7. Rencana Resign

1206 Words
Rasa pedas dari bakso depan gang yang dibelinya bersama Selvi terasa seperti membakar bibir Venis. Bahkan keringat mulai membasahi wajahnya. "Nggak kira-kira sih, makan sambelnya." Tegur Selvi, sambil membawakan air minum hangat untuk Venus. "Air hangat bisa membuat rasa terbakar di mulut kamu cepat hilang." Lanjutnya. "Aduh, bukannya cepet hilang tapi rasanya makin kebakar mulutku." Keluhnya saat menyeruput air hangat pemberian Selvi, tapi tidak lama setelah itu Venus merasakan bibirnya sedikit lebih baik. "Kamu bisa kena diare, Vee. Hati-hati makan sambel, nanti kamu malah sakit." Venus mengusap bibir serta wajahnya dengan menggunakan tisu. "Sengaja, aku memang pengen sakit." "Apa?! Nggak salah denger?" Selvi langsung mendekat dan menggeser posisi duduknya agar bisa melihat ke arah Venus. "Kenapa? Ada masalah di kantor." Selidik Selvi. "Begitulah, namanya juga kerjaan pasti ada aja masalahnya." Venus mengangkat kedua bahunya. "Tapi biasanya kamu nggak seperti ini, selama kamu kerja disana aku lihat baik-baik aja, nggak ada kendala." Venus kembali meminum sisa air di gelas hingga habis. "Kalila sudah tidur?" Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, jujur saja untuk saat ini ia enggan membahas perihal pekerjaannya sebab kekacauan yang terjadi di tempat kerja akibat ulah seseorang yang sangat ingin dihindarinya selama ini. "Sudah, kamu yang menidurkannya tadi sebelum kita beli bakso. Jangan mengalihkan pembicaraan!" Tegas Selvi. Venus hanya meringis pelan, ia pun menoleh ke arah ponselnya yang sejak tadi berbunyi entah karena panggilan masuk atau hanya pesan singkat. Venus hanya melirik sekilas untuk memastikan siapa yang menghubunginya, tapi setelah tau nama lelaki itu muncul di layar ponselnya, ia pun enggan untuk menerima panggilan atau membalas pesannya. "Vee, ada apa? Kamu bisa cerita, siapa tau aku bisa bantu." Mengingat kondisi Venus yang sempat memprihatinkan beberapa tahun lalu, Selvi selalu merasa khawatir setiap kali Venus mengalami masalah. Entah di kehidupan pribadinya ataupun di pekerjaannya. "Aku memang berencana minta bantuan kamu dan Ahnaf," "Apa?" "Carikan aku pekerjaan baru, apa saja atau bagian apa aja yang nggak ada kaitannya dengan keahlianku juga nggak apa-apa." Kening Selvi kian mengerut. "Bukannya kamu sudah merasa nyaman dan cocok di kantor yang sekarang? Bukan hanya gaji, tapi juga lingkungan kerjanya?" Selidik Selvi. "Benar, aku sangat suka bekerja di kantor Pak Fadli. Selain gajinya yang cukup besar, juga karena lingkungan kerjanya nyaman." Venus membenarkan. "Lalu?" Venus menghela lemah. Selvi akan terus menerornya jika ia tidak menceritakannya sekarang. Bahkan kesempatan bantuan yang selalu ditawarkannya selama ini akan sedikit dipersulit, jika Venus tidak mau jujur. "Dia datang kembali." Venus menghela lemah. "Dia siapa?" Selidik Selvi. "Dia, mantan suamiku." Selvi menutup mulut dengan kedua tangannya. Reaksi yang sudah diperkirakan Venus sebelumnya. Terkejut. "Kenapa bisa begitu? Nggak mungkin kan dia beli perusahaan dimana kamu kerja?" Salah satu hal yang menurut Selvi dan Venus rasa tidak mungkin, tapi pada kenyataannya memang seperti itu. "Benat, dia membeli hampir separuh saham perusahaan Pak Fadli dan mengajak kerja sama. Dia kaya, sangat kaya kalau kamu lupa." Venus meringis, begitu juga dengan Selvi. "Tapi, tujuannya apa? Banyak perusahaan besar di Jakarta dan dia bisa membeli yang lain. Tapi kenapa justru perusahaan dimana tempat kamu kerja?" Venus mendengus, "Justru itu juga yang aku pertanyakan selama satu minggu ini. Kenapa harus perusahaan Pak Fadli, tapi seperti yang dilakukannya dulu, dia selalu bersikap sesuka hati tanpa memikirkan bagaimana perasaanku." Selvi menatap Venus dengan tatapan khawatir dan kasihan. "Jadi, rencananya kamu akan berhenti?" "Rencananya begitu, tapi mencari pekerjaan di usiaku saat ini nggak mudah, apalagi aku memiliki riwayat medis yang cukup buruk." Keluh Venus. "Aku akan coba bicara pada Mas Ahnaf, siapa tau di kantornya ada lowongan kerja." "Bagian apa saja, aku mau." Balas Venus. Selvi hanya menganggukan kepalanya, sebagai jawaban. "Aki sudah tidak punya tenaga lagi untuk menghadapinya, aku sudah terlalu lelah." Keluh Venus. Jika selama tiga tahun ini Venus bisa melewatinya tanpa harus melarikan diri, tapi untuk kali ini sulit rasanya berada di sekitar Regan. Apalagi setelah lelaki itu melibatkannya dalam beberapa proyek, salah satunya mendesain rumah pribadi Regan. Bohong kalau Venus tidak merasa keberatan, meski profesinya saat ini sebagai desainer interior, tapi saat klien nya adalah mantan suami rasanya sangat mengganggu. Kenangan pahit itu masih terlukis jelas dalam benak Venus. Saat ia bercerai dan saat tau siapa orang yang menyebabkan kecelakaan yang menewaskan kedua orang tuanya. Semua itu dilakukan oleh orang yang sama, dan satu lagi, Venus harus kehilangan bayinya tepat setelah enam bulan mereka bercerai. Rentetan kejadian itu terjadi dalam kurun waktu satu tahun dan Venus harus berjuang sendirian menghadapi pahitnya kenyataan. Esok paginya, Venus berangkat ke kantor seperti biasa. Harapan sakit perut yang diinginkannya ternyata tidak terjadi. Ia justru merasa sakit di bagian lambung, bukan diare seperti yang diharapkannya. "Vee," Kedatangan Venus di cafe disambut hangat oleh si pemilik cafe, Rei. Ia senang melihat Venus kembali mengunjungi cafenya setelah beberapa hari absen. "Aku mau jus." Ucapnya, setelah menempati salah satu meja di dekat bartender. "Jus?" Rei mengulang pertanyaan Venus. "Iya. Perutku sakit." Keluhnya. "Baiklah. Untuk saat ini jangan minum kopi dulu, kamu bisa menggantinya dengan jus atau air hangat." Venus hanya mengangguk, lantas Rei segera membuatkan jus untuknya. Tidak berselang lama Rei kembali datang membawa satu gelas jus berwarna kuning dan piring kecil berisi roti tawar yang sudah diberi isian selai coklat. "Makanlah, kamu pasti belum sarapan." Venus hanya minum air hangat saja sebelum berangkat ke kantor, jujur saja ia tidak mau merepotkan keluarga Selvi untuk membuatkannya sarapan, meski Tante Eli bersikukuh agar Venus menunggunya selesai membuatkan nasi goreng. Tapi Venus lebih memilih untuk berangkat lebih awal agar bisa sarapan di cafe milik Rei terlebih dulu, tentunya setelah pamit pada Kalila, gadis kecil yang masih tertidur lelap saat ia berangkat. "Habiskan rotinya." Rei duduk di hadapan Venus dan memperhatikan wanita itu dengan seksama. Sesekali Rei tersenyum menatap kecantikan Venus yang sejak dulu dikaguminya. "Sudah selesai, mana billnya?" Tanya Venus setelah ia menghabiskan roti beserta jus buah. "Billnya nanti siang, sekalian kamu makan siang disini." Rei tidak menyebut jumlah yang harus dibayar Venus, ia justru mengambil gelas dan piring kotor lalu membawanya ke bagian belakang. "Rei, aku nggak mau sarapan gratis terus." Keluhnya. "Aku nggak bilang sarapannya gratis, aku cuman bilang billnya nanti siang sekalian makan lagi disini. Chef kami punya menu baru, kamu wajib coba." Rei mengedipkan satu matanya lalu pergi meninggalkan Venus. Akhirnya Venus pun segera menuju kantor dimana jarak antara kantor dan cafe Rei hanya beberapa meter saja. Hanya butuh tiga menit berjalan kaki. "Mbak Vee," Panggil Mega yang sudah berada di depan lift. Wanita itu melambaikan satu tangannya ke arah Venus dengan satu tangan yang lain memegang paper bag. "Mbak Vee, mau kopi?" Mega mengangkat paper bag di tangannya. "Pak Regan yang beli, sekalian untuk Mbak Vee juga." Mega meringis, sentara Venus hanya memggumam pela sbagai jawaban. "Pak Regan udah datang pagi sekali. Mang Usep bilang dia datang jam enam pagi! Gila, rajin banget, ya!" Ucap Mega saat keduanya berada di dalam lift. "Ngapain datang pagi-pagi, udah kayak mau upacara sekolah hari senin aja!" Balas Venus. "Katanya mau ketemu Mbak Vee, dia bilang Mbak Vee sakit. Emang iya?" Selidik Mega sambil memperhatikan Venus dari ujung kaki hingga ujung kepala. "Aku baik-baik aja, Mega. Aku nggak sakit, jangan dengarkan omongan orang nggak waras seperti dia." Akhirnya pintu Lift terbuka, Mega dan Venus segera keluar menuju meja kerja masing-masing. Tapi Venus hanya bisa menghela lemas, saat jarak kurang dari lima meter, ia melihat Regan berdiri menatapnya. Harinya akan semakin buruk saja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD