Seminggu setelah kejadian itu, Luna sama sekali tidak bisa fokus dalam pekerjaannya. Dia bahkan ditegur berkali-kali oleh temannya yang lain karena terlalu sibuk melamun hingga tidak melihat bahwa para ibu yang ingin berkonsultasi dengannya sangat banyak dan mengantri!
Luna bekerja disebuah tempat les yang cukup terkenal di kota mereka, namun karena beberapa kali melakukan kesalahan, dia akhirnya dipecat begitu saja. Untuknya penanggung jawab tempat les masih mau memberinya uang pesangon.
Hah, Luna menghela nafas dengan lelah.
"Ish, kenapa sih, Lo, Lun? Galau karena dipecat? Makannya jangan aneh-aneh kalau kerja. Ini udah kesepuluh kalinya lo dipecat gara-gara hal sepele," tegur Mila dengan kesal ketika dia mendengar desahan Luna untuk yang kesekian kalinya.
Hah, Luna malam kembali mendesah di barengi dengan tangannya mengambil minuman milik Mila. Setelah menyeruput jus stroberi itu, Luna kembali mendesah.
"Sumpah deh!" Mila tidak tahan lagi, dia menggebrak meja dengan sangat keras, membuat pengunjung yang lain langsung memperhatikan mereka dengan kaget dan heran.
Luna juga kaget karenanya. Dia menyusut, mencoba tidak terlihat oleh orang-orang yang menatap mereka. Sialan! Tapi badan besarnya tidak mungkin tidak terlihat.
"Malu-maluin, lo!" Kesal Luna sambil memukul pelan bahu Mila.
"Siapa suruh Lo kayak tadi terus?!" Mila juga kesal dan malu.
Dylan yang duduk anteng sambil memakan semangkuk eskrim nya menatap Luna dan Mila secara bergantian. Anak itu meletakan sendoknya, dengan senang hati menjelaskan pada Mila.
"Mama lagi sakit, Tan."
Mila menatap Dylan dan Luna secara bergantian dengan ekspresi kaget, "Hah? Sakit?"
"Enggak!" Bantah Luna karena dia tidak merasa sakit sama sekali.
Dylan mengerejap bingung, "Tapi di lehel Mama banyak melah-melahnya!"
Luna tercengang, dia tidak tau bahwa Dylan memperhatikan bekas cupang di tubuhnya! Dasar anak ini.
"Merah apa?" tanya Mila.
"Oh, itu, itu sebenernya-eum, nyamuk!"
Mila menatap Luna dengan tatapan curiga, tidak percaya sama sekali dengan nada gugup yang Luna gunakan.
"Beneran nyamuk!"
Mila bangkit berdiri, dia menghampiri Luna, menarik sedikit baju kerah panjang yang membungkus leher tebal Luna. Mila menatap syok pada beberapa bekas merah disana.
"Lun, lo..."
"Bukan!"
Syok berat, Mila duduk kembali di kursinya. Dia meminum segelas air putih.
"Siapa?" Bisik Mila setelah berhasil menenangkan dirinya.
"Ini nyamuk." Luna terus membantah.
"Lo pikir gue bego?! Mana ada bekas nyamuk kaya gitu!" Mila mendengus, sekali lagi menegak air putihnya, "Sumpah! Lo gak diperkosa, kan, Lun? Siapa yang berani ngelakuin itu sama lo?"
"Diperkosa apaan!" Orang sama-sama enak kok. Lanjut Luna dalam hati.
"Terus sama siapa?! Sejak kapan lo deket sama cowok, hah?"
Luna terdiam, berpura-pura tidak mendengar pertanyaan dari Mila. Dia hanya menatap Dylan yang tengah makan eskrim dengan kesal. Anak itu memerah karena sangat senang bisa memakan eskrim tanpa tau bahwa dia menciptakan masalah untuk ibunya.
"Dipo," gumam Luna dengan suara kecil yang masih bisa didengar oleh Mila.
"Sial? Si b******k itu?! Kapan?!"
"Dipo gak b******k, ya," ralat Luna membela Dipo.
"Gak b******k? Dia ninggalin lo dalam keadaan hamil dan lo bilang dia bukan cowok b******k?! Luna! Kalau cowok kayak gitu enggak b******k, cowok b******k itu yang kayak gimana?!" kesal Mila, heran dengan sikap Luna yang selalu saja membantah jika dia bilang Dipo adalah b******n b******k.
"Dipo enggak ninggalin gue, Mil."
"Oh, ya? Terus kenapa dia sekarang gak tanggung jawab sama lo?"
"Itu–" Luna menggaruk tengkuknya, tidak tau bagaimana dia harus menjelaskan pada Mila, "Pokoknya dia enggak b******k!"
"Terserah Lo deh!"
Pengunjung cafe yang tadinya ramai kini mulai berkurang. Cafe ini adalah salah satu Cafe yang masih mengusung tema lama, yang artinya bahwa masih ada manusia yang bekerja dan melayani tamu, bukan para robot canggih seperti di kebanyakan tempat perbelanjaan. Furniture juga masih menggunakan jenis furniture biasa. Kursi dan meja hanya terbuat dari kayu.
Pukul empat sore, Luna dan Mila akhirnya memutuskan untuk kembali.
"Gue balik duluan, ya."
Luna mengangguk, dia dan Dylan menatap kepergian Mila. Karena Mila berencana akan pergi ke tempat kerjanya terlebih dahulu, jadi Luna terpaksa harus pulang bersama Dylan hanya berdua.
Dylan memegang tangan sang ibu, keduanya menyeberang jalan sambil bergandengan tangan. Dylan melangkah duluan ke trotoar jalan, sedangkan ketika Luna hendak melangkah naik, sebuah mobil dari kejauhan melaju sangat cepat hingga menyerempet Luna, membuat tubuh tambunnya terguling di jalan dan pingsan. Semua orang yang melihat menjerit ngeri, lalu ketika mereka tersadar, mereka membantu Luna menelepon ambulans.
***
"Mama, jangan mati, Ma."
Dalam kegelapan, Luna merasa ada suara seorang anak kecil yang menangis. Luna mengerejap ketika secara perlahan cahaya masuk ke matanya. Wanita gemuk itu mengerang, merasa bahwa seluruh tubuhnya kesakitan.
"Mama, kalo mama mati nanti Dylan enggak bisa makan lagi!"
"..." Luna sungguh tidak bisa berkata-kata dengan anak gemuknya itu.
"Siapa yang mati!" Luna menggerakkan tangannya dengan susah payah.
"Mama!" Dylan berteriak kegirangan ketika melihat ibunya bangun. Dylan berjingkrak-jingkrak, mengepalkan tangannya dengan senang, "Yey! Mama enggak mati!"
Luna menyentil kening anak itu dengan pelan.
"Siapa yang mati!"
Orang-orang di ranjang sebelah Luna tertawa karena kelucuan Dylan. Kebanyakan dari mereka adalah orang tua yang suka akan anak-anak.
Dokter mengatakan bahwa Luna mengalami cedera kaki, membuat kakinya harus di gips, akan pulih setidaknya selama dua bulan. Luna tercengang, tidak mungkin selama dua bulan dia tidak bekerja!
"Luna!" Mila datang ketika Luna meratap dengan frustasi. Wanita yang baru mengetahui tentang kecelakaan Luna itu langsung datang ke rumah sakit, hatinya khawatir sampai mati.
"Tante!" Dylan yang sedang memakan camilan yang dia dapat dari para orang tua di ruangan rawat itu berlari dengan semangat pada Mila.
"Bayi kecilku yang lucu!" Mila menakup pipi tembam Dylan, melihatnya bolak-balik, "Kamu enggak sakit, kan?"
Luna memutar matanya, jelas disini yang sakit itu siapa, hei!
Dylan menggeleng, jemari gemuk kecilnya menunjuk pada Luna.
"Mama yang sakit!"
***
"Gimana hasil pemeriksaannya?" Tanya seorang pria dengan jas lengkap pada Dipo yang baru saja keluar dari ruang pemeriksaan.
"Baik, gak ada masalah sama sekali," Jawab Dipo.
Sahabat Dipo itu adalah Xavier, orang yang sudah 3 tahun bersahabat dengan Dipo. Keduanya berjalan beriringan, melewati sebuah taman sebelum gerbang rumah sakit.
Dipo menghentikan langkahnya, begitu juga dengan Xavier. Kedua pria dewasa itu mengobrol sebentar ketika tatapan mata Xavier tiba-tiba jatuh pada satu sosok kecil dan gemuk di taman.
"Eh, Dip!" Xavier menepuk pundak Dipo, "Eh, liat, deh, anak gendut itu."
Dipo juga melihatnya, seorang anak kecil yang sedang bermain dengan sebuah mobil-mobilan di taman. Anak itu memiliki tubuh gemuk dan pipi cabi yang memerah di bawah sinar matahari. Dipo tanpa sadar tersenyum melihatnya.
Xavier merasa aneh ketika dia melihat senyum Dipo. Karena pria itu jarang sekali tersenyum selama Xavier bertaman dengan Dipo. Ketika keduanya memperhatikan si anak kecil, seorang perempuan gemuk tiba-tiba datang dengan kursi roda, tampak mengatakan sesuatu pada anak itu. Dipo menatap Luna yang tiba-tiba datang. Xavier pikir Dipo menatap wanita gemuk di kursi roda karena wanita itu tampak memarahi anak tadi.
"Oh, kayaknya itu ibunya deh."
Seketika pandangan Dipo menjadi kosong. Disana, Luna merasa aneh, seperti ada seseorang yang sedang memperhatikannya. Setelah memarahi Dylan karena keluar dari ruang rawat tanpa izinnya, di menoleh kesamping, tercengang ketika melihat wajah familiar yang sedang menatapnya dengan tatapan dingin.
"Dy-dylan! Ayo ke pergi!" Luna tergagap, dia langsung memalingkan wajahnya, menyuruh Dylan kecil untuk mendorong kursi rodanya.