Ch. 3. Suatu Kebetulan

1077 Words
Kini, Samuel tengah menunggu Tisha di depan ruangan dokter khusus tulang. Samuel tidak mau, akibat perbuatannya sampai membuat anak orang cacat. Karena di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, gadis itu tidak henti-hentinya menangis. Sehingga membuat Samuel semakin merasa bersalah. Saat pikirannya sedang kalut, memikirkan nasib tangan gadis yang ia pelintir dengan tidak sengaja, terdengar nada dering yang berasal dari ponselnya. Dapat Samuel pastikan, kalau itu adalah panggilan dari bos besarnya. Bos besarnya itu pasti sudah tidak sabar menunggu kedatangannya, yang terbilang sangat mundur dari waktu yang sudah di tentukan. "Ya, Tuan?" Tanya Samuel setelah menggeser tombol yang berwarna hijau di layar ponsel miliknya. "Di mana kamu?" Tanya Dirga dengan nada membentak. "Di rumah sakit, Tuan. Sepertinya saya datang terlambat ke rumah anda," jawab Samuel dengan nada bersalah. Mendengar Samuel yang berada di rumah sakit, membuat Dirga khawatir seketika. Meski Samuel merupakan bawahannya, tapi Dirga telah menganggap Samuel sebagai bagian dari keluarganya sendiri. Tak heran jika pria paruh baya tersebut sangat mengkhawatirkan Samuel. "Apa kau terluka?" Tanya Dirga resah. "Bukan saya yang terluka, Tuan. Tapi seorang gadis yang saya tolong tadi, dan tidak sengaja saya memelintir tangan gadis itu. Jadi saya harus mempertanggung jawabkan perbuatan saya. Maka dari itu, saya meminta maaf atas keterlambatan saya untuk segera datang ke rumah anda, Tuan." Jelas Samuel panjang kali lebar. "Apa terlalu fatal?" Tanya Dirga penasaran. "Harusnya kamu itu, kalo sama perempuan bersikap yang lembut. Jangan dikasari seperti itu. Perempuan itu mahluk yang lemah, Sam. Mahkluk yang harus kita lindungi dan kita jaga," tutur Dirga memberi petuah pada calon bodyguard putrinya itu. "Baik, Tuan." Jawab Samuel tanpa sadar menganggukkan kepalanya. Padahal tuan besarnya itu tidak akan bisa melihat anggukan kepalanya. Samuel terpaksa memutuskan sambungan telponnya terlebih dulu, karena melihat Tisha dan temannya keluar dari ruangan dokter orthopedic tersebut. Samuel melihat ada perubahan di tangan gadis yang dia pelintir tadi. Ada sebuah gips yang membungkus tangan kanan gadis tersebut. "Bagaimana dengan keadaan tangan gadis ini, Dok?" Tanya Samuel pada seorang dokter yang juga ikut keluar ruangan bersama Tisha dan Killa. Raut khawatir sangat kentara di wajah Samuel. Dokter yang usianya tidak jauh dari bos besarnya itu, memberi Samuel sebuah senyuman yang menenangkan, sehingga secara tidak langsung membuat Samuel kembali bersikap santai. Sementara Tisha yang melihat itu, ia tersenyum senang di dalam hatinya. Ada sebuah kesempatan untuknya mendekati pria ini. Pikirnya. "Tuan tenang saja. Tidak terjadi hal yang fatal pada tangan kekasih Tuan. Tapi, tulangnya hanya tergeser sedikit dari tempat semestinya. Karena hal itulah, saya memutuskan untuk di gips agar tulangnya tidak tergeser lagi. Dan mungkin kekasih Tuan tidak bisa beraktifitas dengan leluasa seperti sebelumnya," jelas dokter tersebut dengan tutur kata yang penuh kelembutan. Ada rasa lega sekaligus meyesal yang menghinggapi Samuel. Lega, karena tidak terjadi hal serius pada tangan gadis itu. Menyesal, karena ulahnya gadis itu tidak bisa bebas bergerak. Apalagi yang dia pelintir tangan sebelah kanan. Di mana tangan itu yang selalu memegang kendali dalam melakukan sesuatu hal. Samuel pun tidak mempermasalahkan jika dokter itu menyebut Tisha sebagai kekasihnya. Dia tidak mau ambil pusing. Beda halnya dengan apa yang dirasakan oleh Tisha. Gadis itu merasa senang tak terkira di dalam hatinya. Setelah mendengar penjelasan dari sang dokter, Samuel mengucap terimakasih lalu pergi ke bagian administrasi sekaligus ke apotek, untuk menebus obat yang diresepkan oleh dokter tersebut. Entah mengapa, di dalam hati Samuel, dia harus benar-benar bertanggung jawab pada gadis itu. Di rasa semua urusan sudah selesai, Samuel mengajak Tisha untuk pulang bersama dirinya. Sedangkan Killa, ia suruh untuk membawa mobil Tisha. Awalnya, Tisha menolak tawaran Samuel yang ingin mengantarkan dirinya pulang. Dia mengatakan kalau akan pulang bersama Killa saja. Namun, Samuel tetap memaksa Tisha dengan alasan ingin bertanggungjawab sepenuhnya, sampai tangan gadis itu benar-benar sembuh total. "Di mana rumahmu?" Tanya Samuel saat tengah memasangkan sabuk pengaman pada Tisha. Jarak yang begitu dekat, membuat Tisha mau tidak mau harus menahan napasnya. Jantungnya berdegup kencang, saat indra penciumannya mengendus aroma khas milik pria tersebut. Karena tidak mendapat jawaban dari gadis ini, membuat Samuel menoleh ke arah Tisha. Dengan tidak sengaja hidung mereka saling bersentuhan. Hal itu semakin membuat detak jantung Tisha tidak karuan. Sementara pria berwajah datar yang kini kembali duduk di tempat kemudinya, terlihat biasa-biasa saja. Tanpa memperdulikan wajah Tisha yang memerah, Samuel mulai melajukan mobilnya membelah jalanan ibu kota yang mulai sepi oleh pengendara. Karena malam begitu larut. Sementara itu, di kediaman Bagaskara, terlihat seorang pria paruh baya yang tak henti-hentinya mondar mandir di ruang tamu kediaman tersebut. Terlihat jelas di wajah pria itu, kalau pria itu tengah begitu khawatir. Berkali-kali pria itu melihat ke arah ponselnya. Berharap seseorang yang dia hubungi sejak tadi, akan menghubunginya balik. Karena sedari tadi ia mencoba menghubungi nomor orang yang paling berharga di dalam hidupnya, tidak ada jawaban sama sekali. Hal itu semakin mebuat pria itu gelisah tak karuan. "Apa belum ada kabar dari Tisha, Yah?" Tanya seorang perempuan paruh baya, tapi tetap terlihat cantik di usianya. Pria paruh baya yang bernama Dirga Bagaskara, tersebut menggelengkan kepalanya. Dia juga berusaha menghubungi Samuel, tapi nomor yang dia tuju sedang berada diluar jangkauan. Padahal baru beberapa menit yang lalu mereka melakukan komunikasi. "Apa nggak sebaiknya Ayah minta tolong sama Franky saja?" Usul Ayu, istri dari Dirga Bagaskara. Dirga menuruti usul dari istrinya. Kemudian dia mulai mencari nama Franky di daftar kontak ponselnya. Saat hendak mau menekan tombol memanggil, terdwngar suara mobil yang masuk di plataran rumahnya. Dirga pun membatalkan panggilannya pada Samuel. Ayu yang mendengar itu, langsung melangkahkan kakinya menuju pintu utama rumah yang bagaikan istana tersebut. Begitupun dengan Dirga, pria paruh baya itu terlihat berjalan dengan tergesa menyusul sang istri yang menuju pintu depan. Samuel terkejut, saat Tisha menunjukkan arah ke alamat rumahnya. Mulanya, ia biasa saja. Mungkin rumah gadis yang ia tolong itu berada di satu komplek dengan rumah bos besarnya. Namun, semakin dalam Samuel melajukan mobilnya, dugaannya semakin yakin kalau rumah yang diarahkan gadis ini adalah rumah bos besarnya. Karena di perumahan ini, hanya terdapat lima rumah. Dan itu semua adalah rumah milik keluarga besar Bagaskara dan Natakusuma. Dua keluarga yang sangat berpengaruh di negara ini. "Apa kamu putri dari Tuan Dirga?" Tanya Samuel setelah mematikan mesin mobilnya. Dia menatap ke arah Tisha, dengan tatapan yang sulit di artikan oleh tisha. Seperti sebuah perasaan tak percaya, takut, dan menyesal menjadi satu. "Apa kamu mengenal Ayahku?" Tisha balik bertanya pada pria yang duduk di sampingnya. Mendengar pertanyaan itu dari gadis di sampingnya, membuat Samuel mengeram tertahan. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana pada Tuan besarnya nanti. Kalau tahu putri semata wayangnya ia buat terkilir tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD