Wanita itu mendesis kesal, sebelum berbicara, “Kamu ternyata tidak sehebat yang dikatakan orang-orang,” Cetusnya sinis.
“Oh, kalau otakmu hanya skala udang, jangan menilaiku.” Balas pria di seberang dengan emosional.
Dia beberapa malam tidak tidur nyenyak memikirkan masalah itu, namun wanita ini berbicara seenak perutnya. Dia benar-benar marah sekarang.
“Maaf, tapi kamu sangat mengecewakan. Yang aku inginkan wanita itu membusuk di penjara, agar dia tidak menghantui kehidupanku lagi.” Wanita itu merengek, suaranya berubah manja.
Ujung bibir sang pria di seberang terangkat sinis. Lama-lama wanita ini semakin menyebalkan. Tetapi dia tidak bisa terlalu keras, karena mereka sama-sama saling memberi pengaruh pada satu sama lain. Wanita ini memegang sebagian rahasianya, yang bisa menghancurkannya jika terbongkar ke publik.
Pria itu menghela napas, berusaha menekan emosinya. “Jangan berbicara sembarangan. Sekarang dunia sudah berbalik mendukungnya. Jaga mulutmu kalau tidak ingin berakhir di penjara.”
“Oke. Tapi aku ingin kita bertemu. Kepalaku pusing dan butuh refresing. Aku ingin kamu..” Wanita itu mengeluarkan senjata ampuhnya, rajukan menggoda yang akan membuat pria itu luluh.
“Baiklah. Tunggu aku di apartemen. Satu jam lagi.” Jawab pria itu cepat.
“Iyaa.. Jangan lama-lama.”
Wanita itu tersenyum senang. Inilah kelebihan wanita yang sulit ditolak oleh para pria. Sebuah kekuatan yang mampu melemahkan pria keras sekalipun.
Wanita itu tidak menyadari, mimpi buruk yang sedang menantinya di depan sana.
***
“Jadi, pengacara Rodin, aku ingin kamu masuk ke perusahaan keluargaku, Demario Group. Tugasmu adalah merebut kepercayaan pamanku dan kumpulkan semua bukti kejahatannya serta rahasia perusahaan untukku.” Kata Yehuda dengan ekspresi serius.
Nadira mengangguk. Dia merasa tenang, karena kerjasama yang Yehuda tawarkan masih berhubungan dengan keahliannya. “Oke. Aku rasa itu tidak begitu sulit. Kebetulan mereka sedang mencari staf ahli hukum. Kualifikasiku pasti memenuhi syarat.” Balas Nadira ringan.
“Tapi selama kamu dalam misi ini, kamu tidak boleh bekerja di firma hukum.” Kata Yehuda lagi, sambil kedua mata elangnya menatap Nadira lurus. “Artinya kamu tidak boleh menangani kasus apapun.” Lanjut Yehuda.
Pria itu saat ini sedang duduk di hadapan Nadira dengan gaya santai, namun baju bermerek - kaus abu-abu lengan panjang dipadu dengan celana kain hitam - yang dikenakannya tetap membuat penampilannya terlihat elegan dan mahal.
Nadira berpikir, kalau Yehuda adalah putra yang tersingkir, penampilannya sama sekali tidak menggambarkan seseorang yang hidup menderita. Melihatnya secara dekat seperti ini, dengan aura berkuasa yang memancar kuat, Yehuda lebih terlihat sebagai CEO kaya, bukannya orang yang menjalani hidup dalam kemiskian dan penderitaan.
Lagi pula, Yehuda bisa membeli penthouse mewah yang harganya milyaran, pastilah bukan seseorang yang kekurangan uang. Jadi, ini pasti bukan tentang uang dan kekayaan.
“Jangan menilaiku dengan liar, Nadira. Aku baru saja menjelaskan sedikit dari rencanaku, kamu sudah seenaknya menilaiku.”
Astaga! Wajah Nadira memerah mendengar kata-kata Yehuda. ‘Apa pria ini bisa membaca isi pikiran?’
Nadira memalingkan wajahnya sejenak, menghindari tatapan Yehuda yang membuat pipinya serasa terbakar. Dia baru menatap pria itu kembali setelah mendengar Yehuda terkekeh.
“Kamu seorang pengacara hebat, tapi masih bertingkah canggung seperti anak remaja,”
“Kamu juga sudah menilaiku dengan liar. Kamu pikir aku sepolos itu?” Menemukan keberanian, Nadira menantang Yehuda.
Mereka berdua sedang duduk di sofa kulit putih yang mewah. Rasanya aneh mereka berdua bisa langsung akrab seperti ini. Padahal sebelumnya Nadira sedikit takut berhadapan dengan pria dingin ini.
“Lalu, kamu seperti apa sebenarnya? Apakah tampilanmu di ruang sidang itu menggambarkan kepribadianmu yang sebenarnya?” Kejar Yehuda.
“Bisa jadi.”
“Aku rasa tidak seperti itu.”
“Kamu kelihatannya begitu yakin dengan penilaianmu, pak Demario,” Balas Nadira sambil menatap pria itu dengan mata menyipit.
“Oh, semua akan terbukti nanti.” Yehuda meluruskan kakinya sembari sedikit rebah di sandaran sofa.
Dia terlihat begitu santai. Seolah mereka sudah lama saling mengenal.
Yehuda tersenyum, merasa senang melihat Nadira bisa menanggapi godaannya dengan santai. Dia menatap wajahnya yang semakin tirus. Semua yang sudah dilewati pasti sangat berat untuknya.
Yehuda merasakan dorongan untuk membelai pipi Nadira.
Tiba-tiba, ponsel Yehuda berdering, memecah keheningan yang nyaman di antara mereka.
Pria itu mengerutkan kening sejenak sebelum berdiri dan melangkah ke ruang lain untuk menerima telepon.
Nadira mengamati punggungnya yang tegap. Sesaat dia melihat ekspresi Yehuda yang berubah serius dan dingin dalam sekejap. Samar-samar dia mendengar suara tegas Yehuda, walaupun tidak bisa menangkap jelas apa yang dia bicarakan.
Beberapa menit kemudian, Yehuda kembali dengan wajah serius. Dia mendekati Nadira dan menatapnya dalam-dalam.
"Nadira, aku harus pergi sebentar. Ada urusan penting yang harus aku selesaikan," katanya dengan nada tegas namun penuh perhatian. "Kamu istirahat saja dulu. Kita akan melanjutkan membahas rencana kita setelah aku kembali."
Nadira mengangguk, memahami bahwa urusan Yehuda mungkin tidak bisa ditunda. "Baiklah, Yehuda. Aku akan menunggu di sini."
Yehuda melangkah sampai di pintu, lalu berbalik sejenak, menatap Nadira yang menyusul di belakangnya dengan tatapan penuh peringatan.
"Nadira, berhati-hatilah. Jangan sembarangan membuka pintu. Jika ada sesuatu yang mencurigakan, hubungi aku segera, di kamar ada telepon dan nomor ponselku sudah aku tinggalkan di nakas." katanya dengan suara serius.
Nadira merasa tersentuh oleh perhatian Yehuda. Pria itu, yang selama ini dikenal sebagai sosok yang dingin dan acuh tak acuh, bahkan cenderung kejam, menunjukkan sisi yang berbeda. Perhatiannya membuat Nadira merasa aman dan dihargai.
"Tentu, Yehuda. Aku akan berhati-hati. Terima kasih sudah mengingatkanku," jawab Nadira dengan senyum tipis.
Yehuda mengangguk sekali lagi sebelum berbalik dan pergi.
Nadira menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu, merasakan kehangatan yang aneh di hatinya.
Setelah pintu tertutup, Nadira berdiri sejenak, merenungkan sikap Yehuda yang berbeda dari penampilannya. Dia menutup pintu dengan hati-hati, lalu kembali ke dalam, berusaha untuk beristirahat seperti yang disarankan Yehuda. Namun, pikirannya terus berputar.
Nadira duduk di sofa, merenungkan semua yang baru saja terjadi. Dia tidak bisa menghilangkan pikiran tentang bagaimana Yehuda berhasil menemukan saudara kembar kliennya dan mengumpulkan bukti yang bahkan pihak kepolisian dan kuasa hukum keluarga korban tidak pernah temukan.
Siapa sebenarnya Yehuda Demario?
***
Yehuda sedang terjebak macet dalam perjalanan. Dia melirik pergelangan tangannya dengan gelisah.
Ponselnya berbunyi, menjeda kegelisahan Yehuda. Dahi pria itu berkerut melihat ID peneleponnya.
“Yehuda, aku tunggu kamu sekarang di restoran biasa. Sudah cukup kamu menghilang seminggu ini tanpa kabar berita.”
Terdengar suara cempreng di ujung telepon, setelah itu hening.
Wanita itu mengakhiri panggilannya tanpa menunggu jawaban Yehuda.
Yehuda menghembuskan napas panjang, seraya melirik jam tangannya.
Oke. Dia bisa memberi toleransi lima belas menit. Kebetulan restoran biasa yang disebut wanita itu sangat dekat dari posisinya sekarang. Untung saja sekarang dia sudah berada di jalur yang lebih lega, tidak padat merayap seperti beberapa menit yang lalu.
Tak lama kemudian, mobilnya sudah memasuki halaman parkir restoran.
Wanita itu sedang berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke kolam di taman samping restoran.
“Felicia..” Yehuda memanggilnya.
Wanita itu berbalik dan menatap Yehuda dengan wajah kesal.
"Yehuda, kamu ke mana saja? Hampir seminggu kamu menghilang tanpa kabar! Kamu tahu betapa khawatirnya aku?" Tanya wanita itu dengan tatapan menyala.
Yehuda berdiri di tempatnya, menatap wanita itu dengan pandangan tenang namun serius. "Aku sibuk dengan urusan penting, Felicia. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir."
Felicia menghela napas panjang, berusaha menahan emosinya. "Yehuda, kamu selalu bilang sibuk dengan urusan penting. Tapi kamu tidak pernah memikirkan perasaanku. Apakah aku sangat tidak penting bagimu?"
Yehuda menatap Felicia dengan lembut, tahu betapa keras kepala dan emosionalnya dia. "Felicia, aku menghargai perasaanmu. Tapi seharusnya kamu tidak perlu merasa seperti itu. Kamu akan lelah sendiri. Aku sudah bilang dari awal, ada batasan di antara kita. Aku hanya bisa menganggapmu sebagai teman sekaligus adik. Aku harap kamu mengerti."
Felicia merasa dadanya sesak, air mata mulai menggenang di matanya. Dia sudah menduga akan kembali mendengar kalimat ini untuk kesekian ratus kalinya. Tapi dia tidak bisa mengikuti permintaan Yehuda. Hatinya tidak bisa berpaling dari pria itu.
"Yehuda, aku tidak peduli dengan batasan yang kamu buat. Aku hanya mencintaimu."
Yehuda menghela napas panjang, merasa berat harus mengatakan hal ini lagi. "Felicia, perasaanku tidak bisa dipaksakan. Aku sedang ada urusan penting dan tidak bisa diganggu. Aku harap kamu bisa mengerti."
“Tidak. Aku tidak mau mengerti. Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri. Kamu kejam, Yehuda!”
Yehuda hanya bisa garuk-garuk kepala. Dia benci terlibat dalam drama konyol seperti ini. Bukan seperti ini dunianya yang seharusnya.
Tapi dia juga tidak bisa mengabaikan. Felicia adalah putri sahabat ayahnya. Almarhum ayah Felicia menitipkan gadis itu padanya sebelum meninggal, dua tahun yang lalu. Ayah Felicia begitu percaya pada Yehuda setelah putra tertuanya, anak lelaki satu-satunya meninggal setahun sebelum sang ayah berpulang.
Dan selama dua tahun ini, Yehuda bertanggung jawab secara moral untuk menjaga Felicia. Dia memperlakukan wanita itu seperti adiknya sendiri, namun Felicia justru jatuh cinta padanya.
Yehuda menatap Felicia dengan serius, menimbang-nimbang kata-kata yang akan dia ucapkan. "Felicia, carilah pacar dan menikahlah. Kamu bisa menjalani kehidupan bahagia dengan orang yang mencintaimu.”
“Aku hanya mau kamu, Yehuda!” Felicia membalas dengan keras kepala.
Yehuda terdiam. “Aku serius mengatakan ini, karena aku sudah punya pacar." Ujarnya kemudian.
Felicia terkejut, matanya membesar seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Apa? Pacar? Sejak kapan? Kenapa aku tidak tahu?"
Yehuda tetap tenang, meskipun ada sedikit rasa bersalah di dalam hatinya. Dia tahu kata-katanya akan menyakiti Felicia, tetapi ini adalah satu-satunya cara untuk membuatnya mengerti.
Yehuda sudah lelah menghadapi situasi seperti sinetron ini, seluruh harapan dan cintanya ada di hati yang lain.
“Aku akan mengenalkannya nanti, jika sudah tidak terlalu sibuk, dan ada momen yang tepat. Oke? Sudah ya. Aku harus menangani urusan penting. Hati-hati kalau mau pulang,”
Felicia merasa dadanya sesak, seperti ada yang menghancurkan hatinya menjadi kepingan-kepingan kecil. Air mata kembali menggenang di matanya.
Dia baru akan berbicara lagi, tapi Yehuda sudah berbalik.
Felicia melihat punggung kokoh yang berlalu itu dengan kedua tangan terkepal.
‘Aku belum akan mundur, Yehuda! Aku belum kalah.’