“Ya nggak apa-apa. Memang itu kan yang kumau.” Wahda menggeleng. “Nggak-nggak. Ntar kamu ngilang lagi, nggak mau tanggung jawab lagi pas aku hamil.” Wahda membuka selimut, bergeser hendak pergi. Namun, cekalan Kenrich sudah lebih dulu menghentikan. “Mau ke mana?” “Mandi lalu ke apotek. Beli pil K-B darurat. Ck! Ini tadi kenapa aku nggak nyuruh kamu beli pengaman dulu sih?” Wahda terlihat khawatir, bingung, atau takut. Padahal jika hamil wajar, bukan? Toh ia sudah punya suami. Sisi hati Kenrich tersentil dengan pernyataan istrinya. Seorang istri takut hamil padahal punya suami itu nyata adanya. Istrinya sendiri. “Ken lepas. Ayo mandi, lalu pergi dari sini.” Kenrich duduk, menatap Wahda sendu. “Kamu kenapa nggak mau hamil? Nggak mau punya anak lagi dariku? Atau mungkin kamu ... trau

