3. Papa Gula
“To-tolong ahh hentikaaan. Ak-aku, tolong.”
Suara desahan laki-laki dan perempuan terdengar sangat nyaring di dalam kamar itu. Suara itu adalah suara Bravino dan Ivy yang bersahut-sahutan.
Beberapa menit yang lalu, setelah Bravino sudah berhasil menerobos segel Ivy secara paksa, Bravino mulai menggerakkan tubuhnya.
Mulai bergerak untuk mencari kenikmatan surga dunia miliknya. Ia yang sudah sangat berpengalaman masalah ranjang, tak perlu waktu lama untuk mencari posisi yang bisa membuat dirinya juga pasangannya mendapatkan kenikmatan.
Tak ada umpatan juga sikap kasar seperti saat pertama, mungkin juga karena Ivy tak lagi melawan. Mungkin juga karena Ivy sudah pasrah dalam kesakitan dan penghinaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Bravino ikut membawa Ivy bersamanya untuk bisa menikmati rasa ngilu dan geli yang mengisi tubuhnya. Membawa keduanya terbang menuju surga dunia.
"Damn! Kamu berbeda dari semua wanita yang pernah kutemui, kamu luar biasa. Aku benar-benar menginginkanmu."
Bravino terus meracau di sela-sela kegiatannya berayun di atas tubuh Ivy. Cium*n, belaian dan remasan di berbagai tempat membuat Ivy juga ikut meracau bersamanya.
Meski cium*n yang Ivy berikan sebagai balasan masih sangat kaku, tapi entah mengapa Bravino malah lebih menyukainya ketimbang dengan ciuman wanita bayaran yang sudah tentu sangat berpengalaman.
Kekakuan yang membuatnya merasa sangat berkuasa, dan makin melambungkan hasratnya yang telah sangat tinggi. Entah berapa banyak dosis obat perang*ang yang masuk ke dalam tubuhnya, yang jelas ia belum pernah berhasrat sekuat ini sebelumnya.
“To-tolong berhenti. A-aku ... aku ....,” ucap Ivy setelah belasan menit ia terombang-ambing dalam kayuhan hasrat Bravino. Dorongan aneh mendera tubuhnya tapi ia bingung menjelaskannya.
“No, Baby. Saya gak akan berhenti bila tujuan saya belum tercapai,” jawab Bravino dengan suara yang makin berat.
Bravino menaikkan tempo gerakannya tanpa ampun. Menghujam juga mendorong dengan kuat dan dalam. Tak ada gerakan lembut lagi, yang ada hanya kebrutalan Bravino. Ia menjadi dirinya yang sebenarnya.
Ivy menggeleng frustasi dengan serangan membabi buta dari pria di atasnya. Ia bisa merasakan bila milik Bravino sangat memenuhinya hingga terasa sesak.
Lagi-lagi tubuh Ivy melawan. Ia tak mampu menahan dorongan dahsyat yang berasal dari dalam tubuhnya itu. Gelombang besar yang siap untuk menggulung tubuhnya ke dalam rasa asing yang belum pernah ia jumpai seumur hidupnya.
Dan ketika rasa itu sudah keluar juga membanjirinya di bawah sana, ia bisa merasakan bila Bravino menghentikan gerakannya.
Lelaki berjanggut tipis itu tersenyum kemudian melumat bibir Ivy satu kali.
“Aku suka saat kamu keluar, punya kamu jadi terasa lebih hangat lagi. Punyaku dipijat dengan sangat luar biasa. How can you do that, huh?”
Ivy tidak terlalu mengerti apa yang Bravino ucapkan. Adapun yang baru Ivy sadari adalah bila tadi itu bukan rasa untuk buang air kecil tapi sebenarnya karena ia merasakan klimaks.
Dan wow, amazing. Ternyata rasanya benar-benar sungguh luar biasa nikmat. Bahkan pikiran nakal Ivy berteriak ingin mengulang dan merasakannya lagi.
Bravino berpindah tempat. Ivy pikir bahwa semua penderitaan yang penuh dengan kenikmatan itu telah berakhir. Tapi ternyata ia salah. Bravino hanya berpindah tempat untuk mengganti posisi.
Bravino berbaring di samping tubuh Ivy, kemudian ikut membuat Ivy berbaring dengan menghadap samping, membelakanginya. Bravino mengangkat satu kaki Ivy dan mulai melakukan lagi seperti yang ia lakukan tadi.
Alunan desahan Ivy mengikuti tempo gerakan yang Bravino berikan. Semakin cepat gerakannya, maka semakin banyak juga desahan yang keluar dari mulut Ivy.
Ivy mengutuk dirinya yang lupa akan awal kejadian hari ini. Harusnya ia terus meronta, berteriak bahkan kalau bisa ia menyakiti pemerkaosnya itu. Tapi badan Ivy menolak apapun yang otaknya sampaikan.
Di antara sadar dan tidak, Ivy masih bisa merasakan ketika milik Bravino keluar darinya, kemudian lelaki itu mengecup kening, dan menjatuhkan tubuh tepat di sisi tubuhnya.
"Terima kasih, Baby. Kamu sudah ngasih aku pelayanan yang sangat luar biasa. Ayo kamu harus istirahat. Masih banyak waktu dan hal yang ingin aku habiskan bersamamu."
Ivy tidak lagi menjawab apalagi melawan tubuhnya sudah sangat lelah. Peluh membasahi seluruh kulitnya yang ia inginkan saat ini hanyalah … tidur.
***
Tidak tahu sudah berapa lama Ivy tertidur, yang ia tahu hanyalah ketika ia bangun jendela sudah menunjukkan langit yang gelap berbeda ketika tadi siang ia masuk ke dalam kamar itu.
"Jam berapa ini? Ya Tuhan, ini udah malam. Aku harus cepat pulang, Eri pasti khawatir dan mencariku," monolognya.
Ivy mencoba bangun dari tempat tidur. Dan ternyata tangannya sudah tak diikat lagi. Ivy meringis kesakitan ketika ia merasakan perih di antara kedua pahanya juga kedua pergelangan tangannya.
Ivy terus mengeluh ketika rasa sakit itu makin menjadi saat ia berjalan. Ivy mencoba mengumpulkan pakaiannya yang berserakan di lantai.
Tapi tiba-tiba ada suara yang membuatnya terkejut. “Siapa yang nyuruh kamu pakai baju?!”
Ternyata itu Bravino. Lelaki itu sepertinya baru selesai mandi. Terlihat dari masih adanya beberapa titik air yang membasahi rambut, leher juga dadanya.
Ivy menelan ludah. Susah payah ia mengumpulkan konsentrasi untuk menjawab pertanyaan lelaki di hadapannya.
“Maaf, tapi aku harus pulang. Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan, bukan? Jadi tolong … biarkan aku pergi.”
Ivy memohon dan memberikan tatapan memelas. Ingin rasanya ia teriak protes akan mahkotanya yang direbut paksa dengan alasan sepele.
Namun Ivy sadar posisinya saat ini tak memungkinkan untuk itu. Protesnya pun tak akan mengembalikan kesuciannya kembali utuh.
Ivy hanya ingin mengakhiri penderitaan beberapa jam terakhir ini. Ingin segera keluar dari neraka yang mengurungnya dalam lembah dosa.
“Kamu boleh pergi kalau aku mengijinkannya. Kalau tidak, kamu gak akan bisa melakukan hal itu!” seru Bravino.
Air mata Ivy kembali jatuh. Ia berlutut, meski sedikit sulit karena selimut yang masih melilit di tubuhnya. Rasa ngilu di bagian intinya sama perihnya dengan hatinya.
“Aku mohon, tolong aku. Kenapa aku harus merasakan ini semua? Kenapa kamu harus menghukum aku dengan sangat kejam hanya karena aku terlambat mengirimkan pesanan makananmu? Apa ini adil buatku?!”
Ivy terus menerus tergugu. Wajahnya memerah karena tangis yang kembali pecah. “Ini benar-benar gak adil,” ucap Ivy lagi.
Sekarang Bravino menyadari satu hal. Dari awal memang pembicaraannya dengan wanita cantik itu seperti tidak pernah nyambung. Ia ke kiri dan perempuan itu ke kanan.
Hanya saja setelah Bravino tadi merasakan efek obat perangsang yang diberikan oleh salah satu saingan bisnisnya, pikirannya jadi sedikit kacau.
Yang ada di kepalanya ia harus segera meniduri wanita yang sudah ia pesan lewat mucikari langganannya, yaitu Jhon.
“Jadi, kamu bukan wanita suruhan Jhon?” tanya Bravino.
Kening Ivy berkerut, ia berusaha menjawab meski itu sulit karena ia masih terus menangis.
“Jhon siapa? Aku gak tahu siapa itu Jhon. Aku cuma kenal Pak Slamet. Dia adalah Bossku di restoran siap saji tempat kamu memesan makanan tadi.”
Bravino menutup mata kemudian menggaruk kepalanya dengan kuat.
‘Damt it! Aku sudah melakukan sebuah kesalahan. Dia bukan wanita bayaran. Jadi itu alasan kenapa dia masih perawan tadi,’ monolog Bravino dalam hati.
“Aku mohon lepaskan aku, Tuan. Aku tidak akan melaporkan kejadian ini pada siapapun. Aku hanya mau pulang. Adikku di rumah sendirian menungguku,” pinta Ivy lagi.
Bravino menatap Ivy, otaknya sedang berpikir keras. Ia bisa saja melepaskan wanita tadi, atau … tidak sama sekali. Yah, ia sanggup melakukan apapun yang ia mau.
“Kamu boleh keluar dari rumah ini, tapi dengan satu syarat.”
“Syarat? Syarat apa?”
“Jadi simpananku, dan aku akan jadi sugar Daddy kamu. Kamu terlihat masih sangat muda, tapi aku menyukai tubuhmu. Aku akan memberimu apapun yang kamu minta, asal kamu selalu siap melayaniku.”
Ivy membuka matanya lebar-lebar. ‘Hal gila apa lagi ini?!’
“Kamu tidak punya pilihan lain, take it atau selamanya kamu tidak akan pernah pergi dari rumah ini dan juga tidak akan bertemu dengan adikmu!”