Momen yang sudah lama dinantikan oleh Regan, saat ia kembali ke Jakarta setelah dua tiga tahun kepergiannya ke Belanda. Bukan pergi, tapi melarikan diri. Anggap saja Regan pengecut, karena memang seperti itu kenyataannya. Pagi ini Regan datang lebih awal dari biasanya, tepat pukul enam pagi ia sampai di kantor Pak Fadli, kantor kedua yang kini berada di bawah kepemilikannya. Regan tau sejak beberapa hari lalu kehadirannya tidak disambut bahagia oleh seseorang, tidak seperti karyawan lainnya yang langsung menyambut hangat keberadaannya, dia justru berbeda.
Tatapan tajam penuh kebencian terlihat jelas di wajah Venus. Sesuatu yang sangat wajar terjadi mengingat ia adalah orang yang begitu menyakitinya. Meskipun Venus tidak menganggap sebagai pertemuan menyenangkan, tapi jantung Regan justru memompa lebih cepat.
Bertahun-tahun waktu yang terlewati nyatanya tidak merubah apapun. Kebencian dan kerinduan itu tetap ada.
"Pak Regan kenapa datang pagi sekali?" Tanya Fadli yang juga berusaha datang lebih awal dari biasanya, bahkan lelaki itu terlihat kelelahan mungkin habis berlari.
"Saya hanya ingin memastikan sesuatu saja." Balasnya tenang. Lain halnya dengan Fadli yang terlihat begitu serius.
"Apa?" Fadli penasaran.
"Hanya hal kecil,"
Memang hanya masalah sepele, hanya karena Venus tidak membalas pesannya sejak kemarin. Tapi hal kecil itu sangat mengganggunya semalaman, apa lagi setelah salah satu petugas proyek mengatakan Venus tidak enak badan dan pulang lebih awal.
"Oh, begitu. Mungkin nanti bisa kita bicarakan lagi. Saya mau sarapan dulu," Fadli belum sempat menikmati sarapan atau hanya sekedar minum air putih, sebab setelah bangun tidur dan mandi, ia langsung menuju kantor dengan sesegera mungkin.
"Silahkan," Regan mempersilahkan Fadli pergi sarapan.
Sejujurnya ia pun belum sarapan dan perutnya mulai berbunyi, tapi Regan harus memastikan sesuatu terlebih dulu. Hatinya belum tenang.
"Pak Regan?" Mega datang dan menatap aneh ke arahnya. Tidak hanya Mega, tapi juga karyawan lainnya yang berpapasan dengannya menatapnya dengan tatapan aneh seperti Mega.
"Kamu sudah sarapan? Kalau belum sekalian beli, saya belum sarapan."
"Bilang aja nyuruh beli." Sindir Mega.
"Tapi kebetulan saya juga belum sarapan. Dapat sarapan gratis ya, lumayan."
Regan mengeluarkan uang dari dalam kantong jas yang dikenakannya. "Beli saja apa yang kamu mau, aku mau kopi hitam dan roti isi saja."
"Oke." Balas Mega.
"Tunggu!" Regan menahan Mega hingga langkahnya terhenti.
"Kenapa?"
"Venus biasanya sarapan apa?"
"Mbak Vee biasanya sarapan di cafe depan sana. Tapi dia suka kopi."
"Belikan sekalian."
"Oke!"
Regan tahu secangkir kopi tidak akan membuat hati Venus luluh dengan mudah. Kesalahan yang dilakukannya dengan sengaja tidak akan mudah menghapus jejak kehancuran yang terjadi di masa lalu. Luka itu akan tetap ada, membekas di hati Venus.
Regan tidak pernah menduga kehancuran yang dilakukannya akan sedemikian buruk. Hingga membuatnya kehilangan Venus dan juga kepercayaannya, Regan tidak pernah lagi memiliki kesempatan untuk meminta maaf atau memperbaiki apa yang telah dirusaknya.
Kesempatan itu datang setelah tiga tahun berlalu, memang tidak mudah, tapi Regan akan berusaha untuk memperbaikinya.
Mega akhirnya datang bersama seseorang yang sejak tadi ditunggunya. Jangan tanya bagaimana ekspresi Venus saat ini. Tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, menatap tajam dan penuh kebencian. Tidak ada lagi tatapan lembut nan menenangkan seperti dulu. Regan menghela lega setelah melihat Venus dalam kondisi baik-baik saja, setidaknya dari penampilan wanita itu tidak terlihat sakit.
"Terima kasih untuk kopinya, Pak Regan." Ucap Mega.
"Iya." Jawabnya. Tapi Regan tidak melihat lawan bicaranya, melainkan Venus yang langsung melengos menuju ke meja kerjanya. Apa yang diharapkan Regan, sebuah kalimat terima kasih dan senyum manis seperti yang dilakukan Mega?
Rasanya terlalu berlebihan.
Venus tidak menyiramnya dengan kopi panas saja merupakan sudah lebih dari syukur.
Regan segera menuju ruang kerjanya yang kini berada di sebelah ruang kerja Fadli. Untuk saat ini Regan belum memiliki ruangan khusus sebab ia tidak akan menetap di kantor ini. Regan masih memiliki kantor utama yang juga membutuhkan kehadirannya.
Tapi Regan memilih berada di kantor cabang karena ingin memastikan sesuatu dan membiarkan Venus memahami pertemuan mereka kali ini.
"Tolong panggilkan Venus." Ucap Regan pada Fadli.
"Baik."
Setiap kali menunggu Venus datang atau menunggu momen saat mereka bertemu, Regan dilanda rasa gelisah. Seharusnya ia sudah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan buruk yang akan diterimanya. Regan harus siap dengan segala sumpah serapah dan cacian Venus untuknya. Tapi hal tersebut justru tidak terjadi dan semakin membuat Regan gelisah karena Venus tidak menunjukan reaksi apapun.
"Selamat pagi, Pak. Ada perlu apa?" Ucapnya dengan nada yang sangat formal. Regan tidak suka mendengarnya. Saat ia sudah terbiasa dengan suara merdu penuh kasih sayang yang selalu didengarnya setiap hari, kini berganti menjadi suara formal nan singkat.
"Saya ingin memastikan proyek desain rumah,"
"Oh itu, saya sudah mengerjakannya. Sketsa kasarnya sudah ada di Mega dan dia akan menyelesaikan bagian akhirnya." Jawabnya cepat, seolah tidak ingin berlama-lama bicara.
"Bukan begitu. Saya ingin merubahnya secara total."
Kening Venus mengerutm biasanya dia akan langsung melontarkan penolakan, tapi kali ini Venus justru lebih memilih mendengarkan.
"Kamu boleh mengerjakan proyek rumah itu sesuai keinginan kamu saja." Kemarin mereka sudah berdebat, bahkan sejak pertemuan pertama pun sudah berdebat, kali ini Regan tidak ingin di setiap pertemuan yang terjadi diantara mereka dihiasi dengan perdebatan.
"Saya percayakan semuanya pada kamu, atau kamu bisa ajak Mega untuk mengerjakannya."
Venus masih diam, Tapi Regan memperhatikannya dengan sesekali menoleh ke arahnya.
"Kamu dan Mega boleh desain sesuai keinginan kalian."
Venus yang awalnya tidak ingin menanggapi akhirnya menoleh.
Berhasil!
Regan berhasil menarik perhatian Venus, setelah beberapa saat lalu ia hanya diam dan mengiyakan apapun yang diucapkan Regan.
"Saya dan Mega hanya perantara, atau lebih tepatnya membantu Pak Regan membuat rumah impian. Saya nggak mungkin melakukan sesuai keinginan saya, aneh aja kalau rumah orang lain tapi desain suka-suka saya."
Jelas Venus.
"Kalian buat desainnya, nanti saya hanya perlu meninjau mana yang cocok dengan saya dan mana yang tidak."
Venus hanya menghela lemah. "Baik."
"Kamu pasti tau bagaimana selera saya, Vee."
Seketika Venus langsung menatap sengit ke arah Regan. Apakah dirinya begitu mengenal sosok Regan?
Tentu tidak.
"Saya nggak tahu selera Bapak."
Balas Venus. Ia masih bisa menahan desakan panas dalam hatinya yang tiba-tiba saja muncul kembali.
"Kita pernah hidup bersama, meski hanya sebentar. Tapi kamu tahu betul apa yang aku mau."
Venus hanya mendengus pelan.
"Saya justru nggak tau apa-apa tentang Pak Regan." Venus menekan nama Regan seolah menegaskan obrolan kali ini hanya tentang pekerjaan, bukan tentang masa lalu yang ingin kembali di ungkit.
"Buktinya Pak Regan berhasil menipu saya. Artinya saya nggak mengenal baik Pak Regan."
"Vee, aku minta maaf." Lirih Regan.
"Kalau sudah tidak ada yang ingin disampaikan, saya pamit keluar. Permisi, Pak."