Dipo menipiskan bibirnya ketika melihat keduanya pergi. Tanpa menoleh pada Xavier, Dipo bertanya dengan suara dingin.
"Berapa umur anak itu?" tanya Dipo.
Xavier tampak berpikir, lalu menjawab pertanyaan Dipo dengan ragu.
"Mungkin 4 sampe 5 tahun?"
Alis Dipo berkerut, telapak tangannya mengepal dengan erat.
***
Dua hari kemudian, Luna memaksa Mila untuk memulangkan dirinya. Sejak bertemu dengan Dipo di taman rumah sakit, Luna merasa hatinya gelisah tidak karuan. Dia takut jika nanti akan bertemu dengan Dipo lagi. Di sisi lain hatinya, Luna merasa kecewa karena selama dua hari ini Dipo tidak datang padanya, di sisi lain, dia lega karena Dipo tidak datang. Tapi tidak datangnya Dipo membuktikan bahwa pria itu tidak lagi peduli padanya, bahkan setelah lima tahun. Mungkin juga itu karena dia gemuk, jadi saat Dipo melihatnya pria itu merasa jijik.
Luna menangis ditengah malam di kamarnya yang sempit dan kecil. Sambil memeluk ponselnya, air mata tidak kunjung berhenti mengalir.
"Huhu, dasar b******k! Dasar!" Luna mengutuk dengan suara pelan pada foto Dipo di ponselnya.
Untung saja Dylan sudah tertidur dengan lelap, hingga anak gemuk itu tidak mendengar suara tangis ibunya yang memilukan. Jika anak itu mendengar, Luna yakin Dylan akan mengejeknya.
Keesokan harinya, Luna bangun dengan mata panda yang tebal di bawah matanya. Mila juga sudah datang, sibuk memasak sarapan di dapur.
Ketika Luna keluar dari kamar dengan tongkat yang membantunya berjalan, Mila kaget melihat wajah berantakan Luna.
"Lun! Lo kenapa?" tanya Mila dengan khawatir.
Luna menggeleng dengan lesu.
"Mama nangis kalna Papa, Tan!" Suara Dylan tiba-tiba terdengar. Anak yang sedang duduk di atas kursi sambil menggerogoti paha ayam yang Mila masak untuknya.
Mila kaget.
"Enggak!" sangkal Luna, menatap tajam pada Dylan.
Namun Dylan sama sekali tidak menyadari hal itu, dia asik makan, lalu berkata lagi.
"Iya, kok. Mama nangis kayak gini. Huhuhu Belengsek-belengsek!"
Luna yang kesal hendak melangkah maju, namun Mila dengan cepat menahan tubuh gemuknya. Mila menatap Luna dengan tajam, lalu tatapannya beralih pada Dylan.
"Dylan tau Papa Dylan siapa?" Tanya Mila dengan suara lembut.
Dylan mengangguk dengan sangat bersemangat. Anak itu meletakan paha ayam yang belum selesai dia makan, mencuci tangan dengan cepat lalu berlari masuk ke kamar.
Luna dan Mila bingung dengan apa yang akan dilakukan anak itu. Setelah beberapa saat, Dylan kembali, membawa ponsel milik Luna di tangannya.
"Ini Tante! Ini Papanya Dylan, ganteng banget!" Dylan menunjukan foto Dipo yang semalam Luna tangisi.
Mila menatap Dylan tercengang, lalu menatap Luna.
"Um-itu–"
"Papanya Dylan pelgi cali uang buat Dylan sekolah!"
Luna ingin menjelaskan, tapi tidak tau harus berkata apa. Dia memang mengatakan pada Dylan bahwa ayahnya sedang pergi mencari uang untuk mereka. Tapi dia tidak pernah memperlihatkan foto itu pada Dylan!
"Kamu-siapa bilang itu Papa kamu?!" Luna marah.
Alis Dylan berkerut.
"Tapi waktu itu Mama suka cium-cium Papa di sini, telus nangis, telus bilang kapan Papa datang jemput kita."
Mila menatap Luna dengan tajam.
"Enggak!" Luna menatap Mila, menggelengkan kepalanya dan menyangkal.
Mila mendengus.
"Dylan makan lagi, gih."
Dylan mengangguk, dia memberikan ponsel itu pada Mila lalu kembali ke meja makan untuk melanjutkan acara makan paha ayamnya yang tertunda.
Mila menatap foto Dipo di ponsel milik Luna. Foto Dipo beberapa tahun yang lalu, mungkin sebelum Luna dan Dipo putus tahun itu.
"Kenapa Lo masih nyimpen foto si b******k ini?!" Tanya Mila dengan nada marah.
Luna menunduk.
"Dia enggak b******k," sangkal Luna.
"Dia ninggalin lo pas lo hamil dan lo masih bilang dia enggak b******k?" Mila menatap Luna dengan tidak mengerti. Seolah Luna adalah orang i***t yang dia lihat.
"Bukan itu. Dia enggak ninggalin gue." Luna menghela nafas, "Gue gak tau gimana jelasinnya, lo enggak akan ngerti."
"Aish!" Mila berdecak kesal, mengembalikan ponsel Luna pada pemiliknya, "Yaudah cepetan mandi!"
Luna mengangguk, masuk kedalam kamar mandi dengan wajah cemberut. Selesai mandi dan berpakaian, dia kembali ke dapur dengan tertatih-tatih, duduk di kursi meja makan yang terbuat dari kayu yang beberapa tahun lalu Luna beli.
"Makan." Mila memasukan sayuran pada piring Luna.
Luna menatap piring Dylan yang menumpuk daging ayam yang belum selesai pria gemuk itu makan sedari tadi. Dylan yang merasakan tatapan sang ibu pada piringnya merasakan krisis yang akan datang.
"Mama diet," peringat Dylan.
Luna cemberut, dasar saja anak itu tidak ingin berbagi makanan dengan dia.
"Kamu juga diet!"
"Enggak! Dylan lucu, ganteng kayak Papa," seru anak itu.
"Papa kamu enggak gendut," balas Luna tidak mau kalah.
"Nanti-nanti juga Dylan enggak gendut!"
"Makannya kamu juga diet supaya enggak gendut!"
"Mama juga diet tapi gendut!"
"Dasar–"
Ibu dan anak itu terus saling mengatai bahwa satu sama lain gendut. Mila menghela nafas, kesal pada Luna yang bahkan tidak mau mengalah pada putranya sendiri. Lihat saja itu, Dylan bahkan hampir menangis karena tidak tau harus membalas apa.
"Luna!" Tegur Mila sambil menepuk pundaknya.
***
Luna duduk diatas sofa setelah Mila pergi. Luna menghela nafas, dia merasa bersalah pada Mila karena selama ini Luna terus merepotkan nya. Padahal ketika mereka duduk di bangku SMA, Mila dan Luna jarang sekali bertegur sapa. Tapi selama ini Mila yang membantunya melewati setiap masa Sulit yang Luna lewati. Perempuan itu bahkan akan datang ketika pagi dan malam hari untuk memasak.
Bukan apa-apa, itu karena Luna sama sekali tidak bisa memasak dan mungkin masakannya akan meracuni Dylan. Makannya Mila merasa bertanggung jawab untuk membuat Dylan sehat dan gemuk.
Luna menghela nafas.
"Ma, Dylan mau main keluar," ujar Dylan pada Luna.
"Dylan disini aja, temenin Mama."
"Tapi–"
"Dulu waktu Dylan sakit mama juga nemenin Dylan seharian. Masa kamu enggak mau nemenin Mama sekarang."
Dylan menundukkan kepalanya merasa bersalah. Tapi di sisi lain dia merasa sangat bosan karena beberapa hari ini hanya duduk di rumah. Setelah beberapa saat, Dylan menganggukkan kepalanya.
"Iya, Dylan mau nemenin–"
"DYLAN! MAIN YUK! ANDI PUNYA PESAWAT REMOT LOH!"
Tiba-tiba saja suara anak kecil di luar pintu terdengar. Mata Dylan langsung menyala lalu segera berkata pada sang ibu.
"Dylan main dulu, ma!" Setelah itu dia keluar dari rumah.
Luna tercengang, kata-kata Dylan yang akan menemaninya bahkan belum selesai dan anak itu sudah merubah kata-katanya hanya karena sebuah pesawat remote control! Luna mendengus dengan marah, bersumpah bahwa dia tidak akan mengajak Dylan bicara mulai sekarang!
***
Dylan berdiri di kerumunan anak kecil yang sedang menatap kagum pada pesawat remote control milik Andi, teman kecilnya.
Lingkungan tempat Luna dan Dylan tingga umumnya adalah lingkungan miskin, jadi anak-anak disana jarang ada yang mempunyai mainan canggih seperti itu.
"Andi, itu Papa kamu yang beliin?" tanya anak lain pada Andi.
Andi mengangguk dengan penuh semangat, "Ini mainan mahal, enggak semua olang bisa beli!"
Semua anak di sana termasuk Dylan menatap dengan kagum.
"Andi aku minjem dong! Nanti aku pinjemin mobil-mobilan ku yang bisa berubah!" tawar anak lain.
Andi kecil tampak berpikir, lalu menganggukkan kepalanya.
"Oke!"
Dengan itu, anak lain juga mulai menawar dengan Andi.
"Andi! Aku juga punya Dinosaurus!"
"Oke, kamu main habis dia, ya."
Dylan yang terjepit di antara anak-anak lain tidak mau kalah, dia menerobos masuk dengan tubuh gemuknya lalu berteriak dengan semangat pada Andi.
"Andi, Andi aku juga punya mobil-mobilan!"
Andi tampak memandang Dylan dengan ragu.
"Tapi mobil-mobilan kamu udah jelek."
"Uhh, Transformers!" Dylan kembali menawarkan mainannya.
"Aku juga punya Transformers baru. Punya kamu udah lama, kecil lagi."
Dylan tercengang, dia menawarkan banyak mainan berharganya pada Andi namun tidak ada satupun yang diterima. Memang benar, mainannya sudah sangat lama, bahkan mainan baru milik Dylan dibeli tiga tahun lalu oleh Luna dan sejak itu dia tidak membeli mainan lagi.
Dylan masih ingin menawarkan mainannya yang lain, dia punya boneka kesayangannya, rubik dan pesawat-pesawat kecil. Namun Andi juga punya semua itu. Anak itu menunduk lesu, keluar dari kerumunan sementara anak lain mulai kembali menawarkan mainannya.
Dylan duduk di sebuah kayu, dengan wajah kecilnya berkerut hendak menangis. Dia sama sekali tidak punya mainan baru, bahkan jika dia mengatakan pada sang ibu ingin membeli mainan, ibunya tidak akan setuju. Ibunya tidak punya uang.
Dylan kecil diam-diam menyeka air matanya yang keluar.