Keindahan rupa dan kemewahan harta yang dianugerahkan pada beberapa orang di dunia ini membuat Venus yakin bahwa keberuntungan itu ada.
Ia salah satunya.
Venus memang tidak dilahirkan dari keluarga kaya, Ayahnya hanya seorang karyawan pemadam kebakaran dan ibunya seorang wanita rumahan biasa. Soal wajah, Venus merasa dirinya tidak terlalu cantik, bahkan cenderung biasa saja. Tapi saat Regan datang di kehidupannya, Venus merasa seperti segala keberuntungan ada padanya. Regan baik, Regan tampan dan Regan kaya. Tiga lah yang diperlukan oleh seorang lelaki untuk memikat hati wanita.
Tidak dipungkiri Venus salah satunya.
Awalnya Venus percaya orang sesempurna Regan hanya bisa dikagumi dan dipandangi dari jauh, bukan orang yang harus didekati dan dimiliki. Tapi, pada saat itu Regan berhasil meyakinkannya bahwa ia adalah sosok lelaki yang pantas untuk Venus miliki.
Sejak awal Venus mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak terjebak dalam pesona Regan. Pesona yang begitu memukau mata dan hati, hingga akhirnya Venus terjatuh dan hancur. Hari itu akan selali dikenangnya untuk waktu yang lama, awal dari semua kesedihan dan penderitaan yang akan dibawanya seumur hidup.
Jika saja Venus bisa memutar waktu, ia akan menghindar dimana Regan datang dan akhirnya menetap di hatinya.
"Mbak Vee," Suara Mega membuyarkan lamunannya, ia menoleh ke arah wanita yang entah sejak kapan sudah berdiri tak jauh dari tempatnya berada.
"Mbak Vee sakit?" Selidik Mega.
"Nggak. Kenapa?"
"Wajah Mbak Vee kelihatan pucat. Mau dibikinin minum?"
Venus merogoh kaca kecil dari kantong blazer yang dikenakannya dan menatap pantulan dirinya dari depan kaca kecil sebesar telapak tangan itu.
Benar saja, wajahnya begitu pucat.
"Tadi sempat sakit perut, tapi sekarang udah nggak." Akibat makanan pedas semalam, Venus mengalami sakit perut.
"Aku bawa ini, coba dicek lagi. Siapa tahu masih ada yang kurang." Mega memberikan ipad miliknya pada Venus, dimana terdapat sketsa desain interior untuk rumah milik Regan. Indah dan elegan, dua kata yang mampu mendeskripsikan desain hasil buatan Mega.
"Bagus, aku suka." Venus menganggukan kepalanya.
"Nanti kamu tinggal kirim ke Pak Regan langsung." Venus mengembalikan ipad pada Mega.
"Sudah, tapi katanya kalau Mbak Vee setuju dia juga setuju."
"Aku setuju." Untuk mempersingkat waktu dan tenaga, Venus langsung mengiyakan. Lagipula kenapa haru meminta persetujuan darinya, bukankah rumah itu akan ditinggali Regan dan Fanya?
Ya ampun, rasanya masih sesak setiap kali teringat momen itu, dimana Regan mengatakannya dengan lantang bahwa ia mencintai Fanya. Hanya Fanya seorang.
"Vee, bagaimana dengan proyek pembangunan rumah Pak Regan? Berjalan baik?" Tanya Fadli. Sesekali Venus menoleh ke arah ruang kerja Regan yang letaknya bersebelahan dengan ruang kerja Fadli.
"Baik. Mungkin." Venus mengangkat bahunya acuh, lantas ia memberikan ipad miliknya pada Fadli.
"Itu untuk proyek taman hiburan," Ucapnya.
Proyek utama yang seharusnya menjadi target utama Fadli dan Venus untuk segera menyelesaikannya. Tapi sayangnya, semua itu terkendala akibat Bos maha besar memintanya membuat desain rumah impian untuk tempat tinggalnya kelak.
"Saya dan Mega sudah menyelesaikan bagian desain dan beberapa investor setuju. Tinggal Pak Fadli dan Pak Regan yang belum menyetujuinya."
Fadli nampak serius menatap layar ipad dengan sesekali menggeser ke sembarang arah.
"Saya setuju, tinggal menunggu persetujuan Pak Regan. Kamu bisa menunjukan hasilnya pada beliau."
Lagi-lagi Venus harus bertemu lelaki itu. Bahkan tadi pun nyaris kembali bertengkar.
"Bapak bisa diskusi terlebih dulu bersama Pak Regan. Ipadnya bisa Pak Fadli pakai dulu," Jujur saja Venus enggan sering-sering bertemu Rega. Kalau bisa tidak perlu lagi berinteraksi dengannya.
"Kamu kenapa? Kelihatannya nggak suka sama Pak Regan?" Selidik Fadli. "Nggak biasanya loh kamu kayak gini." Lanjutnya.
"Nggak kok, biasa aja. Cuman akhir-akhir ini saya merasa kurang sehat."
Kurang sehat hatinya, maksud Venus.
"Dan mungkin, ini proyek terakhir yang bisa saya kerjakan bersama tim Pak Fadli."
"Loh, kamu mau kemana?"
"Mungkin saya akan pindah ke luar kota, ikut salah satu saudara yang sedang merintis usaha desain interior dan eksterior juga."
"Loh, saya baru tau kamu punya saudara merintis usaha seperti ini." Fadli terlihat begitu terkejut.
"Kenapa mendadak, Vee?"
"Nggak mendadak, cuman baru bilang aja." Balas Venus sambil tersenyum. Padahal ia tidak memiliki saudara lain, selain Selvi lagipula wanita itu tidak memiliki usaha yang disebutkannya tadi. Venus hanya beralasan saja, agar ia bisa keluar tanpa harus menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya.
Regan akhirnya tahu rencana pengunduran diri Venus atau lebih tepatnya rencana yang baru dikatakan pada Fadli seorang. Tapi lelaki itu sudah menceritakannya pada Regan.
Regan mendapat informasi tersebut secara tidak sengaja, saat Fadli menunjukan desain taman hiburan. Terlihat jelas kekhawatiran Fadli karena ia akan kehilangan salah satu karyawan terbaiknya.
"Venus salah satu karyawan terbaik di kantor kami. Dia cukup kompeten dan bisa diandalkan dalam satu tahun terakhir." Fadli menghela lemah, seolah menahan sesal karena akan kehilangan salah satu ujung tombak perusahaannya.
"Dia selalu bersemangat setiap kali mendapat proyek baru, tapi akhir-akhir ini dia justru terlihat tidak bersemangat."
Regan adalah penyebab Venus kehilangan semangat.
"Mungkin bisa dibicarakan lagi, supaya dia tidak pergi." Regan menutup ipad di tangannya dan kembali menyerahkannya pada Fadli.
"Kami belum membicarakannya secara serius. Tapi saya sangat berharap dia bisa tetap bertahan."
Fadli menghela lemah. "Tapi Pak Regan tidak perlu khawatir, Venus akan menyelesaikan pekerjaannya sebelum resign, termasuk taman hiburan dan rumah Pak Regan."
Regan tidak mengkhawatirkan bagaimana kelanjutan rumahnya atau taman hiburan yang sedang dalam proses pengerjaan, dia tidak peduli soal itu. Tidak untuk saat ini, karena kedatangan Regan bukan untuk itu, tapi untuk hal lain yang menyangkut masalah pribadinya. Masalah yang belum terselesaikan meski sudah mendapat persetujuan dari hakim dan mereka resmi bercerai.
"Venus bukan tipe orang tidak bertanggung jawab. Saya pastikan itu."
Lagi-lagi Regan hanya bisa menghela lemah. "Baiklah."
Mengumpulkan puing-puing hati yang sudah terlanjur pecah dan hancur tidaklah mudah. Berbagai cara dilakukan agar hati itu kembali utuh dan bisa berbentuk lagi nyatanya tidak semudah yang diucapkan. Venus hafal betul bagaimana perasaan itu, bahkan sampai detik ini pun ia belum bisa memastikan apakah hatinya sudah kembali berbentuk atau tidak. Tapi perasaan takut dan tidak nyaman itu kembali hadir, setelah sekian lama Regan muncul kembali di hidupnya.
"Setelah sekian lama akhirnya kamu datang lagi, ada apa?" Senyum ramah nan hangat yang selalu menghiasi wajah Dokter Rima. Dokter yang berperan penting dalam pengobatan Venus. Pengobatan secara mental tentu saja.
"Iya, aku sibuk akhir-akhir ini." Balas Venus.
Ia tidak berbohong, kenyataannya memang seperti itu. Ia disibukkan dengan berbagai pekerjaan yang membuat Venus kesulitan membagi waktu. Tapi hal itu juga yang pada akhirnya membuat Venus bisa melupakan trauma yang dialaminya secara bertahap, yaitu kesibukan.
Tapi sesibuk apapun dirinya saat ini, ia tetap merasa khawatir dan cemas yang kembali mengganggunya. Ia butuh Dokter Rima untuk menenangkannya kembali.