Zaozah menikmati sarapannya dengan lahap. Perutnya sudah kosong sejak semalam, dan ia tidak peduli dengan tatapan dingin Athar. Namun, tiba-tiba seseorang menghampiri meja mereka.
Seorang wanita cantik, berpenampilan elegan, tersenyum manis ke arah Athar. “Athar? Ya ampun, aku nggak nyangka ketemu kamu di sini!”
Athar menoleh dan tampak sedikit terkejut. “Nadia?”
Wanita bernama Nadia itu tertawa kecil. “Iya, ini aku! Kamu masih ingat, kan? Kita sekelas waktu di kampus.”
Athar mengangguk santai. “Tentu saja. Udah lama banget ya, kita nggak ketemu.”
Nadia kemudian melirik ke arah Zaozah yang duduk di hadapan Athar. Tatapannya sedikit penasaran. “Oh, ini siapa? Pacar kamu?” tanyanya sambil tersenyum ramah.
Zaozah yang sedang mengunyah tiba-tiba merasa canggung. Ia melirik ke arah Athar, menunggu bagaimana lelaki itu akan mengenalkannya.
Namun, yang keluar dari mulut Athar justru membuat dadanya terasa nyeri.
“Oh, dia?” Athar tersenyum tipis. “Ini sepupuku.”
Zaozah terdiam. Jemarinya menggenggam sendok lebih erat.
Nadia mengangguk, tampak lega. “Oh, aku kira pacarmu atau istrimu. Ternyata sepupu. Kalian mirip juga, sih,” katanya dengan tawa ringan.
Athar ikut tertawa kecil, seolah menikmati kebohongan yang baru saja ia ucapkan.
Sementara itu, Zaozah menunduk, menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Ia tahu Athar masih menyimpan luka dan dendam, tapi ia tidak menyangka Athar akan sejauh ini menyangkal keberadaannya sebagai istrinya.
Zaozah menarik napas dalam, lalu dengan suara datar berkata, “Aku sudah selesai. Aku ke kamar dulu.”
Ia bangkit dan berjalan pergi tanpa menunggu tanggapan dari Athar.
Athar hanya menatap kepergiannya sekilas sebelum kembali fokus berbicara dengan Nadia, seolah tidak terjadi apa-apa.
Nadia duduk di samping Athar dengan nyaman, berbicara dengan penuh semangat tentang kehidupannya setelah lulus kuliah. Namun, Athar tidak benar-benar mendengarkan. Pandangannya terus mengikuti sosok Zaozah yang berjalan menjauh, hingga tiba-tiba langkahnya terhenti.
Seorang pria asing—tampaknya seorang turis—menghadang jalannya. Dari gestur tubuhnya, pria itu tampak ramah, tersenyum sambil mengajak Zaozah berbicara.
Athar menggertakkan giginya tanpa sadar.
“Jadi, Athar, kamu masih di perusahaan yang sama?” suara Nadia menyadarkannya.
“Hm?” Athar menoleh sekilas, lalu kembali mengamati Zaozah.
Turis itu tampaknya semakin antusias berbicara dengan Zaozah, sementara Zaozah sendiri terlihat sedikit kaku, tapi tetap sopan. Lelaki itu bahkan mengulurkan tangan, seolah ingin berkenalan lebih dekat.
Tanpa sadar, jemari Athar mengepal di atas meja.
“Athar?” Nadia menyentuh lengannya dengan heran.
Athar berdiri tiba-tiba. “Maaf, aku ada urusan sebentar.”
Tanpa menunggu jawaban, Athar melangkah cepat ke arah Zaozah.
Nadia mengernyit, bingung melihat perubahan sikap Athar yang mendadak. Ia mengikuti arah pandangan Athar dan melihatnya berjalan ke arah seorang wanita berjilbab yang tadi dikenalkan sebagai sepupunya.
Tapi... kenapa ekspresi Athar terlihat begitu tidak suka?
Saat tangan turis asing itu hendak terulur ke arah Zaozah, tiba-tiba sebuah tangan lain lebih cepat menarik pergelangan tangan Zaozah ke belakang.
“Aku rasa dia tidak butuh teman baru,” suara dingin Athar terdengar, membuat Zaozah tersentak kaget.
Turis itu menatap Athar dengan bingung. “Oh? You’re her friend?” tanyanya dalam aksen khas.
Athar tersenyum tipis, tapi matanya menajam. “No. I’m her husband,” jawabnya tegas.
Zaozah membelalakkan mata, sementara turis itu tampak terkejut. “Oh, I see. I’m sorry, I didn’t know,” katanya dengan sopan sebelum melangkah pergi.
Zaozah masih terpaku. Barusan… Athar mengaku sebagai suaminya?
Athar masih menggenggam pergelangan tangannya erat. “Sejak kapan kamu suka ngobrol dengan laki-laki asing?” suaranya rendah, tapi ada ketegangan di dalamnya.
Zaozah menatapnya tajam, lalu menarik tangannya dengan paksa. “Aku hanya ditanya sesuatu, bukan berarti aku—”
“Jangan cari alasan.”
Zaozah menahan napas. Ada api dalam tatapan Athar, tapi entah kenapa, bukan hanya kemarahan yang ia lihat di sana. Ada sesuatu yang lain.
Cemburu?
Zaozah menggeleng cepat, mengusir pikiran itu. Tidak mungkin. Athar membencinya, bukan?
Sementara itu, di kejauhan, Nadia masih duduk di meja dengan ekspresi penuh tanda tanya. Ia memperhatikan interaksi antara Athar dan Zaozah dengan curiga.
Ada yang tidak beres di sini.
Zaozah berlari menuju kamar hotel dengan air mata yang tak terbendung. Hatinya terasa sesak. Sejak pernikahan ini terjadi, ia sudah berusaha bersabar menghadapi sikap dingin Athar, tapi kali ini ia tak bisa lagi menahan perasaannya.
Setibanya di kamar, Zaozah langsung mengambil koper dan mulai mengemasi barang-barangnya. Tangannya gemetar saat melipat pakaian dan memasukkannya ke dalam koper dengan asal.
Pintu kamar terbuka tiba-tiba.
Athar berdiri di ambang pintu, napasnya masih sedikit tersengal karena ia bergegas menyusul. Pandangannya langsung tertuju pada koper terbuka di atas ranjang.
“Kamu mau ke mana?” suaranya terdengar tajam.
Zaozah tak menjawab. Ia hanya menunduk, air matanya masih terus mengalir.
Athar melangkah mendekat, mencengkeram lengan Zaozah dengan kuat, membuat gadis itu tersentak. “Jawab, Zaozah! Kamu mau ke mana?”
Zaozah menepis tangan Athar. “Aku lelah, Athar. Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa! Kau bilang aku menghancurkanmu dulu, tapi sekarang? Kau lebih kejam! Kau mempermalukanku, kau tak mengakuiku, bahkan kau membiarkan orang lain menganggapku bukan siapa-siapa!” suara Zaozah pecah.
Athar menatapnya tajam. “Aku tidak pernah meminta pernikahan ini.”
Zaozah tersenyum pahit, matanya berkilat dengan kesedihan. “Begitu juga aku, Athar.”
Keduanya terdiam. Tatapan mereka saling mengunci dalam ketegangan yang sulit dijelaskan.
Lalu Zaozah menghela napas berat, menghapus air matanya sendiri. “Aku ingin pulang. Aku tidak ingin terus-terusan merasa seperti orang asing di hadapan suamiku sendiri.”
Athar mengepalkan tangan. “Dan kau pikir aku akan membiarkanmu pergi?”
Zaozah menatapnya, tak percaya. “Kenapa? Apa lagi yang kau inginkan, Athar?”
Athar terdiam. Ia sendiri tidak tahu apa yang benar-benar ia inginkan. Yang ia tahu, ia tidak bisa membiarkan Zaozah pergi begitu saja.
Athar menarik koper Zaozah dengan satu tangan, sementara tangan satunya menggenggam erat pergelangan tangan Zaozah.
“Athar, lepaskan! Aku bisa jalan sendiri!” protes Zaozah sambil berusaha melepaskan genggaman Athar.
Namun, Athar bergeming. Dengan langkah cepat, ia menyeret Zaozah menuju lobi hotel. Beberapa tamu yang sedang berada di sana menoleh, memperhatikan mereka dengan tatapan penasaran.
“Athar, kita jadi tontonan! Lepaskan!” bisik Zaozah dengan nada penuh ketegangan.
Athar tetap tak peduli. Begitu mereka sampai di depan hotel, seorang petugas valet segera membuka pintu mobil untuk mereka. Tanpa berkata apa-apa, Athar mendorong Zaozah masuk ke dalam mobil lalu menutup pintunya dengan cukup keras.
Zaozah menatapnya dengan marah. “Kau mau apa, Athar?!”
Athar tak menjawab. Ia memasukkan koper Zaozah ke bagasi, lalu masuk ke kursi pengemudi dan menyalakan mesin mobil.
Zaozah menatapnya dengan bingung. “Athar, aku bertanya! Kau mau membawaku ke mana?”
Athar meliriknya sekilas, lalu dengan nada dingin ia berkata, “Pulang.”
Zaozah terdiam.
Pulang?
Tapi ke mana? Rumah orang tua Athar? Rumah orang tuanya sendiri? Atau…
Athar melajukan mobil dengan kecepatan stabil, namun genggaman tangannya di setir tampak kuat. Rahangnya mengeras, menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang ia tahan.
Di dalam mobil, mereka terdiam. Hanya suara mesin dan deru angin di luar yang menemani perjalanan mereka.
Zaozah menunduk, meremas jemarinya sendiri.
Ia tidak tahu ke mana Athar akan membawanya, tapi yang jelas, hatinya semakin terasa kacau.
Mobil Athar berhenti di depan sebuah apartemen mewah. Zaozah menatap bangunan tinggi itu dengan perasaan campur aduk.
Athar keluar lebih dulu, lalu membuka pintu untuknya. “Turun,” perintahnya dengan nada dingin.
Zaozah tetap diam di kursinya, menatap Athar dengan penuh tanda tanya. “Kenapa kita ke sini?”
Athar mendekat, mencondongkan tubuhnya hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa inci. “Karena ini adalah awal dari rasa sakit yang harus kau rasakan,” bisiknya tajam.
Jantung Zaozah mencelos. Kata-kata Athar menusuk hatinya, membuatnya semakin bingung sekaligus takut.
Athar menarik koper dari bagasi dan berjalan menuju lobi tanpa menoleh lagi. Dengan berat hati, Zaozah pun mengikuti, meskipun kakinya terasa berat untuk melangkah.
Begitu mereka tiba di dalam apartemen, Athar membuka pintu dan mendorong koper masuk. Ia menatap Zaozah tajam.
“Mulai sekarang, kau tinggal di sini. Bersamaku,” katanya dingin. “Dan jangan harap pernikahan ini akan menjadi sesuatu yang indah untukmu.”
Zaozah menelan ludah. Ia merasa seperti terperangkap dalam situasi yang tidak ia pahami.
“Apa maksudmu, Athar? Kau ingin menyiksaku?” suaranya bergetar, berusaha menahan emosi.
Athar tersenyum miring, tatapannya penuh kepahitan. “Aku hanya ingin kau merasakan apa yang aku rasakan dulu.”
Zaozah merasa napasnya tercekat. Ini bukan tentang pernikahan. Ini tentang masa lalu mereka. Tentang sesuatu yang masih menjadi luka bagi Athar.
Kini, Zaozah sadar… ia akan menjalani pernikahan yang penuh luka dan dendam.