Keluarga pak Faris datang ke rumah Keluarga pak Hasan. Sambutan dari keluarga Hasan sangat meriah. Meski sederhana . Makanan pun terhidang dengan sangat berlimpah.
"Assalamualaikum,"salam pak Faris.
"Waalaikumsalam,"jawab pak Hasan."Mari pak, silahkan masuk.
Setelah semua duduk. nampak pandangan Athar tertuju lada seorang gadis berhijab yang wajahnya selalu ada dipikirannya saat masih SMA. Bahkan jantungnya berdegup kencang saat menatap gadis tersebut. "Kenapa, dia yang akan menikah dengan kakakku?"batin Athar.
"Begini pak Hasan, sebelumnya saya mohon maaf, putra saya tidak bisa menikahi Zaozah putri pak Hasan,"ucap pelan pak Faris.
"Apa?"semua yang ada di ruang keluarga pak Hasan terkejut.
"Tapi ...semua sudah siap pak, dan undangan sudah disebar."pak Hasan dengan suara bergetar.Zaozah merasa turut terkejut meski separuh hatinya merasa lega, karena tidak jadi menikah.
"Biar saya saja yang mengganti Kak Ardi ayah."
Ruangan itu mendadak sunyi setelah pernyataan Athar yang tiba-tiba. Semua orang tercengang, bahkan Pak Faris sendiri menatap putranya dengan ekspresi tak percaya.
"Athar… kamu serius?" suara Pak Faris terdengar ragu.
Athar mengangguk mantap. "Ya, Ayah. Jika Kak Ardi tidak bisa menikahi Zaozah, biar aku yang menikahinya."
Zaozah membeku di tempatnya. Dadanya naik turun dengan napas yang tak beraturan. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Sejak tadi ia hanya berusaha menerima kenyataan bahwa pernikahannya dengan Ardi batal, tapi kini, tiba-tiba Athar menawarkan dirinya untuk menggantikan Ardi?
"Athar, kau tahu apa yang kau katakan?" Pak Hasan akhirnya buka suara, masih dengan nada terkejut.
Athar menatap Pak Hasan dengan penuh keyakinan. "Saya tahu, Om. Saya tidak ingin pernikahan ini batal dan mempermalukan keluarga Om Hasan dan Zaozah. Undangan sudah disebar, persiapan sudah hampir selesai. Jika Kak Ardi mundur, saya bersedia menggantikannya."
Bu Aina masih tampak terkejut, sementara Bu Rina memandang putranya dengan mata berkaca-kaca.
"Tapi Athar… pernikahan bukan keputusan yang bisa diambil secara tiba-tiba," ujar Bu Rina hati-hati.
Athar menghela napas pelan, lalu menatap Zaozah yang sejak tadi hanya diam. Ada perasaan yang sulit ia jelaskan saat melihat gadis itu. Mereka pernah dekat di masa lalu, sebelum akhirnya hubungan mereka merenggang karena suatu kesalahpahaman.
Mungkin ia masih menyimpan sedikit luka dari masa lalu itu, tapi jauh di dalam hatinya, ia tidak tega melihat Zaozah dipermalukan seperti ini.
Pak Faris mengusap wajahnya dengan tangan, masih bingung dengan keputusan putranya. "Athar… apa kamu yakin? Ini pernikahan, bukan sekadar menyelamatkan keadaan."
Athar menatap ayahnya dengan mantap. "Aku yakin, Ayah. Dan aku siap bertanggung jawab."
Semua kembali terdiam. Pak Hasan menatap putrinya, seolah meminta pendapat. "Zaozah… bagaimana menurutmu, Nak?"
Zaozah menggigit bibirnya. Hatinya masih campur aduk. Ia tidak pernah menyangka bahwa calon suaminya akan berubah dalam hitungan detik. Apalagi… Athar adalah seseorang dari masa lalunya.
"Aku... bersedia ayah,"jawab pelan Zaozah sambil meremas gamisnya.
Tapi di tengah kebingungannya, ia sadar bahwa memilih mundur sama saja dengan mempermalukan keluarganya.
Dengan suara pelan namun cukup jelas, ia akhirnya menjawab, "Jika itu memang yang terbaik… aku terima."
"Alhamdulillah, nak terimakasih kamu mau menerima permintaan maaf kami, dan mau menikah dengan adik Ardi."Pak Faris dengan lembut .
Zaozah hanya mengangguk pelan sambil menunduk. Keputusan telah dibuat. Dan malam itu, semuanya berubah.
"Zaozah, sebentar lagi kau milik aku, dan kamu akan tahu, apa itu penderitaan, seperti yang aku alami saat kamu menolakku,"ucap Athar dalam batinnya.
Athar dan Zaozah duduk berseberangan, namun keduanya tak saling bicara. Diam yang menggantung di antara mereka terasa begitu berat, seolah ada ribuan kata yang ingin diucapkan, tetapi tertahan di ujung lidah.
Tatapan mereka bertemu, sekejap, lalu menghindar. Zaozah menunduk, meremas ujung bajunya, sementara Athar tetap memandangnya dalam diam. Ada sesuatu di mata Athar, sesuatu yang sulit dijelaskan. Campuran antara kebingungan, kemarahan, dan… perasaan yang entah apa namanya.
Bagi Athar, ini seperti mimpi aneh yang tak pernah ia bayangkan. Gadis yang dulu begitu dekat dengannya, yang dulu membuatnya tersenyum dan kecewa dalam waktu bersamaan, kini akan menjadi istrinya.
Sementara bagi Zaozah, perasaan takut dan canggung semakin membebani dadanya. Ia tahu, Athar pasti masih menyimpan rasa kecewa terhadapnya. Dan sekarang, tanpa mereka sempat menyelesaikan masa lalu, mereka justru dipersatukan dalam ikatan yang jauh lebih dalam.
Namun, dalam keheningan itu, meski tak ada satu pun kata yang terucap, ada sesuatu yang tak bisa mereka pungkiri—perasaan lama yang belum sepenuhnya mati.
"Looh, kok kalian diam saja?ini saatnya kalian berdua saling mengenal, sebentar lagi kalian sah sebagai suami istri, he he he,"ujar pak Hasan dia berusaha mencairkan suasana. Pak Hasan ingin hati putrinya tidak terlalu kecewa saat ini.
Athar berdiri di halaman belakang rumah Zaozah yang asri, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Udara sore terasa sejuk, aroma tanah yang lembap bercampur dengan wangi bunga melati yang tumbuh di sudut taman. Di hadapannya, Zaozah duduk di bangku kayu, menundukkan kepala, seolah enggan menatapnya.
Athar menghela napas, mencoba mengendalikan perasaan yang bergejolak dalam dadanya. Ia tidak ingin menunjukkan kebencian, tapi ia juga belum bisa menerima sepenuhnya bahwa gadis ini akan menjadi istrinya.
“Sudah lama ya…” suara Athar terdengar pelan, namun cukup jelas untuk didengar Zaozah.
Zaozah menoleh sedikit, lalu mengangguk tanpa berkata apa-apa.
“Kita pernah sangat dekat dulu,” lanjut Athar, matanya menatap lurus ke depan. "Dan sekarang, tiba-tiba kita akan menikah. Takdir memang aneh, ya?"
Zaozah menggigit bibirnya, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu Athar menyimpan luka, dan ia pun masih mengingat semua yang terjadi di masa lalu mereka.
"Aku nggak pernah menyangka akan bertemu lagi denganmu… dalam keadaan seperti ini," kata Zaozah akhirnya, suaranya terdengar ragu.
Athar menoleh, matanya mengamati wajah gadis itu. Ada perasaan asing yang muncul di hatinya—rindu yang samar, tetapi tertutupi oleh luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.
"Kamu masih seperti dulu," kata Athar tiba-tiba.
Zaozah mengerutkan kening, sedikit bingung. "Maksudnya?"
Athar tersenyum miring, ada sinisme dalam ekspresinya. "Masih diam, masih sulit ditebak. Dan… masih membuatku bingung."
Zaozah menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan. "Aku nggak pernah berniat membuatmu bingung, Athar."
Athar menatapnya dalam-dalam, perasaan di dadanya semakin bercampur aduk. Ada bagian dari dirinya yang ingin mempercayai kata-kata Zaozah, tapi ada pula bagian lain yang masih belum bisa melupakan masa lalu.
“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini,” kata Athar akhirnya. "Tapi kalau kita memang harus menjalani ini… setidaknya kita harus bicara."
Zaozah menunduk, jemarinya saling bertaut. Ia tahu Athar benar. Mereka tidak bisa terus terdiam dalam kebisuan.
“Baiklah…” suara Zaozah pelan. "Kita bicara."
"Hahh, kaku banget,"ucap pelan Athar sambil menggeleng pelan.
Athar menatapnya sekali lagi sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke langit sore yang mulai berubah warna. Mungkin ini awal dari sesuatu yang baru. Atau mungkin… ini kesempatan untuk menyelesaikan sesuatu yang belum usai di antara mereka.
"Dia ... enggak berubah, lebih cantik."puji Athar dalam hati. Pandangannya tertuju pada gelang yang digunakan oleh Zaozah, itu pemberian Athar, sempat membuat jantung Athar berdegup kencang. Semburat senyum terukir di bibir Athar.
"Gelang itu..."
"Oh ini... aku enggak tahu siapa yang memberikannya, waktu sekolah ada di laci mejaku, awalnya tidak aku ambil karena khawatir punya temanku, tapi... tidak ada yang ambil. Ya sudah aku pakai saja,"ucap Zaozah.
"Kalau aku yang memberikan, apa kamu akan memakainya terus?"Athar dengan tatapan memicing.
"Apa maksudmu?jadi...gelang ini ...."Zaozah terbelalak, tak menyangka jika gelang itu diberikan oleh Athar.
"Ya, itu aku yang menaruh di lacimu."Athar sambil mengangkat kedua alisnya."Tidak usah dijawab, aku sudah tahu jawabannya, kamu enggak akan mau pakai kalau kamu tahu itu pemberianku bukan?"
Zaozah tertunduk diam, tidak tahu harus menjawab apa. Jujur Zaozah juga menyukai Athar saat menjadi kakak kelasnya. Namun prinsip Zaozah untuk tidak pacaran, membuat Athar marah, menyangka bahwa Zaozah tidak menyukainya dan menolak cintanya. Hingga waktu berlalu akhirnya mereka dipertemukan oleh takdir.
◇◇◇◇◇◇◇◇◇
Keluarga Faris Wiratama pun akhirnya pamit pulang setelah pertemuan yang penuh kejutan itu. Malam semakin larut saat mobil mewah mereka melaju di jalanan kota, meninggalkan rumah keluarga Zaozah yang masih dipenuhi keheningan setelah kabar pernikahan mendadak itu.
Di dalam mobil, suasana terasa tegang. Pak Faris duduk di kursi depan, sementara Athar dan ibunya, Bu Rina, duduk di belakang. Tak ada yang berbicara selama beberapa menit, hingga akhirnya Pak Faris berdeham.
“Aku masih nggak percaya kamu benar-benar mau menggantikan Ardi, Athar,” katanya sambil tetap fokus mengemudi.
Athar bersandar pada kursi mobil, menatap keluar jendela. “Aku juga nggak percaya, Ayah,” jawabnya datar.
Bu Rina menghela napas pelan, lalu menatap putranya dengan penuh perhatian. “Nak, kalau memang kamu keberatan, kita masih bisa bicara dengan keluarga Zaozah. Ibu nggak mau kamu menjalani pernikahan ini dengan hati yang setengah-setengah.”
Athar menoleh dan menatap ibunya. Dalam hatinya, ia tahu keputusannya tadi bukan karena paksaan, melainkan karena sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang bahkan dirinya sendiri sulit pahami.
“Aku nggak masalah, Bu,” jawabnya akhirnya. “Lagipula, semua sudah terlanjur. Undangan sudah tersebar, persiapan sudah hampir selesai. Kalau aku nggak mengambil keputusan tadi, keluarga kita pasti akan sangat dipermalukan.”
Pak Faris mengangguk pelan, memahami maksud putranya. “Ayah menghargai keputusanmu. Tapi Athar… apakah ini benar-benar cuma soal menjaga nama baik keluarga?”
Athar terdiam sejenak. Tatapan matanya kosong, namun di dalam hatinya, berbagai emosi bergejolak.
“…Aku sendiri nggak tahu, Yah,” jawabnya jujur.
Bu Rina menatap putranya dengan prihatin. Ia tahu ada sesuatu yang Athar sembunyikan, sesuatu yang berhubungan dengan masa lalunya dengan Zaozah.
“Kalau memang kamu masih menyimpan sesuatu dalam hatimu, selesaikanlah, Nak,” ucap Bu Rina lembut. “Pernikahan bukan hanya soal menyatukan dua keluarga, tapi juga menyatukan hati. Kalau masih ada yang mengganjal, bicarakanlah dengan Zaozah sebelum semuanya benar-benar terlambat.”
Athar kembali menatap ke luar jendela, menatap lampu-lampu kota yang berkelap-kelip di kejauhan.
“Selesai atau nggak… aku juga belum tahu, Bu,” gumamnya pelan.
Di dalam hatinya, ada perasaan yang masih menggantung—sebuah perasaan yang berisi kenangan lama, luka yang belum sembuh, dan mungkin… harapan yang tak pernah ia akui.