02. Virgin

1525 Words
“Tu-tunggu. Berhenti, tolong. Aku mohon jangan seperti ini.” Ivy terus memohon dan mencoba mendorong tubuh lelaki yang besarnya dua atau mungkin tiga kali lipat dibandingnya dirinya yang sangat kecil itu. Tapi lelaki yang tadi menyebutkan namanya, kalau Ivy tidak salah dengar adalah Bravino, terus menerus mengecup leher Ivy. Menghisap dan juga menggigit kecil di kulit polos Ivy. Ivy yakin bila di kulitnya akan tersisa bekas gigitan dari perih yang kini ia rasakan. Tangan Ivy sendiri sudah berada di atas, di samping telinganya, terus ditahan oleh cengkraman tangan Bravino yang membuat ngilu. “Parfum apa yang kamu pakai, hah? Aku baru mencium wangi itu sekarang,” tanyanya di sela-sela kegiatannya. ‘Apa? Bukan itu yang harusnya dia tanyakan sekarang! Harusnya gue yang nanya apa yang dia lakuin ke gue sekarang!’ pikir Ivy makin takut. Ivy kembali berteriak ketika dengan satu tarikan kuat Bravino menarik jaket juga kemejanya ke samping sehingga robek dan tidak berbentuk lagi. Dan membuat isi pakaian Ivy itu menjadi terlihat sangat jelas. Bravino mengangkat wajahnya. Dengan senyuman iblis di wajahnya ia berkata. “Ternyata cukup besar. Kontras banget sama badan kamu yang kecil. It’s oke … Sejauh ini aku masih menyukai semua yang ada di diri kamu.” “To-tolong. Ki-kita harus bicara dulu. Jangan berbuat seperti ini. Aku, aku ….” Ivy masih terus memohon agar Bravino mau melepaskannya. Sangat tidak masuk akal bila hanya keterlambatannya mengantar pesanan lelaki itu, tapi ia malah harus kehilangan mahkotanya. “Kita akan bicara mengenai tips dan tambahan untuk kamu setelah kamu selesai melayaniku! Apa kamu tidak mengerti itu, hah?! Diam sebelum aku menyakitimu lebih kasar dari pada ini. Aku sudah muak dengan reaksi obat sial*n ini!” Bentakan dengan mata yang menyalang sangat tajam, membuat nyali Ivy semakin ciut. Ia hanya bisa tetap mendorong tubuh Bravino sekuat yang ia bisa. Meski itu tak berarti apa-apa karena yang ada sekarang Bravino sudah meloloskan celana jinsnya. Kini tubuh Ivy hanya berbalut sepasang dalaman berwarna hitam. “Hitam? Wow, aku suka sekali. Kamu jadi tampak lebih seksi.” Pujian yang terucap dari mulut Bravino tak serta merta membuat Ivy senang. Ia sedang akan diperkaos oleh lelaki yang hanya ia ketahui namanya, dengan alasan yang tidak masuk akal. Jadi jangan berharap Ivy akan tersenyum dan merona karena itu. Please, Ivy memang sudah hampir gila dengan semua ini, tapi ia belum segila itu. Bravino kemudian berdiri di atas tubuh Ivy, mencoba meraih sesuatu dari laci nakas di samping tempat tidur. Sebuah benda dengan bungkusan berwarna silver dan berbentuk segi empat. Meski Ivy kolot, tapi ia tahu bila benda yang tengah Bravino jepit dengan gigi juga jari itu adalah alat kontrasepsi pria. Ivy meronta dan melawan lebih kuat lagi. Hal yang membuat Bravino melayangkan tangannya ke pipi mulus Ivy. PLAK Telinga Ivy berdenging karena tampar*n kuat itu. Membuatnya sedikit pusing dan ia bisa merasakan adanya rasa asin di sudut bibirnya. “Aku sudah bilang jangan bergerak dan berhenti melawan! Sekali aku mau, maka kamu akan menjadi milikku sampai aku tidak lagi menginginkanmu. Apa kamu mengerti, bit*h?! Sekali lagi kamu melawan aku benar-benar akan membuatmu menjadi santapan anak buahku di bawah sana! Apa kamu mau mencoba peruntunganmu?!” Bravino lalu bangkit dan berjalan ke arah sebuah lemari. Harusnya itu bisa jadi kesempatan untuk Ivy melarikan diri tapi setelah ditampar tadi, keberaniannya jadi merosot hingga ke titik nol. Bahkan mungkin minus. Ternyata Bravino kembali dengan sebuah tali di tangannya. Tali yang berbentuk tambang tapi dari plastic. Dengan cepat ia kembali berada di atas tubuh Ivy yang kini sedang berusaha menutupi tubuhnya meski usaha itu sebenarnya sia-sia. Di kamar itu tidak ada selimut untuk membantunya. “Apa lagi yang mau kamu lakukan?” tanya Ivy takut-takut. “Aku tidak akan melakukan ini kalau saja kamu mau diam seperti perempuan lainnya. Harusnya kamu bisa jadi anak kucing yang pendiam, bukan anjing yang terus menggonggong.” Ivy hanya bisa pasrah ketika David menggunakan tali itu untuk mengikatnya. Kedua tanganya di diikat ke atas, ke sebuah besi yang berbentuk bulat. Sepertinya, besi itu memang berfungsi khusus untuk mengaitkan tali seperti yang ada di tangan Ivy. Setelah selesai, Bravino kembali dengan kasar merobek sisa kain yang ada di tubuh Ivy. Malu? Sudah pasti Ivy rasakan, tapi ia tak mampu berkata apa-apa lagi. Baru kali ini, di usianya yang sudah dewasa, ia tampil polos di hadapan lawan jenisnya. Tak hanya sampai di situ, lalu Bravino juga membuka semua pakaiannya sendiri tanpa ada yang tersisa. Ivy sempat terpana melihat pahatan tubuh pria secara keseluruhan untuk pertama kalinya. Terutama pada apa yang menggantung di bagian pusat Bravino. Tanpa sadar Ivy menelan ludahnya, takut juga merinding. Bravino kembali mencumbunya. Kini ia memulainya dari bibir. Ivy yang bahkan tidak pernah berciuman seumur hidupnya baru ini merasakan hangatnya bibir seorang lelaki. Tapi ia tak bergerak. Ia hanya diam seperti patung. Apalagi bibirnya terasa perih, mungkin karena luka bekas tamparan David tadi. Bravino melepaskan bibir Ivy. “Balas cium*nku, bod*h!” perintahnya. “A-aku tidak tahu caranya,” jawab Ivy dengan pelan. Ia benar-benar buta masalah bercinta. Bravino tertawa dengan nada mencemooh. “Jangan coba bercanda padaku. Tadi kamu meremehkanku lalu sekarang kamu mau membodohi aku, begitu?” Ivy menggeleng. “Aku tidak berani membodohi kamu. Aku takut,” jawab Ivy. Kening Bravino berkerut. Ia sudah biasa berbicara dengan banyak orang, dan itu juga membuatnya banyak belajar bagaimana cara untuk menilai apa lawan bicaranya itu berkata dengan jujur atau membohonginya. Sayangnya Bravino tak mendapatkan tanda-tanda kebohongan itu sekarang. ‘Sial*n, Jhon! Kali ini ia memberiku barang yang jelek,’ umpatnya dalam hati. Meski tidak suka tak mungkin untuknya mundur sekarang. Hasrat sudah memenuhi dirinya apalagi ketika sekarang ia sudah berada di atas wanita yang tak memakai apapun. “Lakukan seperti apa yang aku lakukan!” Kembali Bravino menciumi bibir Ivy, dan meski dengan sedikit kaku Ivy mulai mengikuti. Lama kelamaan Ivy mulai menemukan kenikmatan di antara tautan bibinya juga bibir lelaki yang tadi menamparnya. Sebagai wanita normal yang baru kali ini disentuh dengan sangat intim oleh lawan jenis, membuat Ivy tanpa sadar tenggelam dalam sentuhan Bravino. Ia sangat sensitif dengan semua sentuhan lelaki itu, baik yang kasar maupun lumayan lembut. Kini tangan Bravino sudah tak perlu repot-repot memegangi tangannya karena tangan Ivy sudah diikat. Tangan kekarnya menyentuh semua yang ada di tubuh Ivy. Dari atas sampai ke bagian pusat dirinya. Membuat Ivy mengingkari keinginan awalnya yang ingin melawan. Ketika tangan Bravino sudah mulai bekerja sama dengan bibir juga lidahnya, Ivy kehilangan akal sehatnya. Ia mulai mendesah, mengerang, mengeluarkan reaksi atas kenikmatan asing yang melanda tubuhnya. Rasa aneh itu merajai tubuh Ivy, membuatnya tidak ingin berhenti. Bahkan kini tubuh Ivy seperti ingin disentuh lebih banyak lagi, lagi dan lagi. Juga ketika Bravino mulai meregangkan kedua pahanya tanpa bersusah payah. Antara pasrah dan juga lelah. “Aku suka kamu yang melihatku seperti itu. Kalau dari awal kamu menuruti aku, kamu tidak perlu mendapatkan tamparan dariku, Baby.” Bravino mengelus pipi Ivy yang masih terasa perih, lalu mengecupnya dengan singkat. Sebenarnya ia masih ingin bemain-main, tapi hasrat membuat kepalanya hampir pecah. Bravino mulai mendorong miliknya di antara kedua kaki Ivy. Memaksa masuk miliknya agar ia segera mendapatkan kelegaan. “Akh!” Ivy sedikit menjerit ketika ada sesuatu yang keras dan besar seperti berusaha membelah dirinya menjadi dua. Bravino mengangkat wajah, dan menatap Ivy dengan tajam. “Aku bukan mau melawan, tapi itu benar-benar sakit. Sakit sekali,” ucap Ivy takut sambil meringis. Ia takut kalau Bravino akan menyakitinya lagi. Lelaki itu lalu mundur kemudian menunduk di antara kaki Ivy. Karena malu, Ivy pun menutupinya. “Buka kaki kamu! Aku mau melihat apa yang tadi sudah menahanku!” Kembali, mau tidak mau Ivy menuruti perintah Bravino. Ia hanya bisa menutup kedua mata agar bisa sedikit mengusir rasa malunya. Tak lama kemudian Bravino bertanya, “Kamu masih perawan?” “Hah?” “Jawab aku!” Bravino membentak Ivy. “I-Iya,” jawab Ivy. “s**t! Jhon apa yang kamu inginkan dengan memberikan perempuan bodoh seperti ini?!” Bravino kembali marah-marah. Membuat Ivy juga makin takut kepadanya. Ingin mundur tapi apa ia bisa menahan hasratnya? Ia sendiri tidak yakin karena miliknya itu sudah sangat tegang. ‘Ah, aku tidak peduli. Saat ini juga aku harus menuntaskan hasratku.’ Bravino kembali merunduk di atas tubuh Ivy. “Aku tidak pernah bermain dengan perawan. Kata orang itu akan terasa sedikit sakit pada awalnya, jadi apapun yang terjadi nanti kamu harus menahannya. Aku gak akan mundur!” Dengan menahan kedua kaki Ivy, Bravino pun maju untuk melakukan hal yang seharusnya ia lakukan. Sempat meleset beberapa kali, namun di ketiga kalinya dengan hentakan yang kuat, Bravino menerobos milik Ivy. Ivy menjerit kesakitan, dan air mata pun luruh membasahi pelipisnya. Bravino masih diam, ia tak langsung bergerak dengan brutal seperti biasanya. Kadang mengumpat kadang juga mendesah lega sembari menutup matanya. Tak memperdulikan lawan mainnya yang bergerak pasrah tanpa perlawanan. Sedang Ivy, ikut menutup mata. Setetes air lolos dari sudut mata. Merasakan perih yang ngilu hingga ke ulu hati. Namun, rasa hancur dan hina menguasainya. Tak pernah terbayang sedikitpun oleh Ivy bahwa dirinya akan mengalami penghinaan sedina ini. Padahal ia hanya ingin mencari nafkah untuk adiknya, tapi mengapa ia malah bertemu Lucifer yang mengantarkannya ke jurang neraka menjijikkan. ‘Apa aku masih sanggup hidup setelah ini?’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD