merasakan seseorang menangkap tubuhnya dari depan, membuat wajahnya menabrak sesuatu. "Maaf Your Highness, anda baik-baik saja?" Suara berat itu membuat Caroline membuka matanya. "Aku tidak jatuh?" Bisiknya setengah panik, tapi masih bisa di dengar orang di depannya, hal ini membuat orang itu menahan tawanya akan tingkah polos sang puteri. 'Oh Ya Tuhan.' Seru batinnya saat menemukan noda lipstick nude-nya menempel di kemeja putih orang di depannya. "Your Highness?" Panggil orang itu sekali lagi. Caroline ganti menatap tangan kuat yang menangkap lengannya, dengan jas yang tergantung di lengan kiri orang itu. 'Archer.' Batinnya mengeja nama yang tertera pada name tag orang di depannya. Matanya membulat saat menyadari name tag itu adalah name tag milik sang pilot. Segera, Caroline melepaskan tautan tangan mereka dan berdiri tegak seperti semula. Dia kembali ke sikap anggunnya seolah tidak terjadi apa-apa tadi. 'Jadi ini, Tuan Archer.' Batinnya. Ya, karena selama ini Caroline belum pernah bertemu dengan Tuan Billy Archer, dan sekaranglah waktu itu. "Anda baik-baik saja, Your Highness?" Tanya pengawalnya. "Aku baik-baik saja." Caroline mengagguk pasti. "Anda baik-baik saja? Apa anda terluka?" Tanya Archer itu. Caroline mendongakan kepalanya menatap pria di depannya. Mata itu tampak indah dengan bingkaian alis dan bulu mata yang tebal. "Aku baik-baik saja tuan, terimakasih." Senyum manis nan tulus dipamerkan Caroline. "Maaf, aku membuat kemeja mu kotor. Kau bisa menyuruh orang ku untuk membersihkan itu." Caroline menatap pria itu dan noda lipstick-nya dengan perasaan tidak enak hati. Pria itu tersenyum tipis menanggapi tawaran Carolin. "Terimakasih atas tarawan anda Your Highness, tapi itu tidak perlu." Ucapnya. 'Ternyata Tuan Archer ini masih sangat muda, dan tampan. Apa? Aku baru saja menyebutnya tampan?' Caroline berdehem untuk mencairkan suasana, sekali lagi dia tersenyum tulus dan menatap pria di depannya ini. "Sekali lagi terimakasih, Tuan Archer." Ucap Caroline sebelum beranjak dari sana. ## Selesai tugas mereka mengantar Sang Putri, dan mereka kini menghabiskan sore mereka untuk sekedar berbincang hangat di salah satu restoran hotel yang akan mereka tinggali, sebelum mereka memesan kamar hotel untuk tiga hari ke depan. Tentu, mereka juga harus mengantar sang putri pulang. "Woow dude, lihat noda lipstick di kemaja mu itu. Apa kau mengencani seorang gadis sebelum kau bertugas?" Daniel, sang kepala koki pesawat itu tertawa mengejek temannya. "Sangat tidak sopan bukan? Padahal dia harus menyapa Princess Caroline." Kali ini si pramugari bernama Rose turut andil mengejeknya, padahal dia ada saat kejadian di pesawat tadi. "Kenapa kau diam saja dude? Ceritakan pada mereka kalau noda lipstick ini hadiah dari Princess Caroline." Marko, co-pilotnya itu menyikut perutnya dengan sedikit keras. Langsung semua awak pesawat itu diam dan menatap tak percaya padanya, ya karena ada sepuluh awak sedangkan yang melihat kejadian itu hanya dia, Marko, Rose dan Maria. "Berhenti menatap ku seperti itu." Ucapnya sembari memutar malas netra abu-abu tajamnya. Ratzel Archer, namanya Ratzel Archer. Anak pertama dari dua bersaudara. Anak dari Billy Archer dan Monica Archer. Dia adalah pewaris utama Archer Airways, tapi dia memilih duduk di balik kemudi pesawat daripada harus duduk di balik meja kerjanya dengan setumpuk berkas dan laptop yang menemani tiap malamnya dan yang ada di balik meja adalah Rachel Archer adik perempuannya. Mengerikan jika aku akan menua dibalik setumpuk kertas, itu katanya. "Aku tidak akan menceritakan apapun pada kalian." Ucap Ratzel setelah menyesap wine miliknya. "Tidak Jess, aku tetap mencintai mu." Tambah Ratzel sembari menatap kekasihnya. Jessica Smith, adalah seorang pramugari di pesawatnya sekaligus kekasih dari Ratzel. Tidak, lebih tepatnya adalah tunangan dari Ratzel, karena saat di Athena Ratzel melamarnya. Ya Tuhan, wanita mana yang akan menolak jika dia dilamar di Yunani oleh pria yang dicintainya. Wanita berambut blonde itu mengagguk dengan senyum tipis yang sebenarnya mudah dibaca kalau itu senyum paksaan. "Aku percaya pada mu, tampan." Jessica terkekeh geli. "Aku dengar, besok akan ada perlombaan polo. Wah pasti akan seru, siapa yang ikut dengan ku?" Seru Marko dengan semangat. "Aku ikut." Langsung suasana di meja itu riuh karena ajakan Marko itu. Ratzel menatap tunangannya yang terlihat tidak bermita dengan perlombaan itu. "Kau tidak itut Jess?" Tanya Ratzel sembali menggenggam tangan gadisnya. "Tidak, aku tidak suka permainan macam itu." Jessica menggeleng mantap untuk mempertegas keputusannya. "Baik, aku akan menemani mu. Ku rasa keliling Amsterdam sehari dengan mu akan menjadi hal yang lebih baik." Saran Ratzel langsung diangguki setuju oleh Jesicca. "Kalian juga harus ikut, kalian fikir aku tidak mendengar rencana kalian." Sindir Marko. Ratzel berdecak, baru akan membuka suaranya, Jessica sudah mendahuluinya. "Dia ikut dengan mu Marko, aku akan belanja saja besok." Ucap Jessica. "Hey, kau tidak ikut Jess?" Tanya Marko. "Tidak, aku tidak suka permainan itu." Jessica mengusap lengan Ratzel dengan sayang. Sungguh, sebenarnya mereka bukan pasangan yang cocok. Jessica memiliki tubuh model yang keterlaluan atau katakan saja kurus kering nyaris seperti orang anoreksia, kulitnya terlalu pucat dan rambut blonde-nya membuatnya semakin tak menarik. Tapi lihat Ratzel, seluruh kesempurnaan miliknya. Katakan saja saat Tuhan menciptakannya, Tuhan tengah dalam perasaan bahagia yang meluap-luap. "Kau tidak takut jika aku bertemu dengan Princess Caroline?" Tanya Ratzel. "Tidak." Jessica menggeleng cepat. "Kau yakin?" Kali ini Daniel yang menekan Jessica. Ya Tuhan, mudah saja membuat Ratzel berpindah hati. Sebab dilihat dari pesona, Caroline menang telak, Kecantikan? Putri Inggris itu sudah di daulat menjadi putri tercantik sepanjang masa oleh beberapa majalah besar di dunia. Sementara Jessica? Jangan pun untuk dibandingkan, disandingkan namanya saja mungkin sudah sangat jauh. Bahkan dibanding Rose dan Maria atau pramugari lain, Jessica saja masih kalah, apalagi dibandingkan dengan sang "The Queen Of Beauty." "Kami harus segera ke hotel, jika kalian para pria ingin aku pesankan kamar maka kemarikan kartu kredit kalian." Ucap Rose tiba-tiba. "Kenapa kalian harus pergi dulu?" Tanya Daniel. "Ya Tuhan, Daniel. Kami butuh berendam di air hangat sekarang." Ucap Jessica. Sementara para wanita pergi ke hotel, para pria tetap di sini untuk menunggu gelap yang mulai datang. Dan membicarakan tentang bisnis, fashion, hingga wanita. "Aku ingin merebahkan tubuh ku." Ratzel sudah siap beranjak dari sana, namun dengan cepat Marko menahannya. "Tunggu, aku merasa akan ada orang yang datang." Ucap Marko. "Memang begitu bodoh, siapa pun bisa kemari kapan saja bukan?" Ejek Ratzel dengan puas, dia tidak perduli dengan apa yang dibicarakan Marko. Ratzel membawa jas dan topinya serta untuk segera beranjak dari sana. Saat sampai di depan pintu, tepatnya saat bersamaan. Saat Ratzel menarik pintu dan seseorang dari luar mendorong pintu. Ratzel memilih menggeser tubuhnya untuk mempersilahkan orang itu. Dia sedikit terkejut saat orang yang masuk itu adalah Caroline dan empat pengawalnya. "Your Highness." Refleks Ratzel langsung membungkuk hormat. "Oh, Tuan Archer. Senang bertemu dengan mu." Balas Caroline dengan ramah. Gadis itu tampak lebih santai malam ini, tapi dia juga tetap pada dress selututnya, bedanya tidak ada rambut yang di gulung dengan topi. Tapi sekarang rambut coklat karamel itu dibiarkan tergerai tapi tetap rapi. Tak lupa clutch yang selalu ada di tangannya. "Bergabunglah dengan ku, sebagai ucapan trimakasih ku atas pertolongan mu siang tadi." Ajak Caroline. "Tidak ada penolakan tuan." Caroline terkekeh sembari berjalan mendahului Ratzel. Dua pengawalnya dengan sigap menarik dua kursi untuk Sang Puteri dan untuk Ratzel. Sementara Ratzel menengok ke temannya yang asik menertawakannya. "Jadi, kau adalah Tuan Billy Archer si pengusaha hebat itu?" Tanya Caroline. Ratzel terkekeh sebentar melihat nona di depanya sangat percaya diri mengiranya adalah Tuan Billy, ayahnya. "Tidak My Lady." Ratzel mengulurkan tangannya agar dijabat sang putri. "Nama ku Ratzel Archer." Ratzel mengecup punggung tangan itu sebagai rasa hormatnya. "Oh, Ya Tuhan maafkan aku." Ucap Caroline. "Nama ku Anathasia Fawn Caroline Wilson, senang bertemu dengan mu tuan Archer." Bersamaan dengan itu beberapa pelayan datang membawakan makanan dan minuman andalan di restoran ini. "Teh, Tuan Archer?" Caroline memasukan dua balok gula ke cangkir tehnya. "Silahkan, Your Highness." Nyatanya Ratzel lebih memilih memperhatikan kegiatan Caroline, dari caranya mengaduk, hingga meminum isi gelas itu. 'Sangat cantik dan elegan.' Puji batin Ratzel, matanya terfokus pada gadis terhormat di depannya. "Silahkan Tuan Archer, aku mengajak mu bergabung untuk makan bersama ku bukan untuk memperhatikan ku." Sindir Caroline, nadanya memang tetap setabil tapi Ratzel merasakan ketajaman ucapan Caroline. "Terimakasih." Ratzel memilih ikut menyantap hidangan di depannya. Entah bagaimana mata biru teduh itu dapat membuatnya tunduk begitu saja atas ucapannya. Mereka makan dengan tenang, bahkan tidak ada suara denting sendok dari Caroline ataupun Ratzel. Tak lama seorang pelayan membawa sebotol anggur merah dan menuangkan anggur itu pada dua gelas tinggi mereka. "Terimakasih." Ucap Caroline, dia menusap ujung bibirnya dengan serbetnya. "Anda memiliki selera anggur yang bagus, Your Highness." Puji Ratzel, dia tahu anggur yang dipesan adalah anggur premium yang disuling tahun 1963. Jemari lentik Caroline mengenggam gagang gelas tingginya, dan menyesapnya sebelum meletakan gelasnya "Kau tau kualitas anggur Belanda tidak boleh diragukan." Caroline lagi-lagi terkekeh ringan, membuat Ratzel ikut tersenyum. Di bawah sana, tangan Caroline memindah cluth-nya ke tangan kanan. Kode ini langsung diangkap oleh pengawalnya "Sudah pukul tujuh malam, Yang Mulia harus kembali ke kamarnya." Seorang pengawalnya langsung memperingatkan Ratzel. "Senang bisa berbincang dengan mu, Tuan Archer." Caroline mengenggam clutch-nya dengan dua tangannya. "Senang bisa mengenal mu, My Lady." Caroline lantas beranjak begitu saja. ##
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD