Setelah menyusun rencana dengan Arga untuk membalas Mas Hanz, aku pulang karena hari sudah sore. Tidak lupa aku mengganti baju office girl dengan pakaianku sendiri. Arga memesan taksi online untukku pulang, sebenarnya di rumah banyak mobil, tapi aku dilarang membawa mobilku sendiri oleh Mas Hanz. Katanya, dia takut aku kenapa-kenapa di jalan. Dan, bodohnya aku menurut saja perkataannya. Bahkan, salah satu mobil kesayanganku dipakai adik iparku.
Tidak sampai satu jam, aku sudah sampai di depan rumah mewahku. Aku turun dari dalam taksi, langsung disambut Pak Muklis, satpam setia kami sejak papa masih ada.
"Non, nyonya besar sudah pulang. Tadi, marah-marah mencari Non Alesya," ucap Pak Muklis terlihat panik.
"Oh, dia sudah pulang," balasku santai, tidak terlalu peduli dengan kemarahan ibu mertuaku.
"Non, bapak takut Non Alesya kena marah nyonya besar lagi. Bapak tidak tega melihat Non disiksa oleh mereka," ucap Pak Muklis dengan penuh perhatian.
Aku tersenyum tipis ke arah Pak Muklis. "Bapak, jangan takut. Mulai sekarang aku bukan Alesya yang lemah lagi," pungkasku, lalu aku masuk ke dalam rumah dengan santai.
Baru saja aku membuka pintu, ibu mertuaku sudah menunggu di ruang tamu dengan ekspresi galak dan sok berkuasa. Wajahnya yang sudah keriput dan mata yang tajam dulunya membuatku takut, tapi sekarang melihatnya marah ingin rasanya tertawa. Dia itu menumpang tapi seakan pemilik rumah ini.
"Bagus, ya. Ternyata saat anakku pergi bekerja, kamu selalu keluyuran," bentak ibu mertuaku dengan keras, suaranya yang lantang membuat gendang telingaku berdenging.
"Mbak Alesya, percuma kamu keluar tidak akan ada pria yang melirik kamu. Lihat badan kamu saja seperti gentong, mana ada yang mau. Kakakku saja yang bodoh mau menikah sama kamu," sela adik iparku dengan senyum sinis dan nada yang mengejek. Wajahnya yang cantik tapi dipenuhi dengan kebencian membuatku merasa jijik. Aku memandang adik iparku dengan dingin, tidak peduli dengan ejekannya.
Aku melipat kedua tanganku di d**a, menatap ibu mertuaku dan adik iparku dengan tajam. "Kalian saja bisa pergi jalan-jalan memakai uangku, kenapa aku yang punya uang tidak boleh pergi," jawabku dengan tegas.
Ibu mertuaku tersentak melihatku melawannya, wajahnya yang sudah keriput menjadi merah karena marah. "Eh, Alesya, kamu sudah berani melawanku!" bentaknya dengan suara yang keras.
"Bu, aku ini tidak melawan, tapi aku hanya menjawab ucapan kalian," bantahku dengan ekspresi santai, tidak terpengaruh oleh kemarahannya.
"Mbak Alesya, ada apa dengan kamu. Biasanya saat ibu marah, kamu pasti takut?" tanya Anya, adik iparku yang gayanya sok sosialita, terlihat penasaran dengan perubahan sikapku ke mereka. .
Aku tersenyum kecil, menikmati momen ini. "Maksud kamu, saat aku dihina, diejek, ditindas aku harus diam saja. Sedangkan, kalian ini lupa diri kalau kalian ini menumpang di rumahku. Tapi, seakan aku ini pembantu kalian," jawabku ekspresi dingin.
Ibu mertuaku semakin terkejut dan syok, mungkin tidak percaya aku bisa berbicara seperti itu. "Alesya, kamu benar-benar sudah kurang ajar. Awas saja, ibu akan adukan ke Hanz," ancamnya dengan wajah semakin merah.
"Iya, Bu. Adukan saja Mbak Alesya, biar dia dicerai Mas Hanz, udah gendut masih bertingkah," ucap adik iparku dengan nada sinis.
"Oh, silahkan kalian adukan. Aku tidak takut, justru aku berterima kasih dengan kalian, kalau aku dicerai oleh Mas Hanz," jawabku sambil tersenyum lebar, menikmati reaksi mereka.
Kini Anya yang mulutnya melongo melihatku justru menantangnya. "Mbak, kamu tidak takut kehilangan Mas Hanz?" tanyanya masih terlihat tidak percaya.
"Iya, kalau Mas Hanz mau menceraikanku. Aku bisa apa?" balasku dengan wajah yang kubuat semanis mungkin. "Tapi, ingat setelah kami berpisah, kalian angkat kaki dari rumah ini. Dan, kamu Anya, kembalikan semua barang-barangku yang kamu ambil," tambahku dengan tegas.
"Bu, lihat Mbak Alesya sekarang sudah berani melawan kita. Ibu harus memberi pelajaran sama si gendut ini," rengek adik iparku dengan manja, berusaha memancing kemarahan ibu mertuaku.
"Alesya, kamu harus ibu hukum karena sudah melawan kami. Cepat masakkan makan malam buat kami yang enak, kalau kamu melakukannya dengan baik. Ibu tidak akan mengadukan ke Hanz," ucap ibu mertuaku dengan percaya diri.
"Maaf, ya, Bu. Mulai hari ini, ibu dan Anya masak sendiri. Siapa suruh ibu pecat semua pembantu di rumah ini," tolakku dengan tegas, tidak peduli dengan ancamannya.
Ibu dan Anya kembali syok, mungkin masih tidak percaya aku bisa menolak permintaannya. "Alesya, kamu sebenarnya kenapa?" tanya ibu mertuaku, terlihat napasnya naik turun karena menahan emosi.
"Aku tidak apa-apa, Bu. Aku hanya sudah sadar saja. Mulai sekarang aku tidak akan mengerjakan pekerjaan rumah, karena besok aku mulai kembali ke perusahaan," balasku dengan santai, lalu aku melenggang pergi meninggalkan mereka.
Aku bisa mendengar teriakan ibu mertuaku memaki-makiku, tapi aku tidak peduli. Aku tetap masuk ke dalam kamar, aku harus menyiapkan diri dari amukan Mas Hanz. Pasti ibu akan mengadu ke Mas Hanz, dan suamiku akan selalu membela ibunya.
Mulai sekarang aku tidak mau meminum obat yang diberikan Mas Hanz. Aku juga mau diet, supaya bentuk tubuhku kembali langsing seperti dulu. Ya, walau pasti butuh perjuangan yang cukup panjang, aku siap. Aku akan menunjukkan kepada mereka aku tidak bisa diinjak-injak selamanya oleh mereka.
Entah berapa lama aku menghabiskan waktu di kamar mandi, karena aku baru merasakan lagi mandi tanpa tergesa-gesa. Biasanya, aku harus bergegas membersihkan diri karena ibu mertuaku selalu berteriak menyuruh ini itu dari pagi sampai Mas Hanz pulang. Setelah merasa segar, aku keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah. Aku terkejut melihat Mas Hanz sudah duduk di tepi ranjang dengan wajah mengeras, matanya menatapku dengan tajam.
"Alesya, ibu dan Anya bilang kamu ingin kembali ke perusahaan?" tanyanya dengan suara yang membentak, tapi aku bisa melihat ekspresi wajahnya yang menahan emosi, urat lehernya menonjol, dan tangannya menggenggam erat bantal di sampingnya.
Aku berjalan santai ke arah lemari, menghiraukan pertanyaannya. "Kamu itu kenapa marah, Mas? Aku juga mau mengelola perusahaan papaku sendiri, salahnya dimana?" tanyaku balik sambil mengambil pakaianku, aku bisa melihat Mas Hanz di pantulan cermin dia menatapku dengan mata yang berkedip-kedip, seolah dia tak percaya aku bisa menjawabnya dengan santai.
"Kamu... Alesya, aku sudah katakan. Urusan perusahaan biar aku yang pegang, tugas kamu hanya di rumah dan aku ingin kamu cepat hamil," tegasnya, suaranya masih keras.
Aku tersenyum kecil, sambil memakai pakaianku di depannya. "Gimana, aku mau hamil. Apa kamu lupa sudah lama tidak menyentuhku? Setiap hari aku harus minum obat biar bisa hamil, tapi gimana bisa hamil sedangkan kamu saja sibuk terus," balasku dengan santai, aku bisa melihat Hanz menatapku dengan mata yang membara, seolah dia ingin mengatakan sesuatu, tapi dia menahan dirinya.
"Alesya, kamu tahu perusahaan sedang banyak proyek. Aku minta maaf ya, aku janji setelah proyek ini selesai kita bisa banyak waktu bersama. Nanti kita bisa buat Dede bayi," ucap Mas Hanz, suaranya mulai melunak, dan aku melihat ekspresi wajahnya yang mulai santai, tapi masih ada sedikit ketegangan di wajahnya.
"Kamu banyak proyek, biar aku bantu, Mas. Aku juga pemilik perusahaan Artha Wijaya group. Aku berhak ikut mengelola perusahaan," jawabku dengan tegas sambil membalikkan badan menghadap kearahnya, tatapanku tajam menantang.
Tapi, Mas Hanz hanya menatapku dengan wajah yang berubah menjadi gugup, dia seperti mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaanku. "Tapi, kamu sudah janji akan memberikan perusahaan untukku. Nanti, apa kata karyawanku kalau ternyata perusahaan itu ternyata milik istriku," jawabnya, aku bisa melihat ketakutan di matanya.
Aku tersenyum sinis, "Loh, Mas. Semua karyawan itu tahu pemilik perusahaan itu orang tuaku, kamu malu dengan siapa?" tanyaku berpura-pura tidak tahu, kalau dia sudah mengganti semua karyawan lama papa. Wajah Mas Hanz berubah salah tingkah, dia sampai mengusap tekuk lehernya, dan aku hapal kebiasaan itu, dia sedang ketakutan.
"Bukan begitu Alesya, pokoknya kamu tidak boleh bekerja. Aku tidak mengizinkannya, titik!" tegasnya, suaranya meninggi. Aku melihat dia mulai kehilangan kendali.
"Dan, satu lagi kamu tidak boleh membantah ibu. Kamu harus menjadi Alesya penurut lagi," tambahnya dengan tegas.
Aku tertawa sinis, "Jadi, maksud kamu. Aku harus diam saja saat dihina, dan disuruh ibu membereskan rumah yang tidak ada habisnya," balasku tidak terima, suaraku tidak kalah tinggi, aku bisa merasakan amarah yang mulai membara di dalam hatiku.
"Alesya, ini juga demi kebaikan kamu. Ibu itu ingin mengajari kamu menjadi istri yang baik, jangan salah paham sama ibu dan Anya," katanya, dengan nada yang mulai melembut.
Aku tersenyum sinis, "Kamu pikir ibu kamu bisa mengontrol hidupku, sudah cukup selama 3 tahun aku seperti pembantu di rumahku sendiri, Mas. Aku punya uang, tapi aku tidak bisa menggunakannya. Jadi, mulai sekarang. Aku akan memegang kendali perusahaan dan untuk ibu kamu, dia yang memecat pembantu, dia yang harus membereskan rumah," tegasku tidak ada kompromi.
Mas Hanz meremas rambutnya dengan frustasi, dia pasti pusing karena aku sekarang tidak mau menurut perkataannya, sedangkan selingkuhannya ingin cepat diresmikan. Aku ingin lihat apa yang akan kamu lakukan, Mas Hanz.
"Alesya, aku mohon. Jangan mempersulit keadaan, hari ini ulang tahun pernikahan kita. Aku ingin merayakan ulang tahun pernikahan kita, dan aku ingin meminta hadiah pernikahan dari kamu, bukti cinta kamu ke aku. Tapi, sekarang kamu berubah melawanku," katanya, wajahnya dibuat sedih.
"Mas, kamu meminta hadiah pernikahan dariku. Apa tidak salah? Kamu saja tidak pernah memberikan hadiah untukku, dari awal kita menikah. Justru aku yang sering memberikan hadiah mahal untuk kamu," jawabku telak.
Dia mengerjapkan kedua matanya, mungkin dia baru sadar tidak pernah memberikan hadiah untukku. Sedangkan, dengan selingkuhannya dia memberikan barang mahal. Setelah ini, jangan harap uangku mengalir ke kantong selingkuhan Mas Hanz.
"Sayang, aku minta maaf. Aku pikir kamu tidak butuh hadiah, kamu sudah punya segalanya. Tas mahal, perhiasan, baju bermerk," ucapnya beralasan, suaranya mulai melembut.
"Apa kamu lupa, semua tas mahal, perhiasan, baju bermerkku diambil semua oleh Anya. Apa kamu tidak lihat aku memakai baju murah, sedangkan aku memiliki banyak uang," balasku dengan suara keras.
"Tas mahal, perhiasan, dan baju bermerk kamu itu sudah tidak pernah dipakai. Jadi, dari pada tidak dipakai, mending dipakai Anya. Kamu jangan Perhitungan dengan adik ipar sendiri, kamu juga harus sadar bentuk tubuh kamu sudah tidak pantas untuk memakainya," ucap Mas Hanz mengejekku.
Aku tertawa terbahak-bahak, "Aku gendut begini karena demi kamu, Mas. Semenjak rutin meminum obat untuk program hamil, tubuhku gemuk. Tapi, tenang saja aku akan mulai diet lagi. Biar urusan anak aku pasrahkan yang di Atas."
"Tidak, Alesya. Kamu harus tetap minum obat program hamil. Ibu sudah ingin menimang cucu dariku," bentak Mas Hanz.
"Mas, enak sekali hanya aku yang meminum obat untuk hamil. Sedangkan, kamu tidak ada usaha sama sekali. Atau jangan-jangan yang bermasalah itu bukan aku tapi kamu!" tuduhku, sambil menatap remeh kearah Mas Hanz.
Seketika wajah Mas Hanz berubah memerah, "Enak saja aku yang bermasalah, buktinya Sarah bisa hamil," ceplosnya, tanpa sadar dia membongkar rahasia busuknya.