Sebuah Penderitaan Dimulai

1381 Words
Saat alarm di ponselnya berbunyi pelan, Zaozah mengerjapkan mata dan terkejut saat menyadari dirinya ada di atas ranjang. Bagaimana bisa? Tadi malam, ia tertidur di atas sajadah setelah menangis dalam diam. Ia tidak ingat berpindah tempat. Dengan cepat, ia bangkit, menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, lalu menoleh ke arah sofa. Di sana, Athar masih tertidur dengan posisi miring, lengannya menjadi bantal, napasnya teratur. Zaozah menatapnya sejenak, mencoba memahami situasi. Apakah Athar yang memindahkannya? Tapi ia tidak mau memikirkan itu terlalu lama. Dengan cepat, ia mengambil peralatan mandinya dan bergegas menuju kamar mandi. Setelah menutup pintu, ia menyalakan kran air dan menatap bayangannya di cermin. Matanya sembab, wajahnya masih menyimpan jejak kelelahan emosional dari semalam. Ia menggigit bibirnya. Hatinya terasa sesak. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap terhadap Athar. Pernikahan ini terjadi begitu cepat, dan sekarang ia harus berbagi hidup dengan seseorang yang menyimpan dendam terhadapnya. Dengan perlahan, ia mengambil air wudu, membiarkan air dingin membasahi wajahnya, berharap bisa menenangkan pikirannya. Setelah itu, ia mengenakan mukena dan keluar untuk menunaikan salat Subuh, masih dengan hati yang penuh tanda tanya. Zaozah berdiri di dekat sofa, menatap Athar yang masih tertidur lelap. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya memberanikan diri untuk membangunkannya. "Athar… bangun, sudah Subuh." Suaranya lembut tapi cukup jelas. Athar hanya menggerakkan tubuhnya sedikit, lalu menarik selimutnya lebih erat. Zaozah menghela napas, mencoba sekali lagi. "Athar, ayo sholat dulu." Kali ini, Athar membuka sedikit matanya, menatap Zaozah dengan ekspresi malas dan enggan. Ia lalu mengembuskan napas berat dan berbalik, membelakangi Zaozah. "Kamu aja. Aku masih ngantuk." Zaozah menggigit bibirnya, ingin membujuk lagi, tapi ia tahu tidak ada gunanya. Ia menatap punggung Athar sejenak, lalu akhirnya menyerah. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah menuju sajadah yang sudah digelarnya sejak tadi. Dalam hatinya, ada perasaan sedih dan kecewa. Bukan karena Athar menolak sholat bersamanya, tapi karena sikap dingin dan acuh yang terus ia tunjukkan sejak mereka menikah. Saat mulai takbir, Zaozah mencoba mengabaikan hatinya yang sakit. Ia hanya bisa berdoa dalam sujudnya, berharap suatu hari nanti Athar akan berubah. Zaozah melirik jam di ponselnya—sudah pukul 07.00 pagi. Ia sudah berganti pakaian, mengenakan gamis biru muda yang sederhana dan hijab senada. Sementara koper kecilnya sudah tertata rapi di dekat pintu. Perutnya mulai terasa perih karena dari semalam ia tidak makan apa pun. Pihak hotel sudah menyediakan sarapan di restoran, tapi Athar masih tertidur di sofa. Zaozah ragu sejenak, menatap suaminya yang masih terlelap. Haruskah ia membangunkannya lagi? Tapi mengingat bagaimana Athar menolak ajakan sholat tadi subuh, ia merasa tidak ingin berdebat lagi. Ia akhirnya mendekati sofa, tapi bukan untuk membangunkan Athar. Dengan suara lembut, ia berkata, "Aku turun dulu ke restoran. Kalau kamu lapar, nanti menyusul saja." Tidak ada respons. Hanya napas teratur dari Athar yang masih tertidur. "Sebaiknya, aku tulis saja di kertas."Zaozah menuliskan kata-kata. Zaozah menghela napas pelan, lalu mengambil tas kecilnya dan keluar dari kamar hotel. Hatinya terasa sedikit sesak, tapi ia menenangkan diri, mungkin udara segar dan sarapan hangat bisa sedikit mengisi kekosongan yang ia rasakan sejak tadi malam. Athar mengerjapkan mata, menyadari cahaya matahari sudah masuk melalui celah tirai. Kepalanya sedikit berat, mungkin efek kurang tidur setelah malam yang kacau. Ia mengedarkan pandangan, mencari keberadaan Zaozah, tapi hanya menemukan koper kecilnya di dekat pintu. Matanya lalu tertuju pada meja kecil di samping sofa, di mana sebuah catatan kecil tergeletak. "Aku turun dulu ke restoran. Kalau kamu lapar, nanti menyusul saja." Athar mendesah pelan, lalu mengacak rambutnya yang masih berantakan. Dia bahkan tidak membangunkanku lagi. Entah kenapa, ada sedikit rasa tak nyaman di hatinya. Tapi ia menepis perasaan itu dan bangkit menuju kamar mandi. Setelah mandi dan mengenakan pakaian santai, Athar melirik jam—07.30 pagi. Perutnya mulai terasa lapar. Dengan malas, ia mengambil ponselnya, memasukkannya ke dalam saku, lalu berjalan keluar dari kamar. Saat turun ke restoran, matanya langsung mencari sosok Zaozah di antara meja-meja yang sudah terisi tamu hotel lainnya. Dan di sudut ruangan, ia menemukannya, sedang duduk sendirian, menikmati sarapannya dengan tenang. Athar berhenti sejenak, menatapnya dari kejauhan. Ada sesuatu yang aneh di dadanya melihat Zaozah sendirian seperti itu. Tapi ia tidak ingin terlalu memikirkannya. Dengan langkah santai, ia berjalan mendekat dan tanpa berkata apa-apa, duduk di kursi di hadapan Zaozah. Zaozah sedang menyeruput teh hangatnya ketika seseorang tiba-tiba duduk di hadapannya. Ia mengangkat wajah dan mendapati Athar sudah rapi, mengenakan kemeja santai berwarna hitam. Sejenak mereka hanya saling menatap tanpa bicara. Zaozah sedikit terkejut karena tidak menyangka Athar benar-benar menyusulnya. Athar menoleh ke arah pramusaji yang datang menghampiri, lalu dengan santai memesan kopi hitam dan roti panggang. Saat pramusaji pergi, ia kembali menatap Zaozah. "Kenapa nggak nunggu aku?" tanyanya santai, meskipun sebenarnya ia tidak terlalu peduli. Zaozah menyesap tehnya sebelum menjawab, "Kamu masih tidur. Aku juga nggak punya nomor kamu untuk menghubungi." Athar terdiam sejenak, baru menyadari satu hal—mereka sudah menikah, tapi bahkan tidak punya nomor satu sama lain. Ia merogoh ponselnya, lalu meletakkannya di meja. "Kasih ponsel kamu," katanya singkat. Zaozah mengerutkan kening, sedikit bingung. "Untuk apa?" "Tambah kontak aku." Zaozah ragu sejenak, tapi akhirnya mengeluarkan ponselnya dan menyerahkannya pada Athar. Dengan cepat, Athar mengetikkan nomornya dan menyimpannya. Saat mengembalikan ponsel itu, ia berkata, "Sekarang nggak ada alasan buat nggak ngasih tahu aku kalau kamu mau pergi." Zaozah hanya mengangguk pelan, kemudian berkata, "Aku juga butuh nomor kamu." Athar tersenyum tipis. "Ambil aja," katanya sambil mendorong ponselnya ke arah Zaozah. Zaozah mengambil ponsel Athar, menyimpan nomornya sendiri, lalu meletakkannya kembali di meja. Setelah itu, mereka kembali hening, hanya terdengar suara sendok dan garpu menyentuh piring masing-masing. Meski masih ada jarak di antara mereka, setidaknya kini mereka punya cara untuk saling menghubungi. Saat Zaozah membuka ponsel Athar untuk menyimpan nomornya, matanya tanpa sengaja menangkap wallpaper layar utama—foto satu kelompok mereka saat SMA, di acara OSIS. Jantungnya tiba-tiba berdebar. Ia mengenali foto itu dengan jelas. Itu diambil saat mereka sedang mengadakan kegiatan bakti sosial. Di sana ada dirinya, Athar, dan beberapa teman lainnya, tersenyum ceria di depan kamera. Sekilas, ingatan masa lalu berputar di benaknya. Dulu… mereka begitu dekat. Zaozah menelan ludah, jemarinya sedikit gemetar. Ia tak menyangka Athar masih menyimpan foto itu. "Apakah ini hanya kebetulan? Atau… apakah Athar masih menyimpan perasaan terhadap masa lalu?" Ia melirik sekilas ke arah Athar yang tengah sibuk dengan makanannya. Raut wajah lelaki itu tetap datar, seolah tidak menyadari apa yang sedang Zaozah lihat. Tanpa berkata apa-apa, Zaozah buru-buru menyimpan nomornya, lalu meletakkan ponsel Athar kembali di meja. Tapi hatinya masih terasa bergetar. Entah kenapa, perasaan yang sudah ia pendam selama bertahun-tahun kini perlahan muncul kembali. Zaozah masih memandangi ponsel Athar yang kini tergeletak di meja. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan, tapi belum sempat membuka mulut, suara Athar lebih dulu terdengar. “Jangan berpikir aneh-aneh.” Suaranya datar, tapi tegas. Zaozah menoleh, menatap Athar yang kini bersandar di kursinya sambil menyeruput kopi. Mata lelaki itu menatapnya tajam, seolah bisa membaca pikirannya. “Aku tahu kamu lihat wallpaper itu,” lanjut Athar. “Tapi jangan salah paham. Aku nggak menyimpannya karena alasan sentimental atau semacamnya.” Zaozah mengernyit. “Lalu kenapa masih ada di sana?” tanyanya pelan. Athar terkekeh sinis. “Mungkin sebagai pengingat buat diri sendiri, biar aku nggak gampang percaya sama orang lagi. Terutama kamu.” Dada Zaozah terasa sesak mendengar kata-kata itu. Ia menggigit bibirnya, mencoba tetap tenang. “Aku nggak pernah mengkhianatimu, Athar,” katanya lirih. Athar mendengus pelan. “Serius? Jadi menurutmu apa yang terjadi waktu itu? Aku cuma salah paham?” Zaozah terdiam. Ia tahu persis apa yang Athar maksud—kejadian bertahun-tahun lalu saat mereka masih di SMA. Dulu, Athar dan Zaozah memang dekat, tapi mereka tidak pernah berpacaran. Hanya saja, perhatian Athar padanya begitu nyata. Semua orang bisa melihat bahwa Athar menyukainya. Namun, suatu hari, Athar menemukan Zaozah bersama laki-laki lain—teman sekelas mereka—dan sejak saat itu sikap Athar berubah dingin. Ia merasa dikhianati, meskipun mereka tidak memiliki hubungan yang jelas. Zaozah menghela napas pelan. “Aku nggak pernah bermaksud menyakiti kamu.” “Tapi tetap saja kamu lakukan,” potong Athar cepat. Ia meletakkan cangkirnya dengan sedikit keras di atas meja. “Jadi jangan berharap aku bisa bersikap baik atau pura-pura melupakan semuanya.” Hati Zaozah semakin teriris. Ia ingin menjelaskan semuanya, tapi ia tahu, saat ini bukan waktu yang tepat. Athar masih menyimpan luka itu. Akhirnya, ia memilih untuk diam. Bersambung..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD