Sah

1254 Words
Pernikahan Ardi dan Nayla akhirnya dilangsungkan lebih dulu. Acara itu digelar secara sederhana, hanya dihadiri keluarga dekat dan beberapa sahabat. Meskipun tanpa kemewahan, ada satu hal yang mencuri perhatian—mahar yang diberikan Ardi pada Nayla begitu besar, jauh melebihi ekspektasi semua orang. Pak Faris dan Bu Rina hadir dengan wajah tanpa ekspresi. Mereka masih kecewa dengan keputusan Ardi, tapi sebagai orang tua, mereka tetap menghormati pilihan putra sulung mereka. Sementara itu, Athar hanya berdiri di sudut ruangan, menyaksikan prosesi akad dengan tatapan datar. Zaozah tak hadir di acara itu, dan entah mengapa, Athar merasa lega. Mungkin karena ia tak ingin melihat gadis itu menyaksikan bagaimana keluarganya ‘mengalah’ demi Ardi. Setelah akad selesai, Ardi menggenggam tangan Nayla dengan erat, lalu menatapnya dengan penuh keyakinan. Apa pun yang terjadi, ia telah memilih jalannya sendiri. Nayla terlihat begitu cantik dalam balutan gaun putih sederhana yang memperlihatkan aura anggun dan lembutnya. Senyumnya tak pernah lepas sepanjang acara, terutama saat menatap Ardi, suaminya. Tatapan penuh cinta dan kebahagiaan begitu jelas terpancar dari mata Ardi setiap kali melihat Nayla. Meski pernikahan mereka sederhana, kebahagiaan di antara mereka terasa nyata. Ardi tak ragu untuk menggenggam tangan Nayla erat, seolah menegaskan bahwa kini ia adalah miliknya sepenuhnya. Setelah acara selesai, mereka pun pamit kepada keluarga untuk menuju hotel tempat mereka akan menghabiskan malam pertama sebagai suami istri. Nayla tersipu malu ketika Ardi membimbingnya masuk ke dalam mobil. Di sepanjang perjalanan, Ardi tak henti-hentinya mengusap jemari Nayla dengan lembut. “Aku masih nggak percaya kita sudah menikah,” katanya dengan nada lembut, membuat pipi Nayla semakin merona. Nayla tersenyum kecil. “Aku juga. Semua terasa begitu cepat.” Ardi menoleh ke arahnya dan tersenyum. “Tapi aku senang. Aku sudah memilihmu, Nayla. Dan aku akan mencintaimu selamanya.” Malam itu, di kamar hotel yang mewah dan nyaman, mereka memulai kehidupan baru sebagai pasangan suami istri. Bagi Ardi, ini adalah awal dari kisah cinta yang telah lama ia nantikan. Sementara bagi Nayla, ini adalah awal dari kehidupan baru yang penuh kebahagiaan di sisi pria yang sangat mencintainya. Sementara itu, Athar hanya menghela napas panjang. Baginya, pernikahan Ardi bukanlah sesuatu yang bisa dirayakan, melainkan sebuah titik balik yang mengubah segalanya. Termasuk… pernikahannya sendiri yang semakin dekat. Tanpa sadar, jemarinya mengepal di sisi tubuhnya. "Apa yang sebenarnya aku lakukan?" pikirnya dalam hati. Seminggu setelah pernikahan Ardi dan Nayla, tibalah hari yang dinanti-nantikan—akad nikah Athar dan Zaozah. Berbeda dengan pernikahan Ardi yang sederhana, kali ini keluarga Faris Wiratama dan keluarga Zaozah menggelar acara yang megah dan meriah. Gedung pernikahan dipenuhi dekorasi bunga putih dan emas, menciptakan suasana elegan dan sakral. Para tamu undangan dari berbagai kalangan mulai berdatangan, mengenakan pakaian terbaik mereka. Di pelaminan, Athar berdiri dengan gagah dalam balutan jas putih yang dipadukan dengan peci hitam. Wajahnya tampan dan berwibawa, meskipun sorot matanya tetap sulit ditebak—entah itu bahagia, pasrah, atau masih menyimpan keraguan. Sementara itu, Zaozah duduk di sisi lain ruangan, mengenakan gaun pengantin putih panjang dengan hijab yang dihiasi payet berkilauan. Wajahnya terlihat tenang, namun di dalam hatinya, ada ribuan perasaan yang bergejolak. Saat penghulu mulai membacakan prosesi akad, semua mata tertuju pada Athar. Dengan suara tegas dan lantang, ia mengucapkan ijab kabul tanpa ragu. "Saya terima nikahnya Zaozah binti Hasan dengan maskawin tersebut, tunai!" Suasana hening sesaat sebelum akhirnya diiringi ucapan syukur dan tepuk tangan dari para tamu. Athar dan Zaozah kini sah sebagai suami istri. "Bagaimana para saksi? sah?"tanya Penghulu. "Sah,"ucap semua yang hadir disana. Zaozah menundukkan kepala, hatinya terasa campur aduk. Sementara itu, Athar melirik sekilas ke arahnya. Ia tahu pernikahan ini terjadi karena keadaan, tapi melihat Zaozah hari ini… entah kenapa ada perasaan asing yang kembali muncul dalam dirinya. Setelah prosesi akad selesai, Athar dengan ragu mengulurkan tangan untuk mencium kening istrinya, mengikuti tradisi. Saat bibirnya menyentuh kening Zaozah, ia merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang selama ini ia coba abaikan. "Mungkinkah… ini awal dari sesuatu yang baru?" pikir Athar dalam hati. Pesta resepsi pernikahan Athar dan Zaozah berlangsung dengan sangat meriah. Sebagai seorang pengusaha terkenal, Pak Faris mengundang banyak kolega bisnis, pejabat, dan tokoh penting, membuat acara ini terlihat megah dan eksklusif. Gedung mewah yang dipenuhi dekorasi elegan, lampu kristal yang berkilauan, serta alunan musik yang indah menambah kesan megah pada acara tersebut. Zaozah terlihat anggun dalam gaun resepsi berwarna ivory dengan hijab berpayet yang mempertegas kecantikannya. Sementara itu, Athar, yang mengenakan setelan tuxedo hitam, tampak begitu tampan dan berwibawa. Senyum tipisnya sesekali muncul saat menyapa tamu, meski di dalam hatinya masih banyak pertanyaan yang belum terjawab tentang pernikahan ini. "MashaAllah, cantiknya," Namun, di tengah kemeriahan itu, satu hal mencolok, yaitu Ardi tidak terlihat di antara tamu. Pak Faris sengaja tidak menghadirkannya, khawatir kehadiran Ardi akan memancing pertanyaan dari para tamu tentang mengapa bukan dia yang menikahi Zaozah. Bagi sebagian tamu, absennya Ardi menimbulkan tanda tanya. Namun, karena acara berlangsung dengan begitu lancar dan megah, mereka lebih fokus menikmati suasana. Di pelaminan, Athar melirik Zaozah sekilas. “Kamu baik-baik saja?” bisiknya. Zaozah mengangguk pelan, tersenyum tipis. “Aku masih merasa canggung… tapi aku akan berusaha.” Athar menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Aku juga.” Malam itu, mereka menjalani peran mereka sebagai pengantin baru di hadapan semua orang. Namun di dalam hati, baik Athar maupun Zaozah tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai—perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, perasaan lama yang belum terselesaikan, dan mungkin… sesuatu yang tak terduga. Setelah resepsi yang meriah, Athar dan Zaozah akhirnya sampai di hotel mewah tempat mereka akan menghabiskan malam pertama sebagai pasangan suami istri. Kamar suite itu didekorasi dengan elegan, dengan kelopak mawar yang tersebar di ranjang dan cahaya lampu temaram yang menciptakan suasana romantis. Namun, begitu pintu kamar tertutup, suasana berubah. Tidak ada kehangatan, tidak ada tatapan penuh cinta seperti yang diharapkan Zaozah. Athar hanya berdiri di dekat jendela, membelakangi Zaozah dengan tangan mengepal. “Jadi, akhirnya kita menikah,” suara Athar terdengar dingin, penuh sarkasme. Zaozah yang masih mengenakan gaun resepsinya, merasa ada yang aneh. Ia menelan ludah, mencoba mencari kata-kata. “Athar, ada apa?” Athar berbalik, menatapnya tajam. Matanya menyala dengan emosi yang sulit diartikan—bukan kebahagiaan, melainkan dendam yang selama ini terpendam. “Kamu benar-benar tidak ingat, ya?” suaranya rendah, namun penuh tekanan. Zaozah mengernyit, bingung. “Mengingat apa?” Athar mendekat, membuat Zaozah mundur selangkah. “Dulu… kamu menghancurkan harga diriku, Zaozah.” Jantung Zaozah berdegup kencang. “Apa maksudmu?” Athar tertawa kecil, tapi tawanya pahit. “Kamu pikir aku lupa bagaimana kamu mempermalukanku di sekolah dulu? Bagaimana kamu memilih menjauh dariku begitu saja? Aku pikir kita teman dekat, Zaozah. Tapi kamu… kamu mengabaikanku seolah aku ini bukan siapa-siapa.” Zaozah terdiam, mencoba mengingat masa lalu mereka. Ia memang pernah dekat dengan Athar saat sekolah, tapi setelah itu, mereka mulai berjarak. Namun, ia tidak pernah berpikir bahwa Athar menyimpan luka sedalam ini. “Athar… aku tidak pernah berniat menyakitimu.” Suaranya pelan, hampir seperti bisikan. Athar mendekat semakin dekat, menatap langsung ke matanya. “Tapi kamu tetap melakukannya,” bisiknya dengan dingin. Zaozah merasa dadanya sesak. Malam yang seharusnya menjadi awal yang indah bagi pernikahan mereka malah menjadi momen di mana Athar mengungkapkan semua rasa sakitnya. “Aku tidak menikahimu karena cinta, Zaozah,” lanjut Athar. “Aku menikahimu karena aku tidak mau melihatmu dipermalukan. Tapi jangan berharap aku akan jadi suami yang baik.” Zaozah menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia sadar… pernikahan ini baru saja dimulai, tapi ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa suaminya menyimpan dendam padanya. Malam pertama mereka bukan tentang cinta. Tapi tentang luka lama yang kembali terbuka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD