Ratzel sibuk mengubah posisi tidurnya, jam sudah menunjukan pukul tiga pagi dan dia masih terjaga.
"Sial." Ratzel terduduk sembari mengacak rambutnya frustasi.
Sekarang, dia menyesali perbuatannya pada Caroline beberapa jam lalu. Kecupan singkat dari Caroline bahkan masih sangat membekas di ujung bibir dan lehernya. Entah setan mana yang membuatnya berani menyentuh gadis itu tadi, padahal jelas itu adalah pelangggaran.
"Apa yang kau lakukan pada ku, kenapa kau membuat ku terus memikirkan tentang mu." Desis Ratzel.
Demi Tuhan, ini menyebalkan. Jika tahu efeknya akan seperti ini, Ratzel tidak akan menyentuh gadis itu.
Fikirannya kacau sekarang, ditambah dengan Jessica yang terkena skandal karena berani mengusik sang putri,dan besok Jessica akan diadili untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Sebenarnya itu bisa dihindari, karena Caroline sendiri bukanlah yang menuntut tunangannya.
"Asal ayah tahu, sebenarnya ini menyangkut masalah pribadi. Aku tidak menyukai bentuk mukanya dan rambut blonde-nya."
Sekiranya itu yang diceritakan Ayah Caroline pada ayahnya. Dan beratnya, yang menuntut Jessica adalah sang ratu, nenek dari Caroline.
"Sepertinya ini waktu tepat untuk melepas Jess." Ratzel mengangguk penuh tekad.
Ah, jadi kalian belum tau? Baiklah, duduk dan aku akan ceritakan semuanya. Ratzel dan Jess memang sudah bertunangan, tapi hanya tunangan biasa antara dua pribadi itu. Tapi, Ratzel tidak memiliki perasaan apapun untuk Jess. Dia memanipulasi semuanya, agar terlihat seolah dia mencintai Jess. Semua bermula saat Ratzel kalah dalam permainan kasino bersama Marko dan Daniel. Lalu sebagai hukuman, Ratzel diharuskan untuk menjadikan Jess sebagai pacarnya sebelum melamarnya. Saat itu Jess sangat baru dalam dunia penerbangan, saat tahu Ratzel menginginkannya untuk menjadi kekasihnya lantas saja dia menerimanya.
"Aku akan membicarakannya, besok."
Sementara Ratzel tidak bisa menutup matanya, lain halnya dengan Caroline. Gadis itu sudah terlelap daritadi, tidurnya nyaman dan baik-baik saja. Tidak frustasi seperti Ratzel tentunya.
##
"Pagi sayang." Sapa ibunya sembari menyiapkan makanan untuk keluarganya.
Ayahnya hanya menurunkan sebentar koran yang tengah di bacanya, sebelum menaikannya lagi. Sementara Rachel adiknya, dia sibuk membaca email yang masuk di ponselnya.
"Pagi mom." Ratzel mengambil duduk di samping adiknya.
"Makan dulu sarapan mu adik kecil." Ratzel merebut ponsel Rachel membuat gadis itu menggerutu.
"Ya, ya, ya." Rachel langsung memilih memakan roti lapisnya daripada harus berdepat dengan kakaknya itu.
"Good girl." Ratzel mengacak rambut burgundy adiknya itu.
Sarapan mereka usai, Rachel sudah berangkat ke kantor bersama ayahnya. Tinggallah Ratzel bersama ibunya di rumah. Ratzel sibuk mengacak chanel televisi yang akan di tontonnya, saat ibunya melempar sebuah amplop padanya.
"Antarkan itu ke Windsor Castle." Ucap ibunya sembari bersiap memakai jaketnya.
Ratzel membaca tulisan pada amplop itu, dan surat itu ditujukan untuk Caroline?
"Undangan makan malam." Ucap ibunya sebelum Ratzel menanyakannya.
"Kenapa tidak kau saja yang mengantarnya mom?" Tanya Ratzel sembari menimang amplop itu.
"Aku harus berbelanja son, kau tau jika aku mengantar surat itu aku harus berputar arah." Di pintu itu, ibunya melipat tangannya di depan d**a.
"Baik mom." Ratzel beranjak dari sana bersiap untuk mengantarkan undangan itu.
##
Ratzel memacu mobilnya, tidak terlalu cepat karena jalanan sedikit ramai pagi ini. Ratzel melihat toko bunga di depannya, sepintas ide muncul dari sana membuat Ratzel segera memarkirkan mobilnya.
"Ada yang bisa kami bantu tuan?" Wanita penjaga toko itu bertanya sembari tersipu melihat pria yang berkunjung ke tokonya.
"Aku ingin satu bucket mawar merah." Ucap Ratzel.
"Oh ya, apa kau memiliki notes nona? Aku butuh itu, dan juga pena." Tambah Ratzel.
Dia tidak tau bunga apa yang disukai gadis itu, tapi semua gadis akan menyukai mawar merah bukan? Gadis penjaga toko itu membawa secarik kertas dan pena yang dimintanya.
Pagi, My Lady. Maaf aku tidak tahu kau menyukai bunga apa, jadi aku membelikan mu mawar merah yang sama cantiknya dengan mu, atau mungkin kau lebih cantik dari bunga ini. Sampai jumpa malam ini, Sexy Lady. Aku tidak sabar ingin menemui mu.
R.A
Begitu tulisnya, dia punya cukup keberanian untuk menggoda Caroline ternyata. Hey siapa tahu dia juga bisa mendapatkan perhatian dan hati gadis itu bukan? Lagi pula dia juga dengar Caroline adalah boys killer
##
Ratzel menghentikan mobilnya tak jauh dari gerbang castle itu. Tak sulit untuk mendapat akses masuk karena keluarganya dan keluarga kerajaan sudah bekerja sama cukup lama.
"Tuan Archer." Sapa pria berpakaian hitam-hitam yang kebetulan melihatnya.
Ratzel menyeritkan alisnya, dia tidak mengenal pria ini. Tapi mungkin pria ini pengawal Caroline.
"Apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya pria itu.
"Aku membawakan ini, pesan dari orang tua ku untuk Princess Caroline. Bisa kau mengantarkan ini untuknya?" Tanya Ratzel.
"Tentu, tuan. Akan aku sampaikan langsung setelah ini." Pria itu menerima bunga dan surat yang Ratzel berikan.
"Terimakasih." Ucap Ratzel sebelum memacu mobilnya.
##
Caroline belum beranjak dari tempat tidurnya meskipun jam sudah menunjukan pukul 6.00 Pagi. Gadis itu masih asik dengan mimpinya.
"Your Highness." Ketukan pintu diiringi panggilan itu, membuat Caroline membuka matanya.
"Masuk." Seru Caroline sembari mengucak matanya beberapa kali.
"Ada titipan untuk anda, Yang Mulia."
"Taruh saja di sini dan kau boleh keluar, terimakasih." Caroline menepuk bagian kosong kasur di belakangnya, entah pagi ini dia merasa sangat malas bahkan untuk sekedar membalikan badannya.
Setelah pintu di tutup dan pengawalnya keluar dari sana, Caroline membalik tubuhnya. Ditemukannya bouquet disana. Alisnya menyerit bingung.
"Dari siapa ini?" Guman Caroline sembari mengambil notes yang di dalam rangkaian bunga itu.
Caroline membulatkan matanya setelah membaca kertas itu.
"Ternyata dia berani menggoda ku." Geram Caroline.
"Dan lihat, apa ini?" Caroline meraih sepucuk surat yang sepertinya diantar bersama bunga ini.
"Undangan makan malam? Baiklah." Caroline mengangkat bahunya setelah membaca surat itu.
Berhubung yang mengundangnya adalah Tuan dan Nyonya Archer, maka Caroline akan memenuhi undangan itu. Coba jika yang mengundangnya Ratzel, dia tidak akan mau repot-repot datang untuk pria itu
"Pagi Yang Mulia, sudah bangun?"
Caroline sedikit terlonjak kaget saat melihat Marie keluar dari closet miliknya, membawa bajunya.
"Siapa yang berani mengirim bunga itu pada nona ku ini?" Gurau Marie ketika melihat bunga itu di samping Caroline.
"Apa ada jadwal untuk ku, Marie?" Tanya Caroline mengalihkan pembicaraan.
"Ah ya, anda hanya memiliki wawancara bersama London Talk pukul 8 malam nanti." Ucap Marie.
"Baik, sore nanti aku akan berkunjung ke kediaman Tuan Archer. Jangan ada yang mengambil waktu itu." Caroline mulai beranjak dari ranjangnya.
"Siap, Yang Mulia." Seru Marie dengan mantap.
Caroline yang sudah hampir masuk ke kamar mandinya, tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Marie.
"Tolong katakan pada Christie, pindahkan mawar-mawar itu ke dalam vas dan taruh itu di sana." Caroline menunjuk nakas di dekat cermin besarnya, sebelum dia benar-benar masuk ke kamar mandi.
##
Setelah seharian ini Caroline hanya berdiam diri di perpustakaan dan di taman belakang. Akhirnya sore pun datang, Caroline mempersiapkan dirinya untuk berkunjung ke kedaiaman Keluarga Archer.
"Bukannya jadwal mu dengan London Talk, masih tiga jam lagi?" Katelyn, ibunya itu entah sejak kapan sudah ada di pintu kamarnya.
"Tuan Archer mengundang ku untuk makan malam di rumahnya, mom. Apa kau ada perlu dengan ku?" Caroline balik menatap ibunya itu.
"Kebetulan, aku membawa ini." Katelyn mengangkat kotak kristal yang di bawanya.
"Apa itu untuk ku?" Tanya Caroline dengan antusias.
Kotak kristal itu membuat cincin di dalamnya bisa dilihat dengan jelas untuknya. Cincin rose gold, dengan berlian abu-abu.
"Tentu untuk mu." Katelyn memberikan kotak itu.
"Pemberian dari Ratzel Archer, dia bilang itu tanda permintaan maafnya." Tambah Katelyn.
Caroline yang terlanjur memakai cincin cantik itu hanya bisa terdiam. Jika dia tahu ini dari pria m***m itu, dia tidak akan mau memakainya bahkan mencobanya.
"Aku akan menyimpannya saja." Caroline akan melepas cincin itu, jika saja ibunya tidak mencegahnya.
"Pakai itu sayang, apalagi kau akan berkunjung ke sana." Katelyn membenarkan kembali letak cincin itu.
"Tidak mau, mom." Rengek Caroline.
"Kau tidak menyukainya?" Tanya Katelyn.
"Aku tidak menyukai pemberinya." Caroline langsung menutup mulutnya cepat, kata-kata itu meluncur begitu saja.
"Pakailah sayang, setidaknya untuk menghargainya." Katelyn mengusap sayang rambut coklat anaknya.
"Tentu, mom." Baiklah, tidak ada gunanya berdebat.
##
Caroline menatap mansion besar di depannya, baiklah keluarga itu memang kaya raya mau bagaimana lagi?
"Kalian tidak perlu selalu mengekori ku, atau lebih baik kalian bercengkrama dengan pegawai di sini." Perintah Caroline hanya di tanggapi tundukan hormat dari dua pengawalnya.
Di depan pintu, keluarga itu sudah berjajar rapi di sana. Ini kali pertama mereka menjamu Caroline di rumah mereka.
"Your Highness." Sapa mereka sembari menundukan badan mereka dengan hormat.
Caroline menjabat tangan mereka mulai dari Billy Archer hingga Rachel Archer kecuali Ratzel Archer, hey dimana pria itu? Tak apa, lagi pula Caroline tiak ingin melihat pria itu.
"Biarkan kediaman kecil kami menyambut mu, Yang Mulia." Billy mempersilahkan Caroline agar berjalan mendahului mereka.
Baru satu langkah memasuki rumah itu, matanya sudah menangkap objek yang membuatnya menggerutu di dalam hati.
"Your Highness." Sapa Ratzel dengan semangat sembari menuruni tangga.
"Senang kau bisa memenuhi undangan kami." Ratzel mengecup punggung tangan Caroline, jarinya sengaja menyentuh cincin pemberiannya yang melingkar pas di jari manis Caroline.
"Sangat pas untuk mu." Ratzel menadahnya wajahnya sebelum mengecup lagi punghung tangan itu.
Belum juga Ratzel berhasil mengecup lagi punggung tangan itu, tapi...
Plak.
Tamparan yang tidak keras tapi jelas membuat mereka semua terkejut.
"Jaga nama baik keluarga mu, Tuan Ratzel." Ucap Caroline sembari berlalu meninggalkan Ratzel yang masih diam di posisinya, dia sangat terkejut.
Makan malam mereka sudah selesai, tapi topik pembicaraan mereka masih berjalan dengan lancar selancar godaan yang di lontarkan Rachel pada kakaknya.
"Maaf Yang Mulia, anda sangat cantik ternyata. Selama saya hadir di acara yang digelar kerajaan, saya hanya sesekali menjumpai anda. Pun hanya sepintas dan dari jarak yang jauh." Mata gadis itu berbinar seolah dia anak kecil yang baru menang lotre.
"Jangan terlalu memuji ku, Nona Archer." Caroline tersenyum tipis tanda kerendahan hatinya.
"Pantas saja, semalaman kakak ku tidak bisa tidur. Ternyata keluarga ku baru saja mengunjungi kediaman anda? Dan dia pasti terganggu ketenangannya karena kecantikan mu." Tambah Rachel dengan nada antusias yang tak terhindarkan.
Caroline hanya tersenyum manis sembari melemparkan tatapannya pada Ratzel yang tengan menatap adiknya penuh peringatan.
"Apakah itu benar, Tuan Ratzel?" Senyum itu masih saja terukir disana dengan cantiknya, tapi bagi Ratzel senyum itu adalah senyum ejekan, senyum cemoohan, senyum penghinaan yang tertutup sempurna dengan kemanisan.
"Tidak, itu tidak benar." Ratzel dengan cepat menyangkalnya, adiknya itu memang memalukan.
"Kau tidak tahu apapun, Rachel." Geram Ratzel.
"Aku melihat mu berguling ke sana kemari sembari meracau u*****n-u*****n yang tidak patut aku ucapkan sekarang, kak." Rachel balas menatap kakaknya dengan tajam.
"Kalian ini kenapa? Jaga sikap kalian." Ucap Billy dengan halus namun penuh penekanan.
"Benar kata ayah kalian." Sonia tersenyum kikuk.
Dibawah sana kaki Sonia sengaja mengijak kaki anak-anaknya agar mereka bisa lebih bersikap formal pada Caroline.
"Mom." Seru Ratzel dan Rachel bersamaan.
Sonia kembali tersenyum kecil ke arah Caroline. Caroline hanya mampu membalas senyuman itu, keluarga ini unik.
##
Setelah menjabat tangan dan sedikit bercakap-cakap dengan keluarga ini tiba saatnya untuk Caroline beranjak dari sana.
"Senang bisa banyak mengenal anda, Yang Mulia." Rachel menjabat tangannya dengan ramah.
"Aku juga senang menganal mu, nona. Mungkin lain waktu kita bisa pergi belanja bersama?" Kekeh Caroline.
"Tentu, aku tidak bisa menunggu waktu itu datang." Ucap Rachel.
"Permisi nona-nona, apa kalian butuh supir nanti? Atau orang untuk membantu membawa tas belanja kalian?" Potong Ratzel membuat mereka tertawa keras, sedangkan Caroline hanya tersenyum.
Caroline beralih ke depan Ratzel.
"Terimakasih sudah mau berkunjung, Yang Mulia." Ucap Ratzel sembari mengecup punggung tangan Caroline. Hah, pria itu pandai mengambil kesempatan.
"Tentu, mengapa tidak? Kalian semua menyenangkan." Caroline lagi-lagi tersenyum dengam manis, sangat manis.
'Kecuali kau.' Tanbah batin Caroline.
"Pakailah cincin itu setiap hari, kau berkali-kali lipat lebih cantik saat menggunakannya." Ratzel melirik cincin itu sebelum menatap netra biru di depannya.
Mata itu, teduh dan tajam di saat yang bersamaan. Siap menenggelamkan siapa saja yang berani menatapnya, menenggelamkan sedalam-dalamnya ke dalam pesonanya.
"Aku usahakan itu." Caroline mengagguk pasti.
"Sayang sekali aku harus segera beranjak." Caroline menambahkan nada penyesalan di sana.
"Tidak apa-apa Yang Mulia, anda bisa kembali kemari kapan pun anda mau." Ucap Sonia.
"Tentu, Nyoya Archer. Terimakasih untuk makan malamnya, semuanya sempurna."
Caroline beranjak masuk ke dalam mobilnya, dengan sigap pengawalnya menutupnya saat nonanya sudah berada di dalam.
"Sampai jumpa." Caroline menyempatkan membuka kaca mobil sembari melampaikan tangannya.
Dia tidak perlu tahu ada hati yang sudah tertanam tekat di sana, dan dia tidak perlu tahu akan hal itu.
"Aku bersumpah kau akan menjadi milik ku."
##