Dua minggu berlalu sejak Ezra menyampaikan pesan dari Norika. Gyan menepati janjinya—ia tidak menghubungi, tidak mendesak, tidak menunggu di dekat kebun bunga. Ia tetap di Jakarta. Mengisi harinya dengan kerja-kerja kecil yang tertunda, membaca buku yang dulu hanya jadi pajangan, dan sesekali duduk menatap jendela, membayangkan suara tawa bayi yang belum pernah ia peluk sejak ditinggal pergi. Hari itu, sebuah pesan masuk. Dari nomor yang tidak tersimpan di kontak. “Kalau kamu masih ingin bicara, temui aku di bawah pohon angsana dekat jembatan bambu. Sore ini. Sendiri.” Ia tahu betul itu dari siapa. Jantungnya seketika berdegup lebih kencang. *** Gyan tiba di desa saat langit mulai beranjak oranye. Ia memilih berjalan kaki dari tempat penginapan, menyusuri jalan setapak yang masih diin