8. Kegundahan Hati Kaisar

1027 Words
"Terima kasih, Pa, sudah mengantar saya," ucap Alea pada Kresna yang pagi ini mengantarnya pergi bekerja. "Sama-sama, Lea. Kalau Alea butuh bantuan, jangan segan meminta bantuan pada papa." "Iya, Pa. Kalau begitu saya masuk ke dalam dulu. Papa hati-hati di jalan." Kresna mengangguk. Mengulas senyuman menatap pada Alea yang keluar dari dalam mobilnya. Alea sempat melambaikan tangan sebelum Kresna kembali menjalankan mobil meninggalkan pelataran rumah sakit. Alea berjalan hendak memasuki lobi rumah sakit ketika mendengar namanya dipanggil. "Lea!" Kepala Alea menoleh. Seulas senyuman ia berikan pada teman baiknya. "Ratna." Ratna mendekat lalu melingkarkan tangan di lengan Alea. "Siapa yang antar kamu tadi?" Alea terkejut karena Ratna ternyata melihat. "Oh, itu tadi ... namanya Om Kresna." "Kamu sama om-om sekarang? Ck, ditaksir dokter Andika kok malah jalan sama om-om." "Lambemu kuwi, Rat! Kok pikir aku simpanan om-om?" Ratna tergelak. "Ya kali kalau om-om kaya nggak masalah. Daripada hidup kita begini-begini saja." "Bu Bidan sejak kapan jadi pintar begini, hah?" Lagi-lagi tawa Ratna pecah. Keduanya masuk ke dalam lobi. "Terus siapa Om yang antar kamu tadi?" "Nanti lah aku cerita. Sekarang kerja sana!" Alea mendorong sahabatnya menjauh karena pekerjaan mereka memang berbeda. Jika Alea sebagai perawat, sementara Ratna adalah seorang bidan. "Baiklah. Aku tunggu ceritanya. Makan siang jangan kabur kamu." "Iya ... iya." "Bye, Lea." Keduanya saling melambaikan tangan lalu berpisah di ujung koridor. ••• Pajero hitam itu berhenti tepat di depan sebuah rumah minimalis yang pagarnya terbuka sebagian. Sosok Kaisar keluar dari dalamnya dengan setelan kerja yang tampak rapi dan sedap dipandang mata. Kedatangan pria itu menarik perhatian tiga orang ibu-ibu yang sedang mengerubungi tukang sayur yang mangkal tak jauh dari sana. "Jeng Sri, itu calon mantunya datang," celetuk dari salah satu ibu berdaster hitam. Wanita yang bernama Sri Widarti menolehkan kepala. Senyuman mengembang di bibirnya. "Eh, iya. Mau jemput Dias." "Dih, beruntung sekali Jeng Sri ini. Punya calon mantu tampan dan kelihatan kaya." "Alhamdulillah, Bu. Mohon doanya agar hubungan Dias dan Kaisar lancar sampai mereka bisa menikah nantinya." "Lagian kenapa nggak buruan nikah saja Jeng. Kan mereka sudah sama-sama dewasa?" tanya ibu satunya lagi yang berjilbab merah muda. Sri Widarti mengulas senyuman acapkali ada yang bertanya demikian. "Sebenarnya saya sih inginnya mereka segera menikah agar menghindari fitnah. Tapi entahlah, Dias nya saja yang katanya belum siap dan masih ingin bekerja. Mau bantu biaya sekolah adiknya dulu. Saya sebagai orang tuanya ya manut saja dengan keputusan mereka. Tidak bisa memaksakan kehendak juga." "Iya loh Jeng. Sayang sekali kan kalau sampai calon suami potensial seperti itu sampai lepas nantinya." "Sstt, Bu Sofi ini ngomong apa. Kita doakan saja agar mereka segera menikah bukan malah berdoa yang enggak-enggak." "Ya namanya lelaki kalau tidak segera diberikan kepastian hubungan bisa saja kan pindah ke lain hati." Sri Widarti sebenarnya sedikit terganggu dengan ucapan tetangganya itu tapi beliau tak ingin terpengaruh dan malah menjawab, "Yang namanya jodoh kita nggak akan tau, Bu. Ya sudah kalau begitu saya tinggal dulu. Nggak enak ada tamu." Wanita lima puluh lima tahun tersebut meninggalkan lapak tukang sayur untuk kembali ke rumahnya. Menyapa Kaisar yang berdiri di depan pintu. "Loh, Kai masuk saja. Kenapa hanya berdiri di sini?" "Pagi, Bu. Dias-nya ada kan?" Kaisar dengan takzim menyalami ibunda kekasihnya. "Dias di dalam. Ayo masuk." "Biar saya tunggu di sini saja, Bu. Lagian sudah cukup siang takutnya nanti keburu telat." "Oalah, begitu. Ya sudah Ibu panggil Dias-nya dulu kalau begitu." Kaisar menganggukkan kepalanya. Duduk di kursi teras dan acapkali ada tetangga Dias yang lewat dan menyapa, pria itu hanya tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Tak sampai lima menit saat Dias keluar sudah siap dengan seragam kerjanya. "Loh, Kai kenapa nggak masuk aja sih!" "Nggak papa. Kamu sudah siap?" "Sudah. Kamu sih datang nggak bilang-bilang tadi." "Sengaja buat jadi kejutan ke kamu." Dias tersenyum. Perlakuan Kaisar padanya sedikit menghibur Dias akan kecurigaannya pada perubahan sikap Kaisar beberapa hari ini yang lebih banyak diam dan seolah kurang perhatian. "Mau berangkat sekarang?" Dias bertanya. Kaisar mengangguk. "Pamit dulu sama ibu." ••• Selama dalam perjalanan, ada beberapa kali Kaisar menoleh atau sekedar melirik Dias yang duduk di sebelahnya. Semua itu Kaisar lakukan karena ingin memastikan bahwa perasaan cinta yang dimiliki pada Dias masihlah sama. Mengenyahkan pikiran yang mulai terganggu akan ucapan Kaivan. 'Tidak. Aku tidak mungkin jatuh hati pada Alea. Hanya Dias wanita yang aku cinta.' Hati Kaisar sungguh berisik hingga kegundahan hatinya tersadarkan sebab panggilan dari Dias. "Kai! Kaisar!" Suara Dias sedikit meninggi barulah Kaisar memusatkan perhatian pada wanitanya. "Ya, ada apa?" Dias hanya geleng-geleng kepala menatap penuh selidik pada kekasihnya. "Harusnya aku yang bertanya. Ada apa denganmu?" "Memang aku kenapa?" "Sejak tadi kamu lirik-lirik aku. Terus diam seperti sedang memikirkan sesuatu?" Kaisar diam sejenak. Memutar otak untuk menjawab. Dias tak tau apa-apa seputar Alea. Wanita yang telah berani mengusik ketenangan hidupnya. Pria itu tersenyum. Sebelah tangan yang bebas dari kemudi meraih tangan Dias yang ada di pangkuan wanita itu, lalu ia genggam membawanya untuk dapat ia kecup sekali penuh sayang. "Nggak papa. Aku hanya sedang merindukan kamu saja," jawab Kaisar merayu, berharap sang pacar tak lagi bertanya yang macam-macam. Namun, dasarnya Dias yang sudah mulai curiga ada yang tidak beres pada diri Kausar. Semenjak kedatangan pria itu malam-malam sekitar satu minggu yang lalu, Dias sudah mulai menaruh curiga jika telah terjadi sesuatu pada Kaisar yang belum diceritakan padanya. Dias menarik tangannya. "Bukankah tiap hari kita ketemu? Apa iya masih juga rindu. Jangan berlebihan Kai." "Loh, memangnya kenapa? Nggak boleh rindu sama pacar sendirian, hem?" "Ya boleh saja, Kai. Hanya saja aku merasa ada sesuatu yang berbeda padamu akhir-akhir ini." "Berbeda apanya?" "Kamu sering diam dan melamun. Seperti sedang punya banyak pikiran. Kai, kita ini sudah lama bersama jadi aku tau jika ada sesuatu yang tidak beres terjadi padamu. Kamu bisa cerita ke aku. " Kaisar tersenyum. Tidak mungkin sekali jika dia bercerita pada Dias tentang pernikahannya dengan Alea yang menjadi beban pikirannya akhir-akhir ini. Untuk saat ini Kaisar belum ada nyali untuk mengakui jujur pada Dias. Selain tidak ingin membuat Dias kecewa dan marah padanya, Kaisar juga tidak ingin kehilangan Dias hanya karena Alea. "Kamu tenang saja, sayang. Aku baik-baik saja. Mungkin lagi kepikiran sama kerjaan aja. Jangan khawatir. Okay!" ucap Kaisar sembari mengusap kepala Dias penuh sayang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD