Bab 2. Menyusun Rencana Untuk Balas Dendam

1634 Words
Aku meremas ujung bajuku dengan erat, mencoba menahan amarah di dalam d**a. Mas Hanz berdiri dan mendekatiku, membuat jantungku berdegup kencang. Dia mengamati aku dari atas ke bawah dengan tatapan yang membuatku nyaris mati berdiri karena takut penyamaranku diketahuinya. "Sayang, kamu ngapain melihat si gendut seperti itu," bentak selingkuhan Mas Hanz dengan ekspresi tidak suka. Wanita hamil itu cemberut dan memalingkan muka dengan kesal. "Jangan bilang kamu mengira dia istri gendut kamu yang jelek itu," tambahnya mengejekku. Aku sungguh bodoh karena terlalu percaya dengan perkataan manis Mas Hanz. Dia selalu bilang, seperti apapun bentuk tubuhku. Aku akan selalu cantik di matanya. Mas Hanz tersenyum dan menggelengkan kepala. "Beb, aku hanya ingin memastikan saja. Tapi, benar juga mana mungkin Alesya si gendut datang ke kantor," jawabnya, membuatku bisa bernapas lega. "Pak Hanz, mana mungkin sepupuku Ibu Alesya. Bukannya Pak Hanz bilang Ibu Alesya sedang sakit parah," ucap Yasmin dengan wajah tenang. Yasmin pintar sekali bersandiwara. Aku janji, setelah mendapatkan kembali seluruh harta keluargaku dari tangan Mas Hanz. Aku akan memberikannya bonus besar. Mas Hanz merangkul mesra selingkuhan, membuat darahku mendidih. Rasanya ingin sekali mencakar dua orang pengkhianat di depanku, tapi aku harus bisa menahan diri karena belum saatnya aku membalas mereka. "Ya sudah, Yasmin kamu sudah boleh pergi. Suruh si gendut bereskan ruangan tempatku istirahat," perintah Mas Hanz. Yasmin mengangguk dan memberi kode dengan mengedipkan mata sebelum pergi. "Baik, Pak. Kak Dewi, aku pergi dulu," ucapnya sambil tersenyum. Yasmin memberi namaku Dewi di depan Mas Hanz. Aku mengangguk mengerti. Setelah Yasmin pergi, selingkuhan Mas Hanz memandangku dengan tatapan sinis. "Cepat bersihkan, ingat jangan sampai ada debu sedikitpun," bentaknya dengan wajah angkuh. "Baik, Bu," jawabku dengan suara yang sudah aku ubah agar Mas Hanz tidak mengenali suaraku. Aku mengambil peralatan pembersih dan mendorongnya ke arah ruangan yang dulu Papa buat, untuk beliau beristirahat sejenak setelah lelah bekerja. Aku membuka pintu ruangan itu, tubuhku gemetar karena marah. Dulu, ruangan ini sangat rapi dan ada beberapa koleksi guci, lukisan mahal milik Papaku. Tapi, sekarang ruangan ini seperti tempat hanya untuk berbuat m***m. Ada pakaian dalam wanita di atas ranjang, sungguh menjijikan. Aku mencengkram alat pembersih dengan sangat kuat, untuk menahan amarah yang semakin membara. Aku harus sabar dan menunggu waktu yang tepat untuk membalas mereka. Aku akan membuat Mas Hanz dan selingkuhannya menyesali perbuatan mereka. Aku mengedarkan pandanganku, tidak ada lagi foto keluargaku yang terpajang di dinding. Tiba-tiba aku mendengar suara pembicaraan Mas Hanz dengan Sarah yang samar-samar terdengar dari luar ruangan. Aku mendekatkan telingaku ke pintu dan membukanya sedikit, supaya aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dengan lebih jelas. "Sayang, kapan kamu menikahiku secara sah?" tanya Sarah dengan suara manja, sambil menyenderkan kepalanya di d**a Mas Hanz. "Aku belum mendapatkan tanda tangan si gendut, kamu harus sabar." Mas Hanz menjawab dengan santai. "Sedikit lagi, aku berhasil membuat Alesya memberikan semua harta keluarganya." "Perutku sudah semakin besar, aku tidak mau anak kita dibilang anak haram," ucap Sarah terlihat kesal. Mas Hanz mencoba menenangkannya, "Kamu tenang saja, hari ini ulang tahun pernikahan kami. Aku akan meminta hadiah pernikahan tanda tangan si gendut sebagai bukti dia mencintaiku." Aku merasa darahku mendidih ketika mendengar obrolan mereka. Seketika, ide muncul di benakku. Aku mengambil ponselku dan mengirim pesan ke seseorang yang bisa membantuku. Aku juga menyuruhnya untuk memasang CCTV di ruangan ini, sebagai bukti perselingkuhan mereka. "Oh, iya. Aku lupa, hari ini aku harus mengajak si gendut merayakan pernikahan kami. Aku harus membuatnya percaya bahwa aku ini suami yang baik, supaya saat aku meminta tanda tangannya, dia tidak bisa menolak." Sarah terlihat kecewa dan keberatan. "Jadi, kamu mau pergi sekarang?" tanyanya sambil cemberut. Mas Hanz merayu Sarah dengan lembut, "Ini demi kita dan anak kita. Kamu tenang saja, aku tidak mencintainya. Hanya kamu di hatiku." Aku merasa jijik melihat adegan selanjutnya mereka saling memanggut bibir dengan panas. Aku tidak bisa menahan lagi air mataku, rasanya begitu sakit. Seberapa pun aku berusaha kuat, tetap saja hati ini terasa rapuh. Aku tidak mau melihat lagi adegan menjijikan mereka, jadi aku menutup pintu ruangan itu dengan perlahan. Setelah itu, aku menghapus air mataku dengan punggung tangan, berusaha menghilangkan rasa sakit di hati. Tidak pantas aku menangisi pria pengkhianat seperti Mas Hanz. Tiba-tiba, suara pintu terbuka membuatku terkejut. Aku berpura-pura sedang membereskan tempat tidur, mencoba menyembunyikan jejak tangisku. Sarah berdiri di pintu dengan senyum sinis di wajahnya. "Hei, gendut. Kami akan pergi, setelah kamu membersihkan semua ini. Cepat kamu keluar, awas kalau sampai ada yang hilang berarti kamu malingnya," ucap Sarah dengan kasar. "Baik, Bu," jawabku tanpa melihat ke arahnya, suaraku datar dan tidak emosional. Aku hanya ingin mereka cepat pergi dan aku bisa menjalankan rencanaku. Setelah menunggu beberapa saat untuk memastikan mereka benar-benar pergi, aku menyuruh orang suruhanku datang ke kantor melalui pintu belakang. Saat aku menunggu, suara notifikasi pesan terdengar dari ponselku. Aku melihat di layar dan melihat pesan dari nomor Mas Hanz. Lalu, aku membuka pesannya. [Istriku sayang, hari ini kamu dandan yang cantik, ya. Aku akan memberikan kejutan ulang tahun pernikahan kita, jam 7 malam aku pulang] Aku membalas pesan Mas Hanz dengan senyum licik di wajahku. [Ok, Mas] Kita lihat apakah kamu bisa mendapatkan tanda tanganku. Dulu, aku memang pernah menjanjikan akan mempercayakan perusahaan dan beberapa aset untuk Mas Hanz karena aku percaya dia pria baik dan kami akan bahagia sampai menua. Tapi, sahabatku selalu mengingatkanku jangan gegabah memberikan semuanya harta keluargaku ke Mas Hanz karena Arina, sahabatku mengatakan ada yang tidak beres dengan sikap Mas Hanz yang terlalu bucin terhadapku. Awalnya, aku marah karena Arina selalu membenci suamiku. Dia juga selalu menjelekkan Mas Hanz, dan pernah melihat suamiku bersama wanita lain. Dan sekarang, semua ucapan Arina benar. Aku merasa bersalah pernah membencinya dan menjauhinya. Aku harus meminta maaf kepadanya. Suara ketukan pintu terdengar, aku segera membuka pintu ruangan Mas Hanz. Arga, orang kepercayaanku, sudah berdiri di depan pintu, dan di belakangnya ada dua orang yang akan memasang CCTV. "Ayo, cepat kalian masuk," kataku dengan nada terburu-buru. Arga memandangku dengan tatapan tidak percaya, dan aku memahami kekagetannya. Sudah tiga tahun kami tidak bertemu, dan dia pasti terkejut dengan perubahan bentuk tubuhku. "Non Alesya, apa yang terjadi dengan Anda?" tanyanya dengan penuh penasaran. "Aku akan menceritakan semuanya nanti, Arga. Sekarang, waktu kita tidak banyak. Aku perlu kamu membantu memasang CCTV di ruangan ini," jawabku singkat. Aku menunjuk ke ruangan istirahat Mas Hanz dan juga ruangan kerjanya. "Pastikan kamu memasangnya di sudut yang strategis, tapi tidak terlihat." Dengan cekatan, mereka memasang CCTV berukuran kecil di sudut-sudut ruangan. Hanya dalam setengah jam, seluruh perangkat pengintai itu sudah terpasang, dan aku bisa melihat rekaman CCTV dari ponselku. "Terima kasih, Arga. Aku minta maaf karena sudah merepotkan kamu," kataku dengan tulus. "Tidak perlu meminta maaf, Non Alesya," jawab Arga dengan ekspresi serius dan tenang. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pak Artha Wijaya sebelum meninggal menyuruhku menjaga Anda, tapi Pak Hanz memecatku dan mengatakan Anda sudah tidak membutuhkanku lagi. Tapi, sekarang aku melihat keadaan Anda seperti tidak baik-baik saja." Aku bisa merasakan kekhawatiran dalam suaranya. "Kita harus keluar dari sini. Kita cari tempat yang aman untuk membicarakan ini," kataku, berusaha untuk tidak menarik perhatian. Kami keluar dari ruangan Mas Hanz satu per satu, berusaha untuk tidak membuat curiga karyawan lain. Yasmin, yang menunggu di luar, mengawasi dengan saksama, mengalihkan perhatian karyawan lainnya agar kami bisa keluar tanpa gangguan. Setelah berhasil keluar dari perusahaan, Arga mengajakku masuk ke dalam mobilnya. Namun, aku merasa kesusahan ketika harus memasukkan tubuhku yang besar ke dalam mobil yang berukuran kecil. Perutku yang buncit membuatku harus berusaha keras untuk masuk ke dalam mobil tanpa terjepit. Aku sampai harus menahan napas agar bisa masuk ke dalam mobil. "Ah, sempit sekali," kataku dengan sedikit kesal, berusaha untuk menyesuaikan posisi tubuhku di dalam mobil. Arga memandangku sambil menahan senyum. "Maaf, Non Alesya. Aku tidak tahu kalau tubuh Non Alesya sudah berubah," katanya dengan hati-hati. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Arga. Aku sudah terbiasa dengan ini." Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk merasa lebih nyaman di dalam mobil yang sempit ini. "Sekarang, mari kita cari tempat yang aman untuk kita bicara," tambahku. Arga menjalankan mobilnya, entah dia akan membawaku kemana. Sampai kami tiba disebuah cafe di tengah pemukiman warga. "Arga, apa tempat ini aman?" tanyaku mengedarkan pandangan ke depan cafe. "Non, ini cafeku. Setelah Pak Hanz memecatku, aku membuka cafe ini," jelasnya. "Wah, kamu keren. Sekarang sudah jadi pemilik cafe," pujiku. "Non Alesya bisa saja, ayo turun," ajaknya. Akupun turun dari dalam mobil dan kembali kesusahan, napasku juga ngos-ngosan karena usaha untuk keluar dari mobil yang sempit. Arga mengajakku masuk ke dalam cafe miliknya yang kecil tapi rapi, dengan beberapa pasangan muda-mudi yang sedang menikmati makanan dan minuman. Arga menyiapkan minuman untukku, lalu kami duduk saling berhadapan. "Coba, Non Alesya ceritakan kenapa sampai seperti ini?" tanya Arga dengan ekspresi serius. Aku akhirnya menceritakan semuanya dari awal sampai sekarang bentuk tubuhku seperti gentong, dan perselingkuhan Mas Hanz tidak ada yang aku tutup-tutupi. Aku yakin Arga bisa dipercaya. "Kurang ajar!" Arga menggebrak meja di depannya, membuatku sedikit terkejut. "Lalu, apa rencana Non?" tanyanya dengan nada yang tegas. "Tentu saja aku akan mengambil semuanya, enak saja dia memakai uangku untuk menyenangkan gundiknya," ujarku dengan emosi yang tidak bisa ditahan lagi. "Non, aku curiga obat yang diberikan Pak Hanz sebenarnya bukan obat program hamil. Tapi, obat gemuk," ucap Arga dengan curiga. Aku terdiam sejenak, apa yang dikatakan Arga masuk akal. Aku harus mencari tahu obat apa yang aku minum setiap hari. Jika benar itu obat gemuk, aku akan membalas dua kali lipat. "Nanti Non Alesya berikan obat itu, biar aku cek. Apakah obat untuk program hamil atau obat gemuk," tambah Arga. "Terima kasih, ya, Arga. Setelah ini aku tidak akan mau minum obat itu lagi. Aku juga tidak mau hamil anak Mas Hanz, jijik," seruku dengan emosi. "Non, harus kembali langsing seperti dulu. Dan, balas mereka yang sudah menyakiti, Non," ucap Arga dengan senyum yang licik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD