Stuck on you

1686 Words
Caroline tertawa lepas, bahkan kepalanya kini bersandar di d**a pria yang turut duduk di sampingnya. "Aku tidak suka foto itu, sejak foto itu diambil." Ucap si pria ketika Caroline membuka halaman berikutnya dari buku album yang dipangkunya. Caroline semakin terbahak mendengar ucapan itu. Entah kenapa hari ini selera humornya begitu rendah. Perasnnya sellu baik saat sepupunya ada di dekatnya. "Terimakasih, Olie. Tapi aku suka foto ini." Caroline sejenak menadahkan kepalanya menatap kakak sepupunya, sebelum kembali membalik halaman album itu. Oliver mengusap sayang rambut coklat terang milik Caroline. Dia baru kembali dari Australia siang ini, dan dia mendapat kabar sepupu perempuannya harus menghadap ke kakek dan neneknya karena berita yang sudah menyebar luas seantero dunia itu. "Jadi, grandpa memanggilnya?" Tanya Oliver. Caroline hanya mengangguk, dia sibuk dengan album foto itu. Sebenarnya dia sagat tidak ingin membahas mengenai hal itu sekarang ini. "Kali ini, kau mencintai pria mu?" Tanya Oliver. "Kau sangat menganal ku Olie, kau tahu pasti jawabannya." Caroline mendegus kesal atas pertanyaan dari Oliver. Lantas Oliver mengangguk, dia hapal betul jika Caroline suka mengencani pria tanpa status dan perasaan yang jelas. Gadis itu tak pernah berubah sejak remaja. "Jadi kali ini kau juga tidak mencintainya?" Oliver memastikan dugaannya, tapi Caroline membalas dengan berdecak kesal. "Tidak, tentu saja tidak." Degusnya. "Kenapa kau tidak mencoba untuk mencintainya?" Tanya Oliver. "Karena aku tau apa yang..." Ucapan Caroline berhenti kala dia merasa ada orang yang datang. "Your Highness." Sapanya sembari membungkuk hormat. Caroline dan Oliver bangkit bersamaan. Caroline sempat menangkap sepersekian detik saat Ratzel menatap mereka dengan tatapan tidak sukanya. "Tuan Ratzel senang bisa bertemu dengan mu lagi." Ucap Oliver sembari menjabat tangan pria itu. "Sebuah kehormatan bisa bertemu dengan anda lagi." Balas Ratzel sengan senyum tipisnya. "Aku akan meninggalkan kalian berdua, bersenang-senanglah." Oliver mengusap punggung Caroline sebelum pergi dari sana. Lagi-lagi Caroline menangkap tatapan tajam yang Ratzel arahkan pada tangan Olie yang mengusap punggungnya. Bahkan tatapan tajam itu masih tertuju pada punggung Oliver yang menjauh sebelum hilang di persimpangan lorong. "Hey, kenapa kau menatapnya seperti itu?" Tanya Caroline sembari memetik jarinya sekali tepat di depan wajah Ratzel. Ratzel lantas segera menatap Caroline, tak lupa dengan senyum manisnya. "Bukan apa-apa." Ucapnya. "Oh ya, aku membawakan ini untuk mu dan ibu mu. Setahu ku kalian suka coklat dan apapun olahan coklat." Ratzel memberikan paper bag besar yang dia bawa sebagai oleh-oleh penerbangannya dari Bursel. "Darimana kau tau itu?" Tanya Caroline sembari menerima tas berwarna coklat gelap. "Telinga ku ada dimana-mana, sayang." Kekeh Ratzel. "Oh ya? Aku yakin telinga dan mata yang aku miliki lebih dari apa yang kau miliki." Caroline tersenyum miring penuh ejekan. ## Caroline melahap makanannya dengan tenang seperti yang lainnya, tidak ada suara sedikit pun sekalipun dentingan sendok. Semua meletakan sendoknya saat sang raja selesai dengan makanannya. "Jadi, Tuan Ratzel. Temui aku di ruang kerja ku setelah ini. Dengan mu Caroline." Ucap Philip sebelum beranjak dari kursinya yang diikuti Mandeline istrinya. ## Ratzel sesekali menengok singkat ke sampingnya, di sana Caroline duduk di sampingnya dengan anggun dan tenang, Ratzel masih tidak tahu apa yang membuatnya harus duduk seperti diadili di depan raja seperti ini. "Senang bisa bertemu dengan mu Tuan Ratzel." Sapaan itu terdengar sesaat setelah suara pintu di belakangnya di buka. Ratzel langsung berdiri dan menjabat tangan sang raja sembari menunduk hormat, tak lupa dengan senyum tebaiknya. "Saya sangat beruntung bisa bertemu dengan anda, Yang Mulia." Ucap Ratzel. Sementara Mandeline menatap pria muda itu dengan tatapan menilai, tatapan yang dulu dia berikan pada Katelyn. Hey dia berhak bersikap sinis, karena ini untuk kebaikan cucunya juga. "Your Majesty." Ratzel menjabat tangan Mandeline sembari kembali menunduk hormat. Mandeline hanya tersenyum singkat sebelum mengambil duduk di samping suaminya. Dia cukup lelah dengan tingakah cucu perempuannya ini, dia asik bergonya-ganti pasangan tak jelas. "Langsung saja Tuan Ratzel, aku ingin menanyakan hal ini. Bagaimana hubungan kalian berdua sebenarnya?" Philip menatap bergantian pasangan itu sebelum menatap tajam pada si pria. Ratzel dan Caroline saling menatap beberapa saat, Caroline memberikan tatapan peringatan agar pria itu tidak berkata macam-macam. Tajam dan teduh bersamaan. "Hubungan kita baik-baik saja Your---" Belum juga Caroline menyelesaikan ucapannya, kakeknya sudah mengangkat tangannya ke udara. "Aku bertanya pada Tuan Ratzel, Caroline." Ucap Philip dengan nada memperingati. "Maafkan aku." Caroline lantas menutup mulutnya rapat-rapat, sekarang dia seperti berdiri di atas kursi dengan tali yang siap mencekiknya saat kursi itu di tarik. Semua nasibnya ada pada Ratzel. Demi Tuhan, Caroline tidak ingin menikah dengan pria seperti Ratzel. Baiklah dia akui jika dia juga pemain pria tapi dia tidak mau jika harus menikah dengan sesama pemain. "Benar Yang Mulia, hubungan kami baik-baik saja." Ucap Ratzel, Caroline lantas merasa tali semu yang mengikat lehernya mengendur. "Apa kalian memiliki ikatan spesial?" Kali ini Mandeline yang angkat suara. "Tentu saja tidak, Yang Mulia. Saya tidak pantas untuk bersanding dengannya di altar." Caroline mencibir di dalam hati. "Dia bahkan membayangkan kita berdiri di altar. Huh, aku bahkan tidak sudi membatin seperti ini." Gerutunya. "Kami hanya sekedar teman, Yang Mulia. Aku membelikan beberapa hadiah untuk Putri Caroline hanya karena aku mengagumi sosoknya." Tambah Ratzel. Untuk kali ini Caroline tidak bisa menahan batinnya untuk berteriak girang, bahkan dia bersorak menggunakan pom-pom warna warni dengan menari di antara ledakan confetti.Ternyata pria ini dapat diandalkan. "Maaf karena saya lancang untuk lebih mengenal Putri Caroline." Tutup Ratzel dengan nada lembut. Caroline lantas menengok ke sampingnya, hah pria ini bisa halus juga ternyata. "Kami tahu, anda ini pria yang baik Tuan Ratzel. Anda pasti cerminan dari ayah anda yang bijaksana." Philip tersenyum senang dengan jawaban dari Ratzel. "Kenyataannya dia pria pemaksa yang jauh dari kata pria baik. Bahkan untuk sebagai cerminan ayahnya saja sangat jauh berbanding terbalik." Teriak batin Caroline dengan tidak terima. "Jika kalian memiliki hubungan spesial juga bukan masalah untuk ku." Ucap Philip. ## Caroline mengantar Ratzel hingga ke ruang muka. Di dalam hatinya masih menggerutu atas ucapan kakeknya yang di tanggapi Ratzel dengan kata. "Biar waktu yang mengatur." Caroline terlalu sibuk dengan fikiran dan hatinya yang riuh disana. Hingga dia tidak sadar jika karpet merah tebal yang diinjaknya sedikit tergulung membuat tubuhnya sedikit limbung. "Hey kau baik-baik saja?" Tanya Ratzel dia yang dengan cekatan menahan bahu Caroline agar gadis itu tidak jatuh tersungkur di lantai rumahnya sendiri. "Ya aku baik. Aku hanya kurang hati-hati." Jawab Caroline sembari menggerakkan bahunya tanda dia tidak nyaman atas keberadaan tangan Ratzel di sana. "Maaf." Ucap Ratzel sembari menarik tangannya dari sana. "Baiklah, aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa di lain waktu, Yang Mulia." Ucap Ratzel ketika mereka sudah benar-benar samapai di pintu utama. Caroline hanya mengagguk lantas dia mengikuti Ratzel hingga beberapa anak tangga di teras. Itu saja? Ratzel tidak menggodanya? Ratzel berhenti membuat Caroline ikut berhenti. Ratzel mengeluarkan ponselnya, posisi Ratzel yang dua anak tangga di bawah Caroline membuat Caroline juga dapat membaca pesan singkat yang dibalas Ratzel. Setelah membacanya, Caroline mundur beberapa langkah. "Hati-hati di jalan. Tuan Ratzel." Ucap Caroline sembari tersenyum manis, dia harus melakukan sesuatu. ## Dentuman musik, menghentak seolah mengajak siapapun untuk turut hayut dalam tiap nadanya. Cahaya gemerlap memenuhi club malam yang tak pernah sepi oleh kalangan atas yang akan membuang uangnya. Seperti tiga pria yang duduk di kursi VVIP mereka. Ratzel duduk bersebelahan dengan Mark dan Daniel. Mereka berbincang asik mulai dari pekerjaan hingga masalah wanita. Seorang wanita dengan pakaian serba minim menghampiri mereka dengan baki minuman yang diantarkan pada mereka. "Terimakasih nona." Ucap Mark. Tanda pengenal wanita itu tiba-tiba jatuh, lantas wanita itu mengambilnya dengan cepat. "Belilah sebuah lipstick dengan uang ini." Daniel melempar beberapa lembar uang ke atas baki wanita itu. "Terimakasih tuan." Gadis itu melangkah girang seperti baru mendapat lotre, lantas dia berjalan ke bar yang jaraknya lumayan jauh dari tempat VVIP tadi. Gadis itu masuk ke belakang meja bar, untuk mengelap beberapa gelas tinggi di sana. "Clear, nona." Ucapnya pada gadis yang duduk di kursi bar tepat di depannya. Gadis bermantel bulu mahal itu menurunkan kacamata hitamnya. Lantas dia tersenyum sembari mengeluarkan uang yang dijanjikannya pada pelayan itu. "Terimakasih." ## Caroline sibuk menyimak suara dari benda yang menyumpal satu telinganya. Tangannya bergerak mengaduk cangkir yang digenggamnya. "Kakeknya setuju jika aku memiliki hubungan dengannya." "Lantas?" "Ini akan mempermudah ku untuk menyelesaikan hukuman kalah taruhan dengan kalian." "Dude, kami tidak benar-benar ingin kau bermain dengan Caroline." Muka datar itu sedaritadi ditampakan Caroline sembari mendengarkan obrolan tiga pria yang dengan sengaja dia sadap. "Aku pria yang bertanggung jawab jadi aku akan menyelesaikan semua ini." Tepat setelah itu, pintu kamarnya di ketuk seseorang membuatnya merasa terganggu. "Masuk." Ucap Caroline. Seketika pintu terbuka menampakan gadis dengan dress merah menyala dengan stiletto hitam dan mantel bulu yang menutup bahu telanjangnya. "Aku tidak akan pernah kembali ke tempat laknat itu lagi, Yang Mulia." Ucapnya sembari melepas kacamatanya. Marie, dia mendapat tugas dari Caroline untuk meletakan alat sadap di dekat para pria itu. Dialah yang berada di club malam dam membayar pelayan untuk menaruh alat sadap di bawah meja para pria itu. "Anda bisa saja menyuruh MI6 untuk tugas ini, Yang Mulia, atau siapa saja asal bukan saya." Gerutu Marie. Caroline hanya tertawa mendengar itu. Dia tidak akan marah atas sikap Marie, baginya Marie sudah seperti saudaranya sendiri. "Aku malah sangat penasaran dengan tempat gemerlap itu." Ucap Caroline, ya kalian tahu jika di usianya yang hampir 21 tahun Caroline tidak pernah tahu apa yang ada di dalam sebuah club malam. "Kau boleh mencobanya jika kau siap di keluarkan dari daftar keluarga kerajaan." Marie tertawa renyah setelahnya. "Jadi bagaimana?" Tanya Marry. Caroline menyeringai membuatnya terlihat berbahaya. Oh tidak Marie sangat paham arti senyuman memanitan itu yang dilakukan nonanya. "Dia benar-benar melakukan itu." Jawab Caroline. "Bodoh, dia salah mencari mangsa. Yang ada dialah yang akan dimangsa." Ucap Marie. Ya, Caroline menceritakan dugaannya pada Marry. Bahwa dia memiliki firasat tidak baik terhadap Ratzel yang gencar mendekatinya. Dia putuskan untuk sedikit menyelidikinya, dan ya itu terbukti bahwa Ratzel memiliki motif tersendiri. "Kita lihat saja Yang Mulia, dapatkah dia lolos dari jaring permainan yang akan menjeratnya sendiri?" Ucap Marie. Demi Tuhan, Ratzel akan terjebak dalam permainannya sendiri. Karena tidak akan ada yang dapat menolak pesona dan kelembutan sang putri kerajaan tercantik ini. "Tunggulah Marie, tunggu hingga dia yang akan bertekuk lutut dihadapan ku." Timpal Caroline sekali lagi menyeringai licik. "Itu tidak akan lama lagi, Yang Mulia." ##
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD