Bab 6

1405 Words
“Kita sudah berusaha sebaik mungkin dalam menyusun memori pembelaan, Nad. Tapi pengacara Randal menghancurkan semuanya dengan mudah. Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Rey menatap Nadira putus asa. “Iya, Nad. Maria dan David sudah berusaha menginvestigasi semuanya, mencari beberapa potongan puzel yang hilang dalam gambaran kasus ini, tapi tetap saja semuanya mengarah padamu.” Sarah, rekannya yang masih tetap setia mendampingi Nadira ikut berbicara dengan nada putus asa. Saat itu mereka sedang duduk di ruang tunggu, menunggu sidang pembacaan putusan dimulai. Ketiga orang rekan yang bersama Nadira menatapnya dengan sorot mata sedih. Nadira bersandar di kursi dengan mata terpejam. Dia sudah merasa bagaimana akhir semua ini. Mereka berhasil menghancurkannya. “Tidak apa-apa, tim hebatku. Kalau Tuhan ijinkan ini harus terjadi, aku tidak bisa menolak atau menghindar. Aku akan menghadapi ini, seburuk apapun. Tolong doakan aku, ya!” Nadira berbicara bersamaan dengan panggilan untuk menuju ruang sidang. Suaranya tegas. Wajahnya terlihat tenang. Dia adalah wanita yang tegar. Sekalipun mereka akan melemparnya ke neraka, dia akan tetap kuat. “Ayo, Nad.” Maria meraih tangan Nadira dan menggenggamnya erat. Tangan itu dingin dan sedikit gemetar. Ruangan sidang dipenuh keheningan yang mencekam. Semua orang menunggu dengan napas tertahan saat hakim mengambil tempatnya di podium. Nadira duduk di kursi terdakwa, kedua tangan terlipat di atas pangkuan. Di sampingnya, Rey dan David duduk di tempat mereka dengan wajah tegang, mendukungnya sepenuh hati. Hakim memandangi Nadira sejenak sebelum membuka berkas putusan di depannya. "Setelah mempertimbangkan semua bukti dan kesaksian yang telah disampaikan selama persidangan ini, pengadilan memutuskan..." Detik-detik berlalu dengan lambat, seolah waktu berhenti. Nadira menatap lurus ke depan, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. "... bahwa terdakwa, Nadira Angelina Rodin, dinyatakan bersalah atas tuduhan manipulasi kasus yang berujung pada kematian kliennya." Seluruh ruangan bergemuruh dengan bisikan dan reaksi dari para penonton. Wartawan sibuk mencatat dan memotret momen penting ini. Nadira merasakan dunia di sekelilingnya berputar. Tubuhnya seakan lumpuh, namun dia tetap duduk di sana dengan kepala tegak. Hakim melanjutkan dengan suara tegas, "Dengan demikian, pengadilan menjatuhkan hukuman penjara selama lima tahun kepada terdakwa." Nadira tidak bisa mempercayai telinganya. Lima tahun penjara. Hidupnya, karirnya, semuanya hancur dalam sekejap. Namun dia tetap berdiri, menolak untuk menunjukkan kelemahan di depan musuh-musuhnya. Ferdinand Randal, yang duduk di barisan pengacara korban, menyeringai puas. Darah Nadira serasa mendidih melihat ekspresi kemenangan di wajah pria itu. Namun dia menahan diri, tidak ingin memberikan kepuasan kepada orang yang telah menghancurkannya. Rey memegang bahu Nadira, memberikan dukungan yang dibutuhkannya. "Kita akan ajukan banding, Nadira. Ini belum berakhir." Nadira mengangguk pelan, meskipun hatinya berat. Dia tahu perjalanan ini masih panjang dan penuh rintangan. Namun, dia bertekad untuk terus berjuang, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk keadilan yang selama ini dia perjuangkan. Saat dibawa keluar dari ruang sidang, Nadira memandang lurus ke depan. Wartawan kembali mengerubungi, kamera-kamera mengabadikan setiap langkahnya. Namun di dalam hatinya, dia bersumpah tidak akan menyerah. Keadilan harus ditegakkan, dan dia akan melakukan apa pun untuk mencapainya. *** Nadira duduk di ruangan khusus untuk menerima kunjungan. Dia sudah dua minggu dalam tahanan, setelah diputuskan bersalah. Ini seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Lima tahun. Itu rasanya seperti seumur hidup. Tim lawyernya sedang mempersiapkan permohonan banding, namun Nadira tidak berharap banyak. Sejak awal pembelaan mereka sudah lemah. Jadi Nadira pasrah pada keadaan. Saat ini Nadira sedang menunggu kedatangan seseorang yang disebut Rey sebagai "tamu penting." Wajahnya pucat dan lelah, mencerminkan tekanan mental dan fisik yang telah dia alami selama ini. Saat pintu terbuka, dia melihat seorang pria tinggi dengan postur tubuh ideal memasuki ruangan. Pria itu mengenakan kemeja hitam dan celana panjang yang juga berwarna hitam, membuat aura dingin dan berkuasa dalam sosoknya semakin kuat. Nadira merasa sedikit bersemangat saat pria itu mendekat, tampak begitu tampan dan penuh karisma. Ciri-ciri pria matang yang akan digilai kaum wanita. Nadira bertanya-tanya dalam hati, ‘Siapa dia?’ Pria itu berdiri beberapa langkah di depannya, menatap wajah Nadira tajam. Wanita ini telah kehilangan banyak berat badannya. Walau sorot matanya suram, namun kecantikannya tetap terpancar. Pria itu tersenyum tipis. "Keadilan mengkhianatimu lagi, Nona?" Nadira tersentak mendengar pertanyaan itu. Seketika ingatannya kembali ke masa lalu. Belasan tahun lalu, seorang remaja laki-laki pernah mengucapkan kalimat seperti itu. Itu adalah kata-kata yang menumbuhkan tekadnya untuk menjadi seorang pengacara. Apakah lelaki ini adalah remaja laki-laki yang berbicara padanya waktu itu? Nadira menatap pria di depannya, berusaha mengenali. Tapi sama sekali tidak ada gambaran yang familiar dalam ingatannya. Pria di depannya memancarkan aura dingin dan berkuasa yang menakutkan. Sorot matanya yang tajam dan juga menatapnya tanpa berkedip, membuat Nadira mengalihkan tatapannya. Entahlah. Dia merasa sedikit takut. Pria itu mengulurkan tangannya. "Kenalkan, Yehuda Brady Demario." Nadira menatap tangan yang terulur itu, lalu beralih ke wajah pria tersebut. Sedikit ragu, dia menyambut uluran tangan pria itu. "Anda..." Nadira berusaha menemukan kata-kata yang tepat. "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Yehuda mengangguk, "Betul sekali. Dan sekarang, saya di sini untuk menawarkan bantuan." bibirnya yang semula membentuk garis datar kini sedikit melengkung. Nadira sesaat terperangah. Jadi dia memang remaja lelaki itu. Sepasang mata Nadira yang sayu mengerjap. Dalam kekacauan ini, seorang yang tak terduga datang untuk memberinya harapan. Namun, pertanyaan besar masih menghantuinya: Apa tujuan sebenarnya Yehuda Brady Demario? "Kenapa Anda ingin membantu saya?" Nadira akhirnya bertanya, mencoba menahan emosinya. Yehuda menatapnya dalam-dalam, seolah-olah menimbang-nimbang jawabannya. "Karena saya tahu bagaimana rasanya dikhianati oleh sistem yang seharusnya melindungi kita. Dan saya percaya, Anda pantas mendapatkan keadilan yang sebenarnya." Nadira menatap pria itu dengan serius, matanya mencoba menembus rahasia di balik ekspresi dingin Yehuda. "Apa yang kamu tawarkan dan apa imbalan yang kamu inginkan?" tanyanya dengan nada penuh kecurigaan. Yehuda menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. "Aku akan membebaskanmu," jawabnya dengan tenang, suaranya terdengar seperti janji yang penuh kepastian. "Dan apa yang aku inginkan akan aku katakan setelah kamu bebas." Nadira merasa dadanya berdebar lebih kencang, mencoba mencari celah untuk memahami maksud di balik tawaran pria ini. ‘Kenapa aku harus mempercayainya? Apakah ini hanya jebakan lain?’ "Apa yang membuatmu berpikir aku akan setuju dengan tawaranmu tanpa tahu apa yang kau inginkan dariku?" Nadira mendesah, suaranya bergetar namun tetap tegas. "Bagaimana aku bisa yakin kau tidak akan menghancurkanku lebih jauh?" Yehuda mengangkat alis, tatapannya tetap tenang namun penuh otoritas. ‘Wanita ini keras kepala, tapi itu yang membuatnya menarik. Dia harus tahu bahwa aku adalah satu-satunya harapannya.’ "Aku satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanmu dari kehancuran ini, Pengacara Rodin," katanya sambil mengulurkan tangan, menawarkan sentuhan yang tampak penuh ketulusan. "Kamu tidak punya banyak pilihan lain." Nadira terdiam sejenak, mencoba mencerna situasi yang ada. Dia tahu dia tidak punya banyak pilihan. ‘Apakah aku benar-benar tidak punya pilihan lain? Tapi, jika aku menolaknya, mungkin ini akan menjadi akhir dari segalanya.’ “Bagaimana, deal?” Yehuda mengulurkan tangannya di depan Nadira yang tampak ragu-ragu. Akhirnya, dengan napas berat dan perasaan campur aduk, dia menjabat tangan Yehuda. "Baiklah," katanya pelan. "Aku percaya padamu." Yehuda mengangguk puas, merasakan kemenangan kecil di tangannya. ‘Ini hanya langkah pertama, Nadira. Kamu akan tahu seberapa besar peranku dalam hidupmu nantinya.’ "Kamu tidak akan menyesal," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Sekarang, bersiaplah. Perjalanan kita baru saja dimulai." “Saya sebetulnya masih kurang paham dengan maksud Anda, pak Demario. Namun, saya berharap punggung saya tidak akan ditikam lagi kali ini.” Kata Nadira tegas. Yehuda menatap Nadira dengan pandangan tajam, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Percayalah saya bukan tipe orang seperti itu. Saya akan buktikan janji saya. Sampai jumpa!" Nadira hanya bisa mengangguk. Dia tahu bahwa ini adalah langkah berisiko, tapi dia tidak punya pilihan lain. ‘Aku harus mengambil risiko ini. Semoga keputusan ini tidak menghancurkanku lebih jauh.’ Nadira menatap pemilik punggung tegap yang berjalan melewati pintu. Yehuda Brady Demario. Apakah dia Demario yang itu? Keluarga Demario sangat terkenal. Bisnis mereka menguasai banyak sektor. Rasa ingin tahu yang mendalam menggelayuti benak Nadira. Dia tidak bisa menahan diri untuk bertanya pada Rey setelah Yehuda pergi. "Rey," bisik Nadira pelan, memastikan tidak ada yang mendengar, "siapa sebenarnya Yehuda Brady Demario ini?" Rey mengangguk mengerti, lalu menjawab dengan suara rendah, "Dia adalah putra pertama Jacob Demario, salah satu legenda bisnis di kota ini. Namun, setelah ayahnya meninggal dan pamannya mengambil alih kepemimpinan perusahaan, Yehuda disingkirkan dari tengah-tengah keluarga itu." Nadira terkejut mendengar penjelasan Rey. ‘Jadi, Yehuda ini memang bagian dari keluarga Demario. Apa yang sebenarnya dia inginkan dariku?’ Wajah Nadira menegang saat dia menatap Rey. "Kenapa dia disingkirkan?" tanya Nadira, penasaran. Rey menghela napas, tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. "Katanya dia membunuh ayahnya.” “Apa?” Nadira terperanjat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD