Siang ini stadion di tengah kota sangat ramai, karena akan ada perlombaan polo untuk anggota kerajaan. Acara ini sangat jarang digelar oleh kerajaan kecuali saat hari-hari tertentu, atau menyambut tamu yang berkunjung. Seperti sekarang ini, acara itu digelar untuk menyambut Caroline.
Dalam urusan ini, Caroline tidak dapat dilarang untuk ikut. Baiklah, faktanya Caroline menyukai kuda dan olahraga apapun yang berhubungan dengan kuda. Lebih dari itu dia pandai memanah, she's a great archer.
"Kami mengkhawatirkan anda, Yang Mulia." Ucap salah satu pengawalnya yang turut berjalan di samping kuda yang ditungganginya untuk di giring masuk lapangan.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, aku pandai dalam permainan ini. Kau ingat aku pernah bergabung dengan tim polo nasional?" Caroline mengangkat dagunya, baiklah dia memang agak keras kepala.
"Ambillah tempat duduk kalian, selamat menyaksikan." Caroline memacu kudanya lebih cepat meninggalkan pengawalnya.
Sorak-sorai terdengar semakin riuh saat Caroline dan kuda hitam besarnya memasuki lapangan. Baiklah orang mana yang tidak kenal anggota kerajaan Inggris? Berbeda dengan ibu dan ayahnya mereka menyukai olahraga pedang atau anggar, tapi Caroline suka kuda. Bahkan dialah pemilik lima kuda istana, yang masing-masing memiliki nama.
"Tunjukan bahwa seorang puteri juga bisa permainan ini." Desis Caroline pada dirinya sendiri.
##
Tidak ada yang lebih menyebalkan selain menunggui teman-temannya untuk menonton pertandingan polo yang digelar kerajaan Belanda.
"Kau lihat itu??" Ucap Daniel dengan setengah berteriak, lelaki itu sungguh seperti anak kecil yang kegirangan karena memenangkan lotre.
"Kau tau siapa gadis itu, Marko?" Tanya Daniel, Marko lebih tenang daripada Daniel, dia mengawasi pertandingan dengan teropong yang selalu menempel di matanya. Ya, karena mereka mendapat tempat duduk di tribun paling atas dan paling belakang. Untung Marko membawa teropong sehingga dia bisa mengikiuti pertandingan dengan baik. Marko menjauhkan teropong dari matanya, dan memberikannya pada Daniel.
"Kau tidak akan percaya ini." Ucap Marko.
Sementara Ratzel hanya memperhatikan tingkah sahabatnya dengan heran, baiklah mereka ini memalukan. Sekarang Ratzel seperti ayah yang mengajak dua putranya untuk menonton pertandingan. Oh Ya Tuhan.
Daniel hanya memperlihatkan ekspresi terkejutnya, sembari menjauhkan teropong itu dari matanya.
"Biar aku lihat." Ratzel merebutnya begitu saja sebelum Daniel mengoceh ini dan itu.
"Tidak ada hal yang menarik." Komentar Ratzel, memang ada beberapa gadis di permainan ini. Tapi semuanya biasa saja.
"Ha ha ha, bodoh. Jelas tidak ada yang menarik, kau salah mengarahkan benda itu." Daniel mengarahkan teropong itu ke tempat yang benar.
Sama seperti Daniel, Ratzel pun memperlihatkan ekspresi terkejut dan ketidak percayaannya. Dia menjauhkan teropong itu dari matanya.
"Menarik bukan?" Marko menggerakan alisnya naik turun seolah tengah menggodanya.
"Bagi bangsawan Inggris, ini biasa." Ratzel mengembalikan teropong itu pada Marko.
"dan Caroline itu ---- biasa saja." Tambahnya.
Daniel memutar bola matanya, dan mendegus. Sahabatnya patut dicurigai kenormalannya, demi apa dia menyebut putri sempurna itu biasa saja?
"Ya, ya, ya. Terserah. Lagi pula kau sudah memiliki Jessica bukan? Jadi ini jatah untuk ku atau untuk Marko." Daniel dan Marko melalukan tos andalan mereka tepat di hadapan Ratzel karena pria itu duduk diantara dua orang itu.
"Ya Tuhan, lihat itu senyum itu sangat manis. Rasanya jantung ku bisa mati kalau terus melihat senyum itu." Komentar Marko dengan lantang.
"Dan rambut itu, coklat terang. Pasti lembut, lihatlah rambut itu jika itu digerai pasti bergerak kesana kemari." Tambahnya sebelum teropongnya di rebut oleh Daniel.
"Uhhh, kaki jenjang itu sangat cantik ditutup dengan celana putihnya."
Ratzel rasanya ingin mengusap kasar muka Daniel, pria itu nyaris meneteskan liurnya seperti anjing yang melihat tulang untuk dimakan.
"Ya Tuhan, kalau begitu kutuk saja aku menjadi kuda peliharaan Caroline." Seru Daniel dengan semangat.
Ratzel dengan cepat merebut teropong itu dan menatap sahabatnya dengan tajam. Mulut sampah sahabatnya memeng tak bisa dikondisikan.
"Untuk apa kau mau dikutuk menjadi kuda?" Tanya Ratzel.
"Agar 'ditunggangi' oleh Caroline, memang apa lagi." Jawab Daniel dengan enteng sembari membuat tanda petik di udara.
Ratzel memukul kepala Daniel dengan teropong di tangannya, bagaimana bisa pria itu memikirkan hal yang menjijikan itu?
"Hilangkan fikiran kotor mu itu." Ucap Ratzel.
Entah mengapa, telinganya merasa panas saat mendengar celotehan dua pria ini mengenai Caroline, tubuh Caroline atau kuda Caroline.
"Kenapa? Kau menyukainya?" Tanya Marko, dia kembali merebut teropongnya dari tangan Ratzel.
"Tidak, aku tidak menyukainya-- hanya tidak suka cara kalian mendeskripsikannya." Ucapan Ratzel ini membuat Daniel dan Marko saling tatap menatap sebelum tawa mereka pecah.
"Oh Ya Tuhan, ternyata teman ku ini ingin mempermainkan pertunangannya dengan Jess." Marko tampak memegangi perutnya dengan tawa yang beberapa kali tersendat.
"Dude, you are fuckin' bastard." Ejek Daniel.
##
Caroline melepas semua pakaiannya dan berendam di bak yang sudah disiapkan. Siang tadi memang sangat melelahkan untuknya, dan malam ini dia akan pulang ke kastilnya tercinta. Tidak ada yang lebih menenangkan dari berendam dengan s**u dan aroma lavender kesukaannya.
Setengah jam Caroline berendam, dia membilas badannya, dan membalutnya dengan handuknya.
"Marie, kau sudah menyiapkan baju ku?" Tanya Caroline pada gadis yang tengah menata kopernya.
"Sudah, Yang Mulia." Marie membawakan baju putih yang akan dikenakan Caroline.
"Terimakasih." Ucap Caroline dengan tulus.
"My pleasure, princess." Marie menunduk hormat.
Caroline menatap pantulan dirinya di cermin, dia sudah rapi dengan dress putih, clutch, dan heels-nya.
Sesekali Caroline menghela nafasnya, entah mengapa dia sedikit malas sekarang. Dia sedikit lelah dengan hidupnya, jika nanti Caroline membuka kamar ini, dia harus terus memperlihatkan wajah ramah nan manisnya. Demi Tuhan itu melelahkan.
"Aku ingin satu hari saja aku bebas seperti gadis-gadis lain seumur ku." Caroline mengusap kasar wajahnya.
Sekali lagi Caroline menatap wajahnya sendiri, datar tanpa ekspresi. Sebenarnya dia memiliki garis rahang tegas nan dingin seperti ayahnya, tapi itu bahkan tidak pernah disadari orang lain. Ya tentu, karena setiap diluar kamar pribadinya Caroline harus beramah tamah dengan siapapun, siapapun.
"Marie, tolong tata rambut dan make up ku!" Caroline duduk di depan meja rias yang ada di kamar itu.
"Tentu, Yang Mulia." Marie dengan cekatan mengambil koper make up milik Caroline, dan mengambil topi kecil yang akan dipakai Caroline.
"Maaf My Lady, apa yang mengaggu fikiran anda?" Tanya Marie sembari tetap melakukan tugasnya, dia melihat nonanya sedari tadi.
Caroline hanya tersenyum tipis, sembari menatap asisten pribadinya dari cermin di meja rias.
"Tidak ada." Jawab Caroline.
##