"Lo serius?!" tanya Jo dengan nada terkejut.
"Itu ... ya, gue serius! Ada cowok yang gue suka!"
"Wah, selamat ya Sena, semoga kalian langgeng!" ucap Femi dengan nada senang. Ya, setidaknya saingannya berkurang. Lagi pula mana mungkin Jo suka sama Sena. Selama ini kan yang Jo kencani kebanyakan gadis glamor yang cantik bak model. Sena? Cantik sih. Tapi norak. Pakaiannya saja cuma kaos oblong dan celana jeans. Bahkan kadang pake kolor gombrang kemana-mana. Gak banget deh pokoknya.
"Ahaha, iya," langgeng pala lu! Pacar dari mana gue?! Hh, merepotkan saja!
Sedangkan Jo masih diam tak percaya. Matanya menyelidik wajah Sena. Mencari kebenaran dari mata Sena. Tapi Sena malah mendelik tajam padanya.
"Apaan sih lo? Lihatin gue kayak gitu?"
"Ck, gue cuma lagi nyelidikin mata lo, biasanya orang kalau bohong tuh matanya gak fokus," jawab Jo tanpa melepas tatapannya.
"Halah, gaya lo kayak detektif aja!"
"Eh, sudah Jo! Harusnya kamu senang lho, Sena udah punya pacar. Kan ada yang jagain pula."
"Jagain apaan? Dia gak takut apapun!"
"Masa sih? Sen, beneran kamu gak takut apapun?" tanya Femina terkejut.
"Aku? Ahaha, ada kok, paling takut sama ulet bulu. Geli sih!"
"Tuh kan apa aku bilang, Fem! Si Sena mah udah gagah begitu juga, gak usah dijagain lah, penjahat aja takut sama dia!" ucap Jo sambil mencibir.
"Wih, keren kamu ya Sen? Eh tapi beruntung lho yang jadi pacarnya itu. Punya cewek yang mandiri dan gak cengeng. Eh, nanti kapan-kapan kenalin sama aku ya, Sen?"
"Ah, ya. Tentu saja! Hehe," jawab Sena.
Sial, gini nih kalau sekali berbohong, maka kebohongan lain siap mengikuti!
"Ya udah, aku pamit dulu ya? Sen juga Jo, salam buat adiknya juga ya?"
"Ah, iya. Makasih banyak lho, Fem! Kamu udah mau nyempetin ke sini."
"Iya, lain kali ajak aku ke rumah Jo juga ya? Kalau sekarang aku masih ada urusan keknya."
"Ah, ya, tentu saja. Ke rumah Jo, haha," jawab Sena.
Selepas kepergian Femi, Jo terus ngintilin Sena kemana-mana. Ke kamar, ke dapur, ke luar bahkan saat Sena mau masuk ke kamar mandi, Jo masih ngintil di belakangnya.
"Ck, lo kenapa sih? Ngikut mulu dari tadi?! Gue mau pipis ikut juga lo?"
"Pokoknya jawab dulu! Bener apa kagak ucapan lo tadi?"
"Yang mana?"
"Katanya lo punya pacar!"
"Ck, kepo lo!"
"Bohong kan?"
"Apaan sih, lo! Sana pergi! Gue mau masuk ke kamar mandi ini!"
"Bener apa bohong?"
"Emang kalo bener kenapa?! Lo cemburu?!"
"Bwahahahahha, udah gue duga!"
"Kenapa ketawa lo?"
"Hahaha, duh, sakit perut gue. Ya lucu aja, gue udah menduga. Mana ada cowok yang mau punya pacar kayak lo! Udah jelek, miskin, norak lagi!"
Pletak!
"Aduh! Ngapain lo jitak gue?! Otak jenius gue bisa ancur tahu!"
"Syukurin! Biar lu mampus sekalian! Gue udah capek ngurusin lo!"
BLAM!
Sena menutup kamar mandi dengan kencang.
"Busyet dah, nih cewek apa setengah cowok ya? Tenaganya gede amat?"
Jo pergi meninggalkan kamar mandi dengan bersungut-sungut.
Mending makan buah dari pada dengerin omelan Sena yang ngecaprak di kamar mandi.
***
"Kak besok masuk kuliah?" tanya Diwan. Malam ini mereka sedang makan. Menghabiskan sisa ikan bakar pemberian dari Femi tadi siang.
"Iya, masuk kerja juga," jawab Sena.
"Memangnya Kak Jo sudah sembuh?" tanya Diwan. Ekor matanya melirik Jo yang sedikit berbeda. Pria itu makan dalam diam agak aneh memang. Sebab biasanya Jo berisik. Terlebih lagi dalam hal membuat Sena marah atau kesal.
"Tahu tuh! Diem aja dari tadi, sakit gigi kali!" jawab Sena dengan kesal.
"Gue bukan sakit gigi, cuma lagi mikir," jawab Jo sambil membersihkan sisa daging pada tulang ikan dengan mulutnya.
"Lo lagi makan! Masa lagi mikir!"
"Ya kan otak jenius mah gini! Bisa mikir walau lagi makan juga. Emang elo yang pikirannya ribet!"
Diwan menahan tawa, tangannya mengambil air minum sambil melirik Jo, "wah, Kak Jo mikir apa emangnya?"
Jo menatap Sena dengan tatapan menyelidik, dengan wajah serius ia mendekati wajah Sena yang sedang memakan buah.
"Apaan lo deket-deket! Sana lo pergi jauh-jauh!"
"Hm, pria menyedihkan mana yang mau sama lo ya?"
Pletak!
"Aduh! Lo kenapa sih? Pala gue bisa bocor ama tangan lo tuh! Dikit-dikit ditoyor, dikit-dikit dijitak!"
Jo mengusap-usap kepalanya yang dijitak Sena.
"Biar otak lo lempeng! Ngomong sembarangan! Heh, asal lo tahu ya, anaknya bos warteg naksir gue!"
Jo melongo. Si Sena emang cantik sih, cuma kurang feminin aja anaknya.
"Terus lo terima?"
"Kagak."
"Bwahahaha, ngimpi lo!"
"Gue gak ngimpi kok, buktinya masih ada kok," jawab Sena cuek.
"Beneran, Wan?" tanya Jo pada Diwan.
"Iya, bener. Tuh boneka beruang yang di kamar Kak Sena buktinya."
"Bwahahaha, jadi Sena pacaran sama boneka beruang? Hahaha ... dasar manusia aneh!"
Diwan diam sejenak. Lalu melirik kakaknya yang menatap kesal pada Jo.
"Kak, boleh ceritain gak?" tanya Diwan pada Sena.
"Terserah!" jawab Sena.
"Ceritakan saja! Gue mau tahu, cowok payah mana yang naksir dia! Haha!"
Meski Jo tertawa cengengesan, dalam hati ia komat kamit berdoa, semoga saja pria bodoh yang katanya pacar Sena itu gak lebih keren darinya.
"Jadi gini, dulu sebelum mama dan papa kami meninggal, kami punya tetangga. Namanya Ega. Kak Ega bersahabat baik dengan Kak Sena. Hingga suatu hari Kak Ega melanjutkan kuliahnya ke luar negeri."
"Baguslah, jadi Si Sena menderita sendirian, hahaha!"
"Itulah awalnya, Kak."
"He?"
"Iya, sebelum pergi ke luar negeri, Kak Ega menyatakan perasaannya pada Kak Sena. Lalu ia memberikan boneka itu. Dia bilang jika Kak Sena menerima cintanya, maka boneka itu harus disimpan baik-baik hingga Kak Ega kembali."
"Malang banget nasib lo, haha!"
Jo tertawa keras sambil memegang perutnya. Sesekali ekor matanya melirik Sena yang mendengus kesal padanya. Diam-diam Jo jadi penasaran seperti apa wajah pria bodoh itu ya? Yang membuat Sena belum menjalin hubungan dengan siapa pun saat ini. Setidaknya itu yang Jo tahu.
Sedangkan Sena hanya diam dari tadi. Dan hal itu membuat Diwan sedikit merasa bersalah.
***
"Wan, Sena mana?" tanya Jo. Ia baru bangun tidur. Rambutnya masih berantakan. Jo menghampiri Diwan yang sedang mencuci baju di kamar mandi luar. Tangannya membawa secangkir kopi yang masih mengeluarkan asap.
"Kak Sena pergi tadi pagi sekali. Katanya ada urusan."
"Urusan? Emang dia gak kuliah apa?"
"Katanya sih gak akan lama."
"Oh," Jo ngeloyor pergi sambil menggeliat pelan.
"Hallo Jo... baru bangun ya?" sapa Mona, tetangga sebelah mereka. Wanita gempal itu tersenyum manis pada Jo. Ia membawa seember cucian yang siap untuk dijemur.
"Ah, iya. Makin bulet aja lo, Mon!" jawab Jo sambil menahan tawa.
Tapi yang diketawain bukan tersinggung, malah tersenyum senang, "iya, Jo. Kan katanya wanita gendut itu lucu dan seksi!"
"Haha, gimana selera pria lah, Mon!"
"Emang selera Jo yang kayak gimana?"
"Gue? Yang penting cewek baiklah!"
"Ih, Jo! Bikin aku merona aja di pagi hari!" serunya sambil tersipu.
Jo hanya tersenyum kecil.
"Waduh, Abang ganteng udah bangun ya? Gak kerja, Bang?"
Ini dia nih, satu lagi. Mpok Iyem. Janda beranak tiga. Udah berumur tapi masih cengengesan padanya.
"Eh, iya, Mpok. Lihat Sena gak, Mpok?"
"Dih, Abang ganteng! Ada Iyem yang bahenol di sini, yang ditanyain malah Sena!"
"Ya, kali aja Mpok tahu Sena kemana."
"Imbalannya, apa?" tanya Mpok Iyem dengan genit.
"Tapi tahu gak?"
"Iyem lihat kok tadi. Tapi kasih imbalan dulu!"
Jo diam sejenak. Dia melirik cangkir kopinya yang tinggal sedikit lagi.
"Mpok mau merasakan aroma bibir gue?"
Mpok Iyem langsung berbinar. Membuat Mona mendengus sebal. Gadis bulat itu memeras cucian sekuat tenaga menyalurkan rasa kesalnya.
"Tentu saja Iyem mau, Bang!"
"Bilang dulu di mana Sena?"
"Tadi Iyem lihat Sena naik mobil bagus terus pergi ke arah sana!" jawab Iyem.
"Mobil bagus?" Jo mengerutkan kening. Siapa ya? Jangan-jangan, pacar k*****t Si Sena benar-benar ada! Ah dia jadi penasaran, seperti apa pria menyedihkan itu ya?
Jo bangkit dan hendak masuk ke dalam lagi. Tapi Iyem memanggilnya.
"Abang! Mana imbalannya?" rajuk Iyem. Duh ini cewek gak sadar umur kayaknya! Rutuk Jo dalam hati.
"Tunggu bentar, ya? Mau siap-siap dulu!"
Jo masuk ke dalam dan mengambil jaketnya.
"Wah, Abang mau ngajak Iyem jalan?" wajah Iyem berbinar senang.
"Enggak," jawab Jo sambil mengenakan sepatunya.
"Lho, lalu kita mau kemana?"
"Kita? Gue doang kali! Lo mah enggak!"
Iyem cemberut, "ih Abang ganteng kok gitu? Katanya ada imbalan buat Iyem!"
Mona yang diam-diam mendengarkan Jo dan Iyem di balik jemuran terkikik geli. Rasain lu!
Jo mengambil cangkir kopinya yang tinggal sedikit.
"Nih!" ucap Jo sambil menyerahkan cangkir itu pada Iyem.
Iyem melongo. "Kok cuma kopi bekas?"
"Ck, gini. Ini tuh bekas minum gue. Mpok minum deh! Ntar kerasa harum bibir gue, okay?" Ucap Jo lalu bergegas pergi.
Ia tersenyum geli, dasar emak-emak rempong! Jo masih mendengar teriakan terima kasih yang dilontarkan Mpok Iyem padanya.
***
Jo sudah berjalan cukup jauh dari kontrakan. Tapi belum ada tanda-tanda tentang keberadaan Sena. Sumpah, seumur hidup baru kali ini Jo sangat penasaran pada sesuatu. Padahal hanya ingin melihat Sena jalan dengan siapa. Udah itu aja.
Kaki Jo menendang-nendang kerikil sepanjang jalan yang dilaluinya.
Hingga Jo tertegun melihat di depannya ada warung kopi kecil. Ah, bukan warung itu yang membuat Jo tertegun. Tapi sebuah mobil yang terparkir di depan warung.
Itu mobil maminya kan? Platnya sama! Mana mungkin ada plat mobil yang sama!
Dan dengan kampretnya rasa rindu akan maminya kembali menyerang Jo. Membuat kakinya berjalan secara tak sadar ke arah mobil itu.
Dan apa yang Jo lihat benar-benar di luar dugaan, Jo melihat maminya dan Sena sedang berbicara serius. Entah apa itu. Dan ada satu hal yang menarik perhatian Jo saat ini.
Ada amplop tebal di atas meja. Sepertinya Sena memberikannya untuk mami dengan sedikit paksaan. Tapi mami menolaknya.
Wait, ada apa dengan mereka?
Jo masuk ke warung yang sepi pengunjung itu.
Sontak dua orang yang menjadi pusat pikiran Jo itu menoleh bersamaan.
"Jo?!"