Seruan antusias mengisi ruangan ini, tawa bahagia Caroline lepas saat melihat anak-anak tanpa dosa itu dengan antusias menceritakan perasaan mereka dapat bertemu Caroline.
"Princess Caroline, aku bahagia bisa bertemu dengan mu. Kau cantik, jika aku besar nanti aku akan menikah dengan mu. Apa kau mau?" Anak laki-laki berpipi bulat itu dengan polos mengatakan hal itu sembari menatap sang putri yang menjulang tinggi di depannya.
Caroline membungkukan badannya sembari terkekeh, tangannya tergerak mengusap pipi bocah itu.
"Tentu aku mau." Kekeh Caroline, lantas membuat anak-anak yang ada di sana histeris.
Siang ini, Caroline berada di panti asuhan yang ada di pinggir kota London. Setelah beberapa jam mengajar anak-anak di sini, dia juga membagikan pengalamnya selama 20 tahun hidup di kerajaan. Tentu kali ini, para gadis kecil yang antusias bertanya dan menyimak cerita sang putri.
"Bisakah aku menjadi putri kerajaan?" Celetuk gadis berrambut pirang dengan senyum yang memamerkan satu gigi depannya yang ompong.
"Tentu sayang, kau bisa menjadi seperti aku." Caroline tersenyum manis.
Caroline melirik jam yang menempel di dinding ruangan itu. Dia harus pergi sekarang walupun dia engan beranjak.
"Oh, sekarang aku harus pegi." Caroline menambahkan nada penyesalan di sana membuat anak-anak itu mendesah kecewa.
"Tapi aku punya hadiah untuk kalian." Caroline menatap pengawalnya yang membawa kotak besar berisi mainan di sana.
Caroline membagi hadiah itu dengan hati bahagia, baginya kunjungan ke panti asuhan atau sekolah adalah hiburan baginya. Dia mendapatkan kebahagiaan dari mereka semua.
"Wooow." Pekik Caroline saat anak-anak itu memeluknya.
"Kami akan merindukan mu, Princess." Ucap mereka dengan nada sedih.
"Aku akan kembali kapan-kapan, ok?" Anak-anak itu melepas pelukannya dan mengangguk.
"Sampai jumpa." Caroline tersenyum sembari melambaikan tangannya sebelum beranjak dari sana.
Suasana hatinya baik, sangat baik., dan setelah ini saatnya untuk berdiam diri di kamarnya sembari memutar piringan hitam miliknya. Caroline suka ketenangan.
"Aku ingin membeli beberapa kue." Ucap Caroline pada supirnya.
Dengan cekatan supirnya mengagguk, lantas dia mengantar sang putri ke toko kue langganannya sang putri.
"Terimakasih." Ucap Caroline saat pengawalnya membuka pintu mobil itu untuknya.
"My pleasure."
Caroline mematung di tempatnya mendengar suara itu, lantas dia menengok ke arah datangnya suara.
"My lady."
##
Caroline menyuapkan garpu kue miliknya. Sepotong kue tiramisu dengan krim dan taburan bubuk kopi untuk pelengkapnya.
"Jadi, bagaimana kabar mu, Yang Mulia?" Tanya Ratzel.
Ratzel? Pria itu yang tadi membukakan pintu mobil untuknya. Caroline saja tidak tahu darimana pria itu datang, hingga tiba-tiba dia ada di sampingnya membuka pintu untuknya.
"Baik." Caroline tersenyum singkat sebelum kembali menyuapkan lagi garpu itu.
"Senang kau masih memakai hadiah dari ku." Ratzel menatap cincin pemberiannya sebelum menatap gadis di depannya lagi.
"Aku rasa ini sangat cocok dengan baju ku hari ini. Apa kau memiliki masalah dengan itu?" Caroline meletakan garpunya tengkurap lalu menatap pria menyebalkan itu.
"Tentu tidak ada, aku senang melihat itu."
Caroline hanya tersenyum singkat, dia tidak bisa bersikap sinis atau ketus sekarang. Karena dia sedang berada di tempat umum, dan jika dia bersikap tidak baik citranya akan tercoreng.
"Apa kau tidak punya pekerjaan hari ini?" Tanya Caroline dengan nada stabilnya.
"Tidak, kenapa? Kau ingin menghabiskan hari ini dengan ku? Kau ingin berbelanja? Pergi ketaman? Atau berkuda?" Tanya Ratzel dengan antusias.
Caroline menggerutu di dalam hati, tapi dia tetap menanggapi dengan senyum tipisnya.
"Tidak, sama sekali tidak." Caroline menyesap green tea late miliknya. Sangat cocok di minum di hari yang berangin seperti ini.
"Baiklah, ayo." Ratzel berdiri sembari mengancingkan jas hitamnya.
Caroline menyeritkan alisnya, sembari menadahkan kepalanya menatap pria di depannya.
"Kemana?" Sepersekian detik kemudian, Caroline menyesali pertanyaan bodoh itu.
"Membeli apa yang dapat dibeli." Ratzel sudah menggenggam tangan Caroline.
Caroline masih terlalu terkejut, sembari menatap pria di sampingnya yang tanggannya sudah melingkar di pinggang rampingnya. What?!
"Yang Mulia meminta ku untuk menemaninya mencari beberapa baju baru untuknya. Aku yang akan mengantarnya pulang nanti. Sampaikan pada orang tuanya, bukan begitu my lady?" Caroline masih menatap pria di sampingnya. Jadi dia ingin bermain-main dengannya? Baiklah ayo kita lihat.
"Ya." Caroline mengagguk mantap dan tersenyum pada pengawalnya.
Pengawalnya menangkap perintah itu engan patuh dan segera beranjak untuk menyampaikan kabar kepada Katelyn atau Ratzel. Setelah pengawalnya pergi Caroline menatap pria di sampingnya dan tersenyum.
"Singkirkan tangan mu." Caroline melepas tangan Ratzel dari pinggangnya.
"Aku suka saat kau menurut pada ku." Ratzel terkekeh sembari menatap gadis di sampingnya.
Ratzel terkekeh saat mendengar degusan kesal dari gadis di sampingnya, mereka berjalan beriringan hingga berhenti di depan toko perhiasan.
"Kemari." Ratzel membukakan pintu toko perhiasan yang ada di depannya.
Caroline hanya menurut saja bahkan dia ikut duduk di samping Ratzel saat pria itu menepuk sisi kosong di sampingnya. Caroline dapat merasakan semua pegawai di sini memperhatikannya. Ini kali pertamanya seorang lelaki membawanya ke toko perhiasan.
"Ku rasa ini cocok untuk anda, Yang Mulia." Wanita cantik yang menemani mereka mengeluarkan kotak bludru biru dan membukanya. Menampakan gelang dengan serenceng batu berlian yang berkilau.
"Cantik." Decak Ratzel, dia segera mengambil dan memakaikan gelang itu di pergelangan Caroline.
Sejenak Ratzel menatap gelang yang sudah melingkar di pergelangan Caroline, senyumnya terulas sembari menatap Caroline.
"Kau suka?" Tanya Ratzel dengan senyum penuh harapan.
Caroline balik menatap netra abu-abu yang tajam dan lembut sekaligus, Ya Tuhan dia tenggelam di sana.
"Hey." Ratzel menyentuh lengan Caroline untuk menyadarkan gadis itu, dan yap, Caroline cepat-cepat mengambil nafasnya dan sikap gugup yang tidak dapat di sembunyikan.
"Kau menyukainya?" Ulang Ratzel sekali lagi.
"Huh?" Caroline menatap gelang yang sudah melingkar di pergelangannya.
"Ini terlalu berlebihan, Tuan Ratzel." Ucap Caroline dengan alis menyerit menandakan dia keberatan atas pilihan Ratzel. Lantas dia melepasnya, dan menyimpannya di kotaknya seperti semula.
"Tidak ada yang terlalu berlebihan untuk mu, sayang."
Tangan Caroline yang tadinya sedang menutup kotak itu, lantas berhenti begitu saja. Kata terakhir itu membuat nafasnya tercekat dan tenggorokannya mengering.
"Ini gila." Eluh batinnya.
Lantas Caroline melirik wanita yang menemani mereka, wanita itu tersipu malu bahkan dia salah tingkah di tempatnya.
Caroline menggigit bibir bawahnya, yakinlah besok wajahnya akan ada di semua surat kabar, atau mungkin beserta wajah Ratzel. Bagaimana jika saat Ratzel memeluk pinggangnya tadi, ada wartawan yang memotret mereka?
"Bad Caroline, stupid Caroline." Riuh batinnya dengan frustasi, bagaimana dia bisa sangat teledor?
"Kau melamun lagi, apa yang ada di fikiran mu saat ini huh? Kau membuat ku ingin dapat membaca fikiran mu." Kali ini Ratzel mengusap punggung tangan Caroline dengan halus.
Lagi-lagi, Caroline nyaris tenggelam pada netra kelabu itu. Tapi, dengan cepat Caroline menggelengkan kepalanya.
"Tidak, ini tidak benar." Caroline menarik tangannya, lantas bangkit dari sofa yang didudukinya.
"Kau ini kenapa?" Ratzel menautkan alisnya kebingungan.
"Semua ini salah, Tuan Ratzel." Racau Caroline.
"Apa yang salah?" Ratzel turut bangkit dari duduknya, sementara wanita yang menemani merela hanya mampu menatap mereka secara bergantian dari sofanya.
"Kau, aku dan kita. Semuanya salah." Ucap Caroline dengan nada yang nyaris meninggi.
Demi Tuhan, Caroline hanya ingin gelar boys killer yang melekat padanya hilang, dan berpergian dengan Ratzel? Itu hanya akan memperkuat gelarnya. Ratzel lagi-lagi hanya menautkan alisnya, bingung. Dia tidak tahu kemana arah pembicaraan gadis di depannya.
"Permisi." Ucap Caroline sebelum beranjak dari sana dengan menghentikan taksi untuknya
##