Putusan hakim banding menyatakan kasus itu dikembalikan ke Pengadilan Negeri karena perlu dilakukan pemeriksaan barang bukti dan saksi dengan lebih cermat.
Hal ini dinilai kontroversial dan mengundang reaksi dari kalangan praktisi hukum.
Terlebih pihak-pihak yang ingin menghancurkan Nadira.
Beberapa orang sengaja menimbulkan kegaduhan.
Namun, hanya satu jam berselang setelah putusan dibacakan, pihak kepolisian mengumumkan perkembangan baru yang membuka kembali kasus pembunuhan serta kematian terdakwa yang menyeret pengacara Nadira Rodin.
Perkembangan baru itu adalah munculnya saudara kembar klien Nadira yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan yang sebenarnya. Pria itu sangat menyesali kematian adiknya dan mengaku siap mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Hal ini benar-benar mengejutkan semua pihak.
Namun kebenaran kemudian terungkap melalu proses yang berlangsung kemudian. Bukti-bukti yang terbuka di ruang sidang kali ini tidak bisa dipatahkan oleh argumen apapun.
Pada akhirnya kebenaran terbuka terang benderang dan majelis hakim menyatakan Nadira terbukti tidak bersalah.
Pelaku yang sesungguhnya mempertanggung jawabkan perbuatannya dan duduk dikursi terdakwa, memperbaiki kerusakan yang telah dia timbulkan.
Pengacara Ferdinand Randal gemetar mendengarnya.
“Kamu berhasil, Nona. Hebat. Siapa orang di belakangmu?”
Pria itu dengan lancang menelepon dan berucap kata-kata sinis.
“Yang pasti bukan manusia licik seperti Anda.” Jawab Nadira dengan rasa jijik.
Nadira mengakhiri panggilan itu tanpa rasa takut. Dia sudah melewati yang terburuk dan dia tidak akan membiarkan dirinya diintimidasi oleh siapapun.
Pengacara Randal hanya menatap layar ponselnya. Sepasang matanya menyorot dingin. Kali ini Nadira membuat dia kalah telak dan berujung pengacara Randal dicemooh dan dibully.
Tapi dia pasti akan menemukan kesempatan untuk mewujudkan keinginannya. Dia adalah pengacara senior dengan banyak pengalaman. Dia bisa melewati semua itu dan tetap mengangkat kepala sebagai pengacara yang disegani.
Nadira sekali waktu akan menyerah.
***
“Aku sudah berjanji akan membebaskanmu. Kenapa kamu meragukanku?”
Nadira terkejut mendengar pertanyaan Yehuda. Saat itu mereka sedang dalam perjalanan dari Lapas.
Sepanjang jalan Nadira sibuk dengan pikirannya sendiri, sambil menatap takjub pada pemandangan kota yang mereka lewati.
Beberapa bulan terkurung dalam tahanan membuat semua itu terlihat sangat menakjubkan.
“Melamun lagi. Pengacara Rodin, apa kamu tidak senang dengan kebebasanmu?”
“Eh, bu-bukan begitu, pak Demario,” Nadira tergagap menjawab, merasa tidak enak hati melihat ekspresi dingin pria di sampingnya. Nadira menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang kering.
Yehuda diam, menunggu.
Nadira mulai berbicara, mengungkapkan perasaannya. “Aku terlempar ke dalam penderitaan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Yang mendominasi adalah rasa putus asa, mendapati diriku begitu tidak berdaya melawan orang-orang yang merancang kehancuranku. Jadi aku…”
“Sst, aku tidak membebaskanmu untuk menceritakan penderitaan dan perasaan negatif yang seharusnya dilupakan.”
Nadira terdiam, kesulitan memilih kata-kata yang tepat.
“Aku hanya ingin bertanya, kenapa kamu meragukanku?”
“Oh. Kamu tidak datang setelah hari itu dan situasinya semakin buruk, lalu apa yang bisa kuharapkan?”
“Kamu seharusnya lebih optimis. Bukankah kamu pengacara hebat yang selalu yakin dengan dirimu sendiri?”
“Pak Demario..”
“Panggil aku Yehuda!”
“Oh, Ok.” Nadira mengangguk cepat. “Aku minta maaf karena meragukanmu. Tapi jujur aku tidak punya harapan lain. Memori banding yang diajukan pengacaraku tidak cukup kuat. Lawanku adalah orang kuat yang dukungannya tak terbatas.”
“Apapun itu, tapi aku tersinggung kamu meragukanku.”
“Maaf..”
Yehuda mendengus. “Untuk selanjutnya, jangan pernah meragukanku lagi.”
“Iya.” Nadira mengangguk pelan. Dia merasa tidak nyaman dengan kata-kata dingin Yehuda yang terus menyerangnya.
Yehuda menyandarkan punggungnya dan memejamkan mata.
Nadira diam-diam memperhatikan profil wajah tampan dengan rahang tegas Yehuda Demario. Dia tidak menyangka pria itu cukup banyak bicara. Meleset dari perkiraannya waktu mereka bertemu pertama kali. Nadira mengira Yehuda tipe pendiam, namun ternyata tidak begitu.
Keheningan lalu mewarnai perjalanan mereka, hingga mobil memasuki gerbang masuk gedung apartemen mewah.
Mobil berhenti di tempat parkir dan Yehuda berjalan lebih dulu menuju lobi. Nadira hanya mengikuti tanpa bertanya atau berkomentar. Sejak awal Yehuda mengatakan kalau dia yang akan mengatur semuanya.
Namun Nadira tetap bertanya juga ketika Yehuda membawanya ke sebuah penthouse dan mengatakan kalau mereka akan tinggal di sana.
“Apakah tidak lebih baik pak Demario menyewakan unit yang lebih sederhana untukku?”
“Tidak. Aku sudah mengatur ini untuk kebaikanmu dan keberhasilan rencanaku.” Jawab Yehuda seraya mengajak Nadira masuk ke dalam penthouse.
Unit ini sepertinya yang paling mahal. Ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga cukup luas dan penataan interiornya berkelas.
Nadira mengedarkan pandangannya. Jadi dia akan tinggal di sini.
“Pergilah mandi. Setelah itu kita akan membahas langkah selanjutnya. Kamu gunakan kamar utama. Semua kebutuhanmu sudah disiapkan, semoga ukurannya sesuai.”
Nadira menurut. Tanpa diarahkan oleh pria itu, dia langsung menuju ke kamar utama. Kamar itu besar, dengan ranjang kingsize dan perabotan lengkap. Hal pertama yang menarik perhatian Nadira adalah sebuah walk in closet yang terletak di samping kamar mandi. Nadira masuk ke sana dan melihat lemari setinggi dinding yang penuh dengan pakaian.
Pakaian yang digantung di sana rata-rata berukuran M. Yehuda tidak salah memilih ukurannya. Nadira tidak menyangka pria dingin itu cukup teliti dalam mengurus hal seperti itu.
Nadira benar-benar terpukau. Semua keperluannya tersedia lengkap di sana.
Teringat Yehuda yang sedang menunggunya, Nadira buru-buru pergi mandi. Niat awalnya mandi secepat mungkin, tetapi dia tergoda melihat bathtub besar dalam kamar mandi itu dan memutuskan untuk berendam.
Nadira sudah beberapa bulan tidak merasakan kemewahan ini. Dia pun melewatkan waktu cukup lama di dalam kamar mandi. Nadira menikmati berendam air hangat, rasanya tidak ingin meninggalkan bathtub.
Dengan susah payah Nadira menarik tubuhnya dari bathtub, menyadari dia sudah terlalu lama di sana. Dia harus mengakhiri ritual yang sudah lama dia tidak lakukan ini, sebelum Yehuda bosan menunggu.
Beberapa menit kemudian, dia pergi menemui Yehuda di ruang tamu, namun pria itu tidak berada di sana. Mungkin dia sedang berada di kamarnya. Namun Nadira mendengar suara-suara di ruang makan, dan penciumannya mendeteksi bau makanan enak yang sangat menggugah selera.
Nadira berjalan menuju ruang makan dan terkejut melihat makanan sudah tersaji di atas meja. Yehuda sedang mengeluarkan sebuah piring yang ditutup dengan aluminium foil dari dalam microwave.
“Mari, silakan duduk, Nadira. Kita makan siang dulu, setelah itu baru kita bicara.” Kata Yehuda melihat pemunculannya.
“Terima kasih.” Nadira mengangguk.
Yehuda menyajikan macaroni schotel di atas meja setelah membuka tutup aluminium foilnya.
Bau sedap keju bercampur daging asap memenuhi udara.
Nadira menelan ludah. Dia sangat menyukai menu yang satu ini, rasanya sudah lama sekali sejak saat terakhir dia menikmatinya.
“Silakan makan,” Yehuda mendorong piring schotel ke depan Nadira.
***
“Brengsekk! Bagaimana wanita itu bisa bebas? Sialann!”
Wanita itu mondar-mandir di ruang kantornya dengan marah. Dia baru saja mendengar informasi Nadira Rodin sudah bebas dari tahanan.
Dia terlambat mengikuti karena sibuk mengurus rekening banknya yang bermasalah. Sejak pagi tadi, kartu ATMnya tidak bisa melakukan transaksi. Dia tidak mengerti apa masalahnya.
Petugas bank memberitahu kalau rekening banknya sedang dibekukan.
Ah, yang benar saja! Dia mencak-mencak pada petugas bank karena emosi. Namun tidak bisa berbuat apa-apa karena semua itu disebabkan oleh system.
Wanita itu tidak berdaya dan hanya bisa menelan kemarahannya.
Lalu sekarang dia menerima informasi bahwa Nadira Rodin telah bebas. Dia marah sekali. Ini melenceng jauh dari rencananya.
Seharusnya tidak seperti ini.
Dia harus bersiap-siap untuk menghadapi Nadira.
Wanita itu meraih ponselnya dan menghubungi sebuah nama, yang belakangan ini begitu sering mondar-mandir di log panggilannya.
Cukup lama terdengar bunyi nada sambung, sebelum panggilannya dijawab.
"Halo, ada apa?" Tanya pria itu dengan nada malas.