Bab 12

1717 Words
Yehuda tahu Felicia sedang menangis di belakangnya, tapi dia tidak terpengaruh. Sekali-kali, untuk memperjuangkan kebahagiaan kita sendiri, memang kita harus bersikap tega. Dua tahun sudah Yehuda terus dibelenggu oleh rasa tanggung jawab memenuhi permintaan almarhum Ruben Bernard, ayah Felicia. Sekarang dia sudah menyadari perasaannya dan apa yang diinginkan hatinya, jadi dia tidak akan membiarkan drama seperti ini mengacaukan hidupnya. Walaupun berat, mengingat keluarga Bernard juga sudah seperti keluarganya sendiri, tapi Yehuda sudah belajar dari pengalaman untuk tidak lagi selalu berusaha menyenangkan orang lain dan mengesampingkan kebahagiaannya sendiri. Dia sudah melihat berapa banyak kehancuran dan penderitaan yang terjadi karena pilihan konyol ini. Yehuda sudah menegaskan sikapnya ini sejak beberapa bulan lalu, saat dia menemukan Nadira kembali. Di pintu masuk restoran, Yehuda bertemu dengan Katrin, kakak ipar Felicia. Wanita itu istri mendiang Fandy, kakak Felicia. Wanita itu menatap Yehuda dengan terkejut. "Yehuda? Kamu di sini? Feli..” “Dia ada di dalam. Maaf, aku buru-buru, Rin, ada urusan penting.” Jawab Yehuda cepat. Ini sudah melewati toleransinya. Sudah lebih dari 15 menit. Jadi dia harus segera menyelesaikan urusannya. “Tapi sempatkan untuk berkunjung ke rumah. Megan dan mama sering menanyakanmu.” Ucap Katrin sebelum Yehuda menjauh. “Iya, Rin. Kalau ada kesempatan, nanti aku mampir.” Jawab Yehuda, menoleh sekilas, lalu melanjutkan langkahnya. Yehuda teringat Nadira yang sedang berada di penthouse. Dia berpikir untuk lebih mempercepat urusannya agar bisa secepatnya pulang. Selain khawatir dengan keadaan Nadira yang baru tinggal di sana, Yehuda juga masih akan membahas beberapa hal penting terkait rencana mereka. Saat ini Yehuda sudah kembali melaju di jalan raya. Untungnya pada siang hari kemacetan tidak separah pada pagi hari. Yehuda mencengkeram stir dengan kuat. Dia harus sampai secepatnya. Yehuda ingin menyelesaikan urusannya dengan cepat dan efektif. Selama dia fokus pada masalah Nadira, dia telah menugaskan bawahannya untuk menangani urusan bisnis yang mendesak. Yehuda jelas telah menekankan agar dia tidak diganggu selama periode ini. Namun, kalau bawahannya sampai menghubunginya, menandakan bahwa masalah yang dihadapi jauh lebih kompleks dari yang dia perkirakan. “Tuan Yehuda, kami menghadapi masalah besar dengan proyek di lapangan. Ada perselisihan yang tidak terduga dengan mitra kita, dan situasinya semakin memburuk. Kami butuh keputusan segera dari Anda.” Lapor asistennya, Benedict. “Ceritakan detailnya. Saya ingin menyelesaikan ini secepatnya. Saya masih ada urusan penting.” Benedict segera menceritakan masalah yang mereka hadapi. Yehuda langsug melakukan beberapa panggilan telepon, berbicara dengan ekspresi serius, lalu menatap Benedict sambil tersenyum. Benedict membalas senyum bosnya dengan lega. Dia tahu, masalahnya sudah selesai. Semua hanya memakan waktu tak lebih dari sepuluh menit. Pria itu menatap bosnya itu takjub. “Saya pulang dulu, masih ada yang harus saya selesaikan.” Kata Yehuda sambil bangkit dari kursinya. “Baik, Tuan.” Saat sedang melangkah menuju pintu, Yehuda teringat sesuatu. Dia berpaling pada asistennya, “Benedict, saya ingin kamu memeriksa sesuatu. Lakukan dengan cepat, dan aku mengharapkan hasilnya paling lambat besok pagi.” “Siap, Tuan!” Benedict mengangguk, lalu mendengarkan petunjuk Yehuda dengan serius. *** Nadira membuka mata. Sesaat linglung, mengira dia masih berada di penjara. Tapi dia merasakan kelembutan seprei dan empuknya kasur di bawah tubuhnya Nadira mengerjapkan matanya berulang kali, hingga pandangannya menjadi jelas. Dia memindai setiap sudut kamar dengan interior elegan itu. Dia menyadari, dirinya sudah tidak berada di tahanan lagi, dirinya sedang berada di penthouse mewah milik Yehuda Demario. Nadira mengernyit, seingatnya tadi dia sedang duduk di sofa dan ketiduran, bagaimana sekarang dia sudah berada di kamar? "Ah, pasti Yehuda," gumamnya pelan. Nadira segera mendorong selimut dan turun dari ranjang. Dengan kaki telanjang, dia berjalan keluar kamar, menyusuri koridor yang dihiasi dengan lukisan-lukisan mahal dan lampu gantung kristal yang berkilauan. Dia merasa sedikit canggung, belum sepenuhnya terbiasa dengan kemewahan yang mengelilinginya. Kakinya menapak lembut di lantai marmer yang dingin, dan dia mendengar suara samar dari ruang tamu. Saat mencapai ruang tamu, dia melihat Yehuda sedang duduk di meja, tampak sibuk dengan laptopnya. Cahaya layar laptop menerangi wajahnya yang serius, tetapi saat Yehuda menyadari kehadirannya, ekspresinya melunak. "Selamat malam, Nadira. Bagaimana tidurmu?" ‘Selamat malam?’ Sepasang mata mengantuk Nadira membola. Terkejut dengan sapaan Yehuda. “Ini sudah malam, Nona,” Yehuda melirik jam tangannya, “Sudah jam setengah tujuh malam,” Nadira tersipu sedikit, merasa malu karena telah tertidur begitu lama. "Aku...aku tidur dengan nyenyak. Aku terkejut bangun di kamar tadi. Kau yang memindahkanku?" "Iya, kau terlihat sangat lelah dan tidak nyaman di sofa. Jadi aku pikir kau akan lebih baik di kamar." Nadira merasa pipinya memerah sedikit, membayangkan Yehuda menggendongnya. "Terima kasih banyak, Yehuda. Aku berhutang banyak padamu." Yehuda melambaikan tangannya. "Jangan berpikir begitu. Kau tidak berhutang apa-apa padaku. Bukankah kamu akan membalasnya sesuai dengan perjanjian kita?" Tanya Yehuda sambil kembali serius melakukan aktivitasnya di laptop. Kata-kata Yehuda membuat perasaan Nadira yang sesaat melambung seketika terjerembab. Dia menatap profil samping wajah Yehuda dengan sorot mata muram. Tentu saja bagi pria di hadapannya ini, semua hanya bisnis. Mereka bekerja sama untuk tujuan masing-masing. Yehuda sudah menepati janjinya, sekarang dia yang harus menjalankan misi yang Yehuda berikan. Oke. Di masa depan dia tidak akan gampang tersesat seperti tadi. Ini hanya kerjasama bisnis. Seperti itu adanya. Tiba-tiba Yehuda menyodorkan iPhone dengan casing cantik berwarna biru yang sangat Nadira kenal. "Ini ponselmu." Ucap pria itu tanpa menoleh. "Rey tadi ke sini?" tanya Nadira seraya mengambil ponsel itu dari tangan Yehuda. "Ya. Aku meminta Rey mengantar ponselmu ke sini tadi sore. Kamu masih tidur lelap, jadi dia akan datang lagi nanti." Bibir Nadira membentuk huruf "O" kecil. Lalu sibuk membuka ponselnya. Rasanya sudah seabad tidak memegang benda kesayangannya ini. Nadira menatap layar ponselnya yang perlahan menyala dengan mata berbinar. "Kamu mau makan malam di sini atau kita makan di luar sekalian menikmati udara segar?" Tanya Yehuda membuyarkan konsentrasi Nadira pada begitu banyak pesan yang menumpuk di inbox-nya. Nadira menatap Yehuda, sedikit ragu-ragu menjawab, "Kalau bisa, di luar saja," Nadira merasa tidak enak hati terus merepotkan Yehuda. "Oke, kalau begitu. Kamu siap-siap dulu." Nadira mengangguk dan kembali ke kamar untuk mandi dan bersiap-siap. Yehuda menatap punggung Nadira yang sedang berjalan ke kamar. ----- Flashback Yehuda sampai di penthouse, mendapati Nadira tertidur di sofa. Tubuhnya yang meringkuk di sofa terlihat sangat kasihan. Nadira tidur sangat nyenyak, bahkan tidak bangun saat Yehuda membopongnya ke kamar. Nadira sangat kelelahan, bukan hanya fisik, tetapi juga batinnya. Yehuda meletakkan tubuh Nadira di tempat tidur dengan hati-hati, berusaha tidak membangunkannya. Setelah itu, dia memutuskan untuk menelepon Rey, rekan pengacara Nadira yang terus berkomunikasi dengannya selama Nadira di dalam tahanan. "Rey, bisa kau antarkan ponsel Nadira ke sini? Dia sangat membutuhkannya." "Tentu, pak Demario. Aku akan segera ke sana." Sore itu, Yehuda menerima Rey di ruang tamu. "Ini ponsel Nadira," kata Rey sambil menyerahkan ponsel itu. "Terima kasih, Rey. Aku ingin bertanya beberapa hal seputar Nadira." Kata Yehuda sambil menerima ponsel itu lalu meletakkannya di atas meja. Rey menatap pria yang sudah menolong Nadira itu, "Tentu saja, apa yang ingin Anda ketahui?" "Aku mendengar gedung kantor firma hukum kalian sudah dijual. Siapa yang menjualnya?" "Lucia Moses yang menjualnya, dengan surat kuasa dari Nadira. Selain pengacara, Lucia juga memegang tugas administrasi dan keuangan di kantor.” Dahi Yehuda mengerut. Dia tahu Nadira sangat bangga dengan profesi pengacaranya dan dia telah mendirikan kantor firma hukumnya dengan susah payah. “Tapi kenapa malah dijual?” Tanya Yehuda. Dia merasa ada yang aneh. “Waktu itu sedang proses hukum kasus bundir dan kami mengalami kesulitan keuangan.” “Oh, begitu,” Yehuda mengangguk-angguk. Namun dia tetap saja merasa aneh. Dengan posisi Nadira saat itu, dia pasti tidak akan mengalami yang namanya kesulitan keuangan. Yehuda tidak bertanya lagi, agar tidak mengundang kecurigaan Rey. Dia lalu menanyakan beberapa hal pribadi mengenai Nadira pada asisten Nadira itu. Nadira ternyata memiliki kehidupan pribadi yang kurang baik dari sisi keluarga. Paman dan bibinya serta sepupunya hanya menjadikannya mesin uang mereka. Lalu ketika Nadira jatuh, mereka meninggalkannya sendirian. Yehuda tidak menyangka enam belas tahun ini Nadira menjalani hidup dalam kesulitan, lalu saat dia akhirnya berhasil meraih puncak, Yehuda yakin itu dengan perjuangan berdarah-darah, mereka memukulnya hingga jatuh. Yehuda merasakan kemarahan dalam hatinya. Dia kembali menelepon Benedict setelah Rey pulang. *** Nadira keluar dari kamar dengan penampilan yang segar dan santai. Dia mengenakan gaun kasual berwarna krem yang sederhana namun elegan, dengan rambut yang masih sedikit basah terurai di bahunya. Dia tampak lebih tenang dan sedikit lebih bersemangat daripada sebelumnya. Yehuda yang sudah menunggunya di ruang keluarga juga sudah terlihat segar, sehabis mandi. Pria itu mengenakan kaus lengan panjang putih dan celana panjang kain warna abu-abu terlihat sangat pas menonjolkan bentuk tubuhnya yang sempurna. Yehuda menatap Nadira sejenak dan berkata,"Kau tampak lebih baik sekarang." Nadira tersenyum, "Terima kasih, Yehuda. Aku merasa jauh lebih baik setelah mandi." “Berangkat sekarang?” Nadira menjawab dengan anggukan. Mereka meninggalkan penthouse dan berjalan menuju lift. Suasana malam yang sejuk dan tenang membuat Nadira merasa lebih nyaman. Mereka berjalan beriringan, dengan Yehuda sedikit di depan, menunjukkan jalan. Pria itu membawa Nadira ke tempat mobilnya diparkir. Dia membukakan pintu di samping pengemudi dan mempersilakan Nadira masuk. Setelah itu dia mengitari mobil dan duduk di belakang kemudi. Mobil meluncur perlahan meninggalkan gedung apartemen, membaur dengan keramaian lalu lintas di jalan yang ramai malam itu. "Kamu mau makan di mana?" Tanya Yehuda. "Terserah. Aku ikut saja." "Baiklah." Setelah beberapa saat, mereka tiba di restoran yang terletak di atas bukit dengan pemandangan kota yang menakjubkan. Lampu-lampu kota yang berkilauan menciptakan suasana romantis dan tenang. Pelayan menyambut mereka dan mengarahkan mereka ke meja yang sudah dipesan oleh Yehuda. Meja itu terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan panorama kota yang menakjubkan. Nadira disergap kenangan. Tidak menyangka Yehuda membawanya ke sini. Dulu dia dan Alex, pacarnya sering makan di sini. Menu seafood restoran ini juara. “Kamu menyukai tempat ini?” Yehuda bertanya, setelah memesan menu makan malam mereka. “Ya.” Nadira menjawab singkat, dia sedang sibuk dengan ponselnya. Yehuda tersenyum melihat jari-jari tangan Nadira yang sibuk menggulir layar ponsel. Sudah cukup lama dia tidak memegang ponsel, jadi Yehuda membiarkan Nadira dengan aktivitasnya dan dia mencari kesibukannya sendiri dengan menjawab beberapa pesan. Makanan mereka tiba, dan mereka mulai makan dengan nikmat. Suasana menjadi lebih santai, saat sambil makan mereka berdua berbicara tentang berbagai hal. Yehuda menceritakan sebuah cerita lucu yang mengundang tawa. Nadira tertawa, seraya mengangkat pandangannya dari piringnya, menikmati suasana restoran yang tenang dan pemandangan indah di luar jendela. Namun, saat matanya beralih ke arah pintu masuk restoran, seketika wajahnya membeku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD