"Uno." Seru Marko sembari melempar kartunya lantas pria itu menarikan tarian kemenangannya.
Ratzel ikut melempar kartu-kartu miliknya sembari berdecak kesal, dia kalah lagi. Dan sepertinya akan sangat buruk nasibnya beberapa hari kedepan.
"Lihat wajahnya, Daniel. Aku fikir dia butuh sedikit permainan." Marko mulai memprofokasi.
"Kau benar, jadi apa yang bagus untuk menghiburnya?" Daniel mengetukkan telunjuknya di dagunya.
"Sedikit drama tidak akan membuatnya mati bukan?" Ucapan Daniel itu lantas membuat Daniel dan Marko saling menatap dengan tatapan dan senyum jahil sekaligus jahat.
"Kau tau apa yang ku fikirkan bukan?" Tanya Daniel, Marko mengagguk dengan cepat.
Sementara Ratzel menatap dua rekannya bergantian, kepalanya berdenyut nyeri. Dia bilang juga apa? Nasibnya akan sangat buruk di tangan dua orang itu
"Sepertinya Caroline cocok untuk mu." Marko menyeringai penuh makna.
##
Caroline menatap nanar pada surat kabar yang tergeletak di meja riasnya. Apa yang ditakutkannya terjadi, fotonya dan Ratzel dijadikan sampul utama surat kabar itu. Caroline terduduk sembari menatap pantulannya dari cermin riasnya.
"Ya Tuhan." Caroline mengusap wajahnya kasar.
Bahkan alunan dari piringan hitamnya tidak lagi didengarkan. Sekarang pasti banyak yang memberitakan kedekatannya dengan si pewaris utama Archer Airways itu.
"Semoga Tuhan melindungi ku." Desis Caroline.
Baru dia menutup mulutnya, dia sudah dikejutkan dengan suara ketukan di pintu kamarnya.
"Ya?" Tanya Caroline, dia mendapati pengawalnya menunduk hormat ketika Caroline membuka pintu kamarnya.
"Yang Mulia. Their Majesty memanggil anda, agar anda segera ke Buckingham."
Rasanya seperti petir di siang bolong berhasil menyambarnya. Nafas Caroline tercekat, dia akan segera menghadapi kejadian yang dibencinya.
##
Caroline memacu kuda jingkrak hitam miliknya dengan kecepatan tinggi, dia punya wewenang untuk meminta di bukakan jalan di negara ini. Apalagi ini menyangkut dengan urusan sang raja dan ratu negri ini.
Jalan sepi untuknya membuat Caroline bebas memacu ferarrinya dengan kecepatan setinggi apapun yang dia mau. Beruntungnya dia memiliki kemampuan berkendara yang hebat, wow dia rasa bakat ini diturunkan dari ibunya.
"Jangan panik Caroline." Desis Caroline sembari menurunkan kecepatan mobilnya sebelum memasuki gerbang istana itu.
Caroline menghentikan mobilnya tepat di depan pintu utama istana itu, dengan sigap penjaga istana membukakan pintu mobilnya.
"Izinkan saya, Yang Mulia." Ucap si penjaga, lantas Caroline memberikan kunci mobilnya agar diparkirkan di garasi.
Caroline tersenyum ramah membalas bungkukan hormat dari para penjaga istana. Dia berkali-kali mengambil nafas dalam untuk menetralkan jantungnya. Rasa gugupnya berkurang saat dia melihat ibunya menyambutnya di pintu utama.
"Lihat, kau berkendara sendiri?" Katelyn, ibunya itu memeluk Caroline singkat.
"Ya, mom. Kau di sini?" Tanya Caroline.
"Kakek dan nenek mu memanggil aku dan ayah mu tadi pagi." Katelyn menatap anaknya.
"Baiklah, mereka sudah menunggu mu di ruang kerjanya." Katelyn menggandeng anaknya menuju ruang yang di maksud.
Caroline menelan ludahnya kasar sebelum pintu ruangan itu dibuka. Baiklah dia memang sudah bekali-kali melewati ini, tapi berkali-kali pun tak lantas membuatnya tenang.
"Tenangkan diri mu sayang." Katelyn tersenyum sembari menggenggam tangan Caroline, dia sadar putrinya sangat gugup sekarang ini.
Caroline menarik nafasnya, sebelum mengulas senyum terbaiknya. Pintu itu dibuka oleh penjaga untuk mereka menghadap sang raja dan ratu.
"Your Majesty." Caroline menekuk lututnya sembari sedikit membungkuk dengan durasi sedikit lama, tanda dia begitu menghormati kakek dan neneknya.
Caroline melirik sesorang yang turut ada di sana, Amanda, pengawas tata kramanya juga ada di sana. Riwayatnya akan tamat sebentar lagi, apalagi Amandamenatpnya grang seperti saat dia mengajari Caroline tentang berbagai hal.
"Senang bisa bertemu dengan mu, sayang." Neneknya mengecup pipi Caroline.
"Duduklah." Perintah kakeknya.
Caroline mengambil duduk dihadapan kakek dan neneknya, sementara ayah dan ibunya duduk di sofa di belakangnya, juga Amanda duduk di sana.
"Kau tau kenapa kami mengundang mu kemari. Caroline?" Tanya Kakeknya.
"Saya tidak tahu, Your Majesty." Jawab Caroline dengan hormat.
Kakeknya mendorong surat kabar ke hadapannya, dia sudah menduga pasti perkara ini. Caroline memejamkan matanya kuat.
"Bagaimana?" Tanya kakeknya.
"Ini tidak seperti yang di beritakan, Your Majesty. Aku dan Tuan Ratzel hanya berteman." Jawab Caroline, dia mengutuk orang yang menulis berita ini. Karena, si penulis berita menceritakan bahwa Caroline dan Ratzel memiliki hubungan spesial.
"Apa semua teman bisa memeluk pinggang mu?" Kali ini neneknya angkat bicara.
Baru akan membuka suaranya, neneknya sudah terlebih dahulu mengangkat tangannya ke udara tanda Caroline harus menutup mulutnya.
"Bagaimana Amanda?" Kali ini neneknya menatap Amanda.
Amanda bangkit dari duduknya sembari membetulkan letak kacamata di hidungnya. Wanita ini membunuh rasa tenang yang sedari tadi coba Caroline bangun. Lihatlah rambut silver pendeknya yang rapih, muka garang dengan kulitnya yang mulai mengendur, serta tatapan tajamnya.
"Semua anggota kerajaan tidak ada yang boleh dipegang tanpa alasan." Jawab Amanda, ya wanita itu masih hapal betul aturan-aturan untuk anggota kerajaan walaupun umurnya tidak muda lagi.
"Jadi, apa alasan untuk foto itu, cucu ku?" Kakeknya ini masih sangat pandai mengintimidasi.
Keadaan ini sangat dibenci Caroline, dia berada dalam tekanan kakek dan neneknya. Hal ini sudah berkali-kali dialami Caroline. Tentu saat dengan mantan kekasih atau teman prianya.
"Aku bersalah." Selalu pada akhirnya Caroline mengucapkan kalimat ini.
"Aku tau anak dari Billy Archer memang pria yang baik, tapi dengan beraninya dia menyentuh mu. Aku meragukan kebaikannya." Kakeknya menatap Caroline dengan sedemikian tajamnya.
"Dia pria yang baik, sungguh anda tidak perlu mengundangnya seperti yang sudah-sudah." Pinta Caroline.
Karena yang sudah-sudah akan diundang kakeknya dan ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan., dan berakhir dengan pertanyaan, "kau mau menikahi cucu ku? Lantas mengapa kau menyentuhnya?"
Tidak ada yang menolak, melainkan mereka semua ditolak oleh kakeknya. Ingat, semua pria yang dekat dengannya sudah pernah ditanyai seperti itu.
"Itu untuk menguji seberapa baiknya teman dari cucu ku ini." Ucap Kakeknya.
Caroline menatap orang tuanya,baik ayahnya maupun ibunya hanya dapat tersenyum sembari mengangguk. Katelyn menggenggam tangan Arthur ini kesekian kalinya putri mereka harus berurusan dengan hal yang sama.
"Baiklah, besok aku akan membawanya untuk menemui anda, Your Majesty." Jawab Caroline.
##
"Setahu ku, dulu ayah dan ibu tidak pernah dimarahi kakek." Ucap Caroline di kursi belakang.
Ibu dan ayahnya saling menatap sebelum tertawa, dan Caroline kesal akan tawa mereka. Menjengkelkan, bagaimana bisa ayahnya bebas menggoda banyak wanita sdangkan dia tidak bisa.
"Tentu tidak sayang, ayah ini laki-laki yang bebas memilih siapapun." Ucap Arthur sembari menatap anaknya dari spion tengah.
"Dan saat itu nenek dan kakek mu sangat menginginkan ibu mu untuk menjadi pengantin ayah mu ini." Tambah Arthur.
Caroline tersenyum tipis sebelum melempar tatapannya pada jalanan di luar. Pikirannya sibuk menerawang jauh mengenai berbagai kemungkinan yang dapat terjadi.
"Demi Tuhan jika kakek menanyai Ratzel untuk menjadi suami ku, dan dia menerima lalu kakek juga menerima---maka---- Ya Tuhan, tidak itu tidak boleh terjadi." Teriak batin Caroline.
##
Ratzel mengenakan topinya sembari menarik kopernya. Hari ini dia memiliki jadwal penerbangan yang tidak memakan banyak waktu.
"Sore capt, siap terbang?" Sapa pria yang juga mengenakan pakaian serupa dengannya. Imanuel, adalah co-pilot yang menjadi teman terbangya kali ini.
"Tentu, bagaimana kabar mu? Terakhir kita terbang saat ke Australia bukan?" Tanya Ratzel.
"Baik tentu saja, ya sudah sangat lama bukan?" Manuel mengangguk pasti.
Ratzel berdiri sejajar dengan Manuel dan tiga pramugari, mereka menyapa para penumpang dengan ramah.
"Baiklah, selamat bekerja semuanya." Bisik Ratzel saat penumpang terakhir melewati mereka.
Ratzel dan Manuel bersiap untuk ke tempat mereka, sementara pramugari itu akan menutup pintu pesawat.
"Tunggu, jangan tutup itu." Seru gadis yang masih berjalan cepat di bawah sana.
Pramugari itu menautkan alisnya, sembari mengehentikan tugasnya. Dia menajamkan panandannya unuk melihat siapa yang berani mengganggu jadwal penerbangan.
"Hey... Ini perintah dari ratu." Tambah gadis itu, sekarang dia sudah persis di ujung tangga penghubung sembari berkacak pinggang.
Pramugari itu membulatkan matanya lantas dia menurunkan kembali pintu pesawat itu. Dia merasa takenak hati saat yang disana adalah Caroline dan dia berani mengabaikannya.
"Your Highness." Pramugari itu menunduk hormat saat gadis itu persis di depannya.
"Ada apa in---i" Ratzel menggantung ucapannya sebentar saat melihat gadis yang terenggah di depannya.
"Kau, membuat ku kelelahan." Degus Caroline, ditanggapi Ratzel dengan mengenggam lengan Caroline.
"Ada apa?" Tanya Ratzel.
Wow... Ini kejutan, baru kemarin Caroline mengatakan mereka ini "salah." Tapi lihat, sekarang gadis ini berada di depannya.
"Kau akan terbang Brussel?" Tanya Caroline, kepalanya menadah menatap netra kelabu yang menatapnya teduh.
"Ya, ada apa?" Ratzel balik menatap gadis itu.
"Their Majesty, mereka mengundang mu besok malam. Kau tau, kau harus kemana bukan?" Ucap Caroline masih dengan nafas sedikit terenggah.
"Tentu." Ratzel mengagguk senang mendengar maksud datangnya gadis itu.
"Tapi kau ada tugas, kau tidak mungkin datang bukan?" Senyum lebar Caroline mengembang.
"Kau berharap demikian? Oh maaf, harapan mu itu tidak akan aku kabulkan. Karena aku akan datang besok." Ratzel menyeringai puas saat senyum lebar itu memudar perlahan.
Caroline mengangkat bahunya sembari melepaskan lengannya dari genggaman Ratzel. Sekarang dia baru sadar kenapa dia susah-susah mengejar pria ini padahal dia bisa saja memerintahkan orngnya jika mau.
"Baiklah, sampai jumpa besok." Ucap Caroline, tangannya terulur menyentuh topi yang dikenakan Ratzel.
"Safe flight, capt." Tangannya bergerak turun mengusap rahang kokoh milik Ratzel yang di tumbuhi rambut halus.
Caroline merapatkan tubuhnya pada Ratzel, memeluknya singkat.
Bibirnya terarah pada rahang pria itu.
"Bye." Bisik Caroline saat jarak bibir dengan pipi Ratzel hanya beberapa senti saja. Jika Ratzel berani menggodanya dan bermain-main dengannya, maka akan Caroline ikuti permainan itu.
Lantas Caroline beranjak keluar dari sana, dia memasuki mobilnya yang sudah dibawa kemari oleh pengawalnya. Sementara Ratzel hanya tersenyum kecil menatap mobil yang bahkan sudah menjauh dari sana.
##