Berdiri di balik sebuah pohon, Dipo merasa hatinya berdenyut dengan perih ketika dia melihat Dylan yang menangis secara diam-diam. Jantungnya berdebar, sakit dan menyesakan. Tadinya dia hanya ingin melihat untuk beberapa saat sebelum hasil laporan tes DNA yang dia lakukan secara diam-diam dua hari lalu keluar. Tapi ketika Dipo melihat anak kecil gemuk yang menyeka air matanya, Dipo tidak tahan lagi. Dia melangkahkan kaki jenjangnya yang terbalut celana mahal, menghampiri anak itu.
"Kamu–" Belum sempat Dipo menyelesaikan ucapannya, Dylan mendongak ketika ada kaki seorang pria yang berdiri di depannya.
Ketika anak itu melihat Dipo, wajahnya yang tembam menampilkan ekspresi tercengang dan mulutnya membentuk 'O' kecil.
"Papa!" Dylan begitu bersemangat melihatnya, anak itu melompat memeluk pinggang Dipo.
Dipo juga kaget karena Dylan mengenalinya.
"Om, Papa Dylan, Kan?" Dylan mencoba memanjat tubuh tinggi Dipo, menatap Dipo dengan tatapan mata berbinar.
Dipo menyelipkan kedua lengannya di ketiak sang putra, membawanya kedalam gendongan Dipo. Tubuh gemuk Dylan melayang, anak itu berteriak kecil dengan gembira.
"Papa kemana aja? Papa udah cali uangnya?"
"Mama bilang kalau Papa cari uang?" tanya Dipo, dia kini tidak lagi ragu jika anak di gendongannya adalah anak kandungnya.
Dylan menganggukkan kepala dengan semangat.
"Dylan kangen sama Papa!" Dylan membenamkan kepalanya di ceruk leher Dipo, suara anak kecil itu perlahan mengecil dan terdengar Isak tangis di telinga Dipo.
Mata Dipo memerah, dia tidak bisa untuk tidak memeluk tubuh kecil Dylan dengan erat.
"Maaf, ya. Dylan marah sama Papa?" Tanya Dipo.
Dylan menggelengkan kepalanya, mengangkat wajah gemuknya lalu kedua tangan itu terulur memegang kedua pipi Dipo.
"Dylan enggak malah! Mama bilang Papa kelja, jadi Dylan enggak boleh malah sama Papa," ucap anak itu yang sekali lagi membuat ulu hati Dipo berdenyut dengan perih.
Dipo mengecup kening Dylan dengan lembut, yang dibalas kecupan berkali-kali oleh Dylan di pipi sang ayah hingga meninggalkan bekas air liur. Tapi Dipo merasa tidak ada yang salah, hatinya tergelitik ketika memeluk tubuh lembut dan gemuk putranya.
"Papa! Ayo pulang, kasih kejutan buat Mama!" seru Dylan dengan bersemangat.
Dipo menganggukkan kepalanya, "Tapi Dylan ikut Papa, dulu, mau?" tanya Dipo.
Mata hitam Dylan mengerejap, menatap Dipo dengan bingung.
"Kemana?"
"Dylan pengen beli pesawat terbang, kan?"
Dylan mengangguk, "Tapi jangan beli, Mama enggak punya uang, itu halganya mahal, Pa."
"Kalau gitu Papa yang belikan untuk Dylan."
"Papa punya uang?"
Dipo menganggukkan kepalanya.
"Papa kaya?"
Dipo mengangguk lagi. Dia bahkan bisa membawa Dylan mencoba pesawat sungguhan. Tapi tidak untuk saat ini karena dia harus menemui Luna segera. Dipo membawa Dylan ke pusat perbelanjaan menggunakan mobilnya.
Anak itu begitu lincah melihat setiap detail mobil milik sang ayah. Bukannya Dylan tidak pernah menaiki mobil, tapi mobil yang biasanya dia dan ibunya naiki adalah mobil milik Mila. Jauh berbeda dengan mobil milik Dipo. Dipo mendudukkan Dylan di kursi belakang, memakaikan anak itu sabuk pengaman dengan erat.
"Pa, kok mobil Papa beda sama mobil Tante Mila?"
"Tante Mila?" tanya Dipo balik.
Dylan mengangguk, "Iya, Pa. Tante Mila. Tante Mila baik sama Dylan sama Mama! Suka masakin kita, telus juga suka bawa ayam goleng buat Dylan!"
Dipo berpikir, mungkinkah Mila keluar dari mulut Dylan adalah Mila mantan teman SMA mereka yang juga hadir di reuni kelas hari itu?
Keduanya tiba di pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah. Dylan tercengang melihat begitu banyak mainan yang tersusun di rak-rak.
"Dylan mau mainan yang mana?" tanya Dipo.
Dylan yang tercengang menoleh menatap ayahnya, lalu tanpa aba-aba mencium pipi Dipo lagi dengan erat. Setelah meninggalkan air liur di pipi Dipo, anak itu dengan senang hati berlari menuju rak-rak yang penuh dengan berbagai jenis mainan remote control. Pada akhirnya, Dylan tidak hanya memilih pesawat terbang, tapi juga sebuah robot Transformers yang bisa berubah hampir sebesar tubuhnya.
"Itu aja?" tanya Dipo.
Dylan menatap dua mainan di tangannya, lalu mengangguk. Sebenarnya dia ingin membeli banyak, tapi Dylan tidak mau ayahnya menganggap bahwa dia menghabiskan uang!
Dipo membawa Dylan kemeja kasir, setelah membayar mereka kembali ke rumah kecil yang di tinggali Luna dan Dylan. Ketika keduanya sedang dalam perjalanan pulang, Dipo tidak tau mengapa Dylan menjadi lebih pendiam. Anak itu hanya menundukkan kepalanya sambil bermain dengan jemari kecil gemuknya.
Sampai dirumah, Dipo menuntun Dylan sampai kedepan pintu rumah kecil itu.
"Papa," panggil Dylan dengan pelan.
Dipo mengangkat alisnya, menatap Dylan dengan tatapan bertanya.
"Itu-" Dylan ragu, dia memilik jari-jarinya dengan gugup, "Kalau Papa liat Mama, Papa jangan malah, jangan pelgi juga. Mama itu baik, cuma emang suka malah-malah, Mama juga cantik kok! Mama bilang kalau dulu yang suka sama Mama itu banyak!" Dylan merentangkan tangannya, memeberi gambaran 'banyak' dalam kata-katanya.
Dylan takut, ibunya gemuk dan galak. Dia takut jika sang ayah melihat ibunya, ayahnya akan pergi karena kegalakan sang ibu. Dia tidak ingin Dipo pergi lagi.
Hati Dipo tersentuh, ternyata sedari tadi Dylan menghawatirkan hal itu. Dipo mengusap pucuk kepala Dylan, lalu mengecupnya dengan singkat.
"Enggak, Papa enggak akan ninggalin Dylan sama Mama lagi."
Dylan mendongak, menatap Dipo dengan mata berbinar.
"Benelan?"
Dipo mengangguk.
Anak itu tersenyum, lalu dengan bersemangat mengetuk pintu rumahnya.
"Mama! Mama! Dylan pulang, Ma!"
Pintu lalu terbuka, Luna langsung melihat Dylan, wanita itu berkata dengan marah pada Dylan.
"Dasar kamu! Katanya sayang sama Mama tapi ninggalin Mama sendirian di rumah. Huh!"
"Ma! Kejutan! Papa–"
Baru saat Dylan mengatakan itu, perhatian Luna akhirnya teralih. Ketika dia melihat Dipo yang berdiri di sebelah Dylan, Luna langsung menutup pintu dengan keras dihadapan ayah dan anak itu.
Terdengar suara keras dari bantingan pintu yang membuat Dylan tercengang, dia menatap sang ayah, matanya memerah hendak menangis. Dia baru saja mengatakan pada ayahnya bahwa ibunya adalah yang terbaik. Tapi sekarang ibunya malah menakuti ayah!
Dipo mengerutkan kening melihat putranya yang hendak menangis. Dia mengetuk pintu, berseru dengan suara dingin pada Luna didalam rumah.
"Luna, buka pintunya."
***
Jantung Luna berdebar kencang, dia menekan dadanya dan mencoba untuk membuat detakannya memelan.
"Kenapa dia ada disini?" gumam Luna pada dirinya sendiri.
Wanita itu lalu berjalan dengan tongkatnya menuju cermin, melihat penampilannya di pantulan cermin tersebut.
Daster bolong, rambut acak-acakan dan wajah kuyu! Sungguh pemandangan yang tidak sedap dilihat!
Luna buru-buru mengganti bajunya. Dia juga memakai bedak ala kadarnya, mengoleskan lipstik dan menyisir rambutnya yang acak-acakan.
Setelah penampilannya agak mendingan, dia kembali berjalan ke pintu depan, dengan cepat menenangkan hatinya, lalu membuka pintu dengan wajah tanpa ekspresi.