Azmi hanya diam saja, ia kembali mengingat kejadian kelam, sebelas tahun lalu. Di mana dia dahulu mengagumi sosok Rindang Ayu Maeta, akan tetapi sang pujaan hati tak pernah menegur, bahkan memberikan senyuman yang Azmi inginkan, sama seperti teman siswa laki-laki yang lain, yang kerap disapa Rindang dengan sopan, dengan mengulas senyuman manisnya.
Iri yang Azmi rasakan, membuat Azmi gelap mata saat itu. Ditambah adanya berita kalau Rindang kerap dibawa laki-laki hidung belang, membuat Azmi semakin gelap mata dan melakukan hal mengerikan itu pada Rindang,
“Kenapa, Azmi? Kenapa dulu kamu lakukan itu padaku?” tanya Ayu lagi.
Azmi menarik napasnya berat, ia mencoba tenang, dan akan mencoba menjelaskan semuanya pada Ayu.
“Rindang Ayu Maeta, nama seorang gadis yang berhasil mengisi hatiku. Namun, dia begitu acuh denganku. Akan tetapi, dia selalu bertegur sapa dengan siswa laki-laki lain dan selalu memberikan senyuman pada mereka, tapi tidak dengan aku. Aku yang begitu menginginkan senyuman dan sapaan lembutmu, aku hanya bisa bersabar, dan berharap suatu hari nanti kamu pun akan menyapa aku, dan memberikan senyumanmu, sama seperti yang kamu lakukan pada siswa laki-laki lain.”
“Aku hanya bisa memendam semua keinginanku di dalam hati, kala ego dan rasa angkuhku merajai diri, menjadi penghalang untuk aku mengungkapkan rasa yang ada di dalam hati. Hingga timbul rasa iri, membuat aku hilang kesabaran, karena kamu tak kunjung memberikan semua itu. Kamu acuh padaku, selalu menunduk saat lewat di depanku, selalu membuang muka saat aku tatap kamu. Aku benar-benar hilang kesabaran saat itu, Ayu. Terlebih setelah itu, aku mendapat kabar bahwa kamu sering diajak pergi om-om, yang akhirnya membuat aku naik pitam, dan gelap mata. Hingga kejadian sore itu terjadi, aku melakukan hal yang sangat mengerikan padamu,” jelas Azmi.
Ayu tertegun dengan pengakuan Azmi kali ini. Bagaimana bisa seorang Azmi, anak pemilik sekolahannya itu memendam rasa pada dirinya, hingga timbul rasa iri saat dia menyapa siswa lain di sekolahannya.
“Maafkan aku, Ayu. Sungguh aku minta maaf. Ampuni aku, aku sangat menyesal. Setelah kepergian kamu, aku benar-benar tersiksa, Ayu. Tersiksa lahir dan batin, hingga aku pernah mencoba bunuh diri, karena aku sudah tidak sanggup hidup dalam keadaan seperti itu. Sayangnya, Tuhan masih menyelamatkanku. Tuhan tahu, masalahku belum selesai. Mungkin Tuhan ingin aku menyelesaikan semua masalah ini padamu, meminta maaf langsung padamu,” lanjut Azmi.
Ayu masih diam, entah bagaimana bisa seorang Azmi seperti itu. Ayu yang dulu terlalu takut degan anak sang pemilik sekolah itu, pada kenyataannya anak pemilik sekolah begitu mengagumi dirinya, dan berharap dirinya mau menyapanya. Bagaimana Ayu menyapa Azmi? Melihat Azmi saja saat dulu Ayu takut, karena Azmi begitu angkuh, ditambah dia anak pemilik sekolah di mana Ayu sekolah. Ayu juga sadar diri, dirinya siapa dan berasal dari mana. Tidak hanya dengan Azmi, Ayu pun tidak mau menyapa siswa yang terlihat tinggi derajatnya, dia malu, dan merasa berkecil hati, tahu diri bahwa dirinya itu siapa.
“Kamu sudah mendengar alasanku, sekarang aku ingin tanya sama kamu, Ayu. Apa benar kamu dulu menggugurkan kandunganmu? Lantas siapa gadis kecil yang kemarin bertemu denganku di butik, dan di parkiran mall? Yang memanggil kamu dengan sebutan Mami?” tanya Azmi.
Ayu terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Mau menjawab jujur takut Azmi merebut Alina darinya? Mau menjawab tidak jujur, Ayu sadar, kalau Alina adalah anak dari Azmi, darah daging Azmi.
“Tolong jawab aku, Ayu. Apa dia anakmu? Kalau iya, apa dia darah dagingku juga? Atau dia anak dari suamimu sekarang? Maafkan aku, aku lancang bertanya seperti ini. Ini semua karena aku melihat gadis itu, seperti aku bercermin, dia mirip denganku, entah aku salah lihat atau apa, yang aku rasakan itu,” ucap Azmi.
“Iya dia anakku, darah dagingmu juga,” jawab Ayu.
“Kenapa dulu ibu panti bilang kamu menggugurkan kandunganmu?”
“Karena aku ingin semua orang tidak tahu tentangku setelah kejadian itu,” jawab Ayu.
Azmi hanya diam. Ternyata benar, gadis itu adalah anaknya, darah dagingnya. Azmi mengusap sudut matanya yang dari tadi sudah tergenang air matanya.
“Siapa namanya?” tanya Azmi.
“Alina Pramesti, usianya sepuluh tahun, dia kelas lima Sekolah Dasar,” jawab Ayu. Sepintas Ayu melihat Azmi menyimpulkan senyum di wajah tampannya.
“Apa aku boleh bertemu dengannya?” tanya Azmi.
“Untuk apa? Untuk mengatakan kamu ini Ayah yang tidak mau menerima kehadirannya?” jawab Ayu menohok.
Azmi pun bergeming. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi, dan harus berkata apalagi di hadapan perempyan yang dulu begitu menarik perhatiannya itu. Bukan hanya dulu, bahkan sampai detik ini, debaran itu masih ada, bahkan kali ini lebih kuat dari sejak pertama Azmi merasakan perasaan itu pada sosok gadis yang bernama Rindang Ayu Maeta.
“Sudah jelas semuanya, kan? Jika sudah tidak ada lagi yang kamu sampaikan, aku permisi dulu, ya? Aku masih banyak pekerjaan,” pamit Ayu, setelah menghabiskan minumanya.
“Apa aku boleh datang ke butikmu lagi, untuk bertemu dengamu dan Alina?” tanya Azmi.
“Untuk apa?”
“Untuk bertemu Alina, tapi kalau kamu tidak memperbolehkan, aku tidak memaksamu,” ucap Azmi.
“Nanti aku bilang Alina dulu, aku pamit pulang,” pamit Ayu.
Azmi hanya menganggukkan kepalanya. Ayu langsung kembali ke Butik. Sepanjang perjalanan menuju Butiknya, Ayu tak henti-hentinya menghela napas panjang di sepanjang perjalanannya.
Meskipun belum ada kata maafnya pada Azmi, tapi dia sudah lega mendengar penuturan Azmi mengenai kenapa dulu sampai berbuat keji seperti itu kepada dirinya. Sungguh sulit dipercaya semua ucapan Azmi soal kenapa dia melakukan perbuatan keji itu padannya. Ya, hanya karena rasa iri dan cemburu saja, juga rasa marah karena selalu diacuhkan oleh Ayu.
“Aneh sekali dia? Apa benar alasan dia melakukan semua itu karena begitu? Kalau iya, apa dia tidak sadar diri bagaimana sombong dan angkuhnya dia dulu? Bagaimana aku bisa melihat dia, menyapa atau memberikan senyum padanya? Dia saja seangkuh dan sesombong itu karena dia merasa anak dari pemilik sekolahan? Kalau aku menyapanya dulu, terus dia diam saja, mau ditaruh di mana mukaku? Mending aku diam, tapi diamku malah salah, dan membuatnya seperti itu. Mana mungkin aku tahu kalau dia memendam rasa itu padaku?” batin Ayu.
Ayu sampai di Butiknya. Ia langsung menemui Maya yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
“Mbak sudah kembali?” tanya Maya.
“Iya. Alina sudah pulang, kan?”
“Sudah, tuh Alina di sana, sedang duduk dengan Klien kita. Tadi sih aku di sana menemani, tapi tadi ada telefon, jadi aku tinggal,” jawab Maya.
“Itu bukannya?”
“Iya, Mbak Syakila, istrinya laki-laki itu, kan? Yang tadi ditemui Mbak?” potong Maya.
“Mau apa dia ke sini?”
“Gak usah takut, dia gak cari suaminya. Mbak ini lupa, ya? Kan Bu Syakila mau ambil gaun dan setelan jas milik suaminya? Mbak kemarin bilang hari ini jadi, kan?”
“Oh iya aku lupa, tapi udah selesai sama kamu, kan?”
“Sudah, Mbak, sudah pelunasan juga kok, tapi katanya pengin ketemu Mbak dulu, jadi ya Bu Syakila menunggu.”
“Mau ketemu aku? Sudah selesai pakai acara mau ketemu aku, mau apa, May?”
“Gak tahu, Mbak. Mungkin mau bicara penting, atau jangan-jangan .....”
“Nggak usah ngaco kamu pikirannya!” sarkas Ayu.
“Ih apaan sih, aku gak mikir apa-apa kok? Sudah sana temui dia dulu, Mbak!”
Ayu pun segera meninggalkan Maya, dan berjalan menuju ke ruang tamu. Dari kejauhan Ayu melihat Syakila sedikit akrab mengobrol dengan Alina.
“Ini anak Mami kok di sini?” tanya Ayu lalu mendekati Alina dan langsung duduk di sebelah Alina.
“Bosan di dalam, Mi. Mami ke mana sih, lama sekali, untung ada Tante Syakila yang mau menemani aku di sini, Tante Maya soalnya sibuk sekali dari tadi,” ucap Alina.
“Maaf, Mami ada urusan, Sayang. Ya sudah Alina ke dalam dulu, ya? Istirahat dulu, nanti kan jam tiga kamu les? Mami mau ngobrol sama Tantenya. Alina sudah mengerjakan PR?”
“Sudah selesai semua, Mi. Malah dari tadi, ya sudah Alina ke dalam ya, Mi? Mari Tante, Alina ke dalam dulu, ya?” pamit Alina.
“Iya, Cantik, silakan,” ucap Syakila.
“Sibuk ya, Mbak?” tanya Syakila pada Ayu.
“Ya begini, Mbak. Kalau ada klien ingin bertemu di luar, saya ya ke sana menemui. Maaf ya, Mbak, Mbak jadi menunggu lama,” ucap Ayu.
“Iya tidk apa-apa,” jawab Syakila.
“Ini ngomong-ngomong ada apa ya, Mbak? Kata Maya sudah selesai semua, tapi Mbak mau ketemu sama saya? Apa mau buat gaun lagi, atau apa?” tanya Ayu penasaran.
“Ini, Mbak. Saya mau ngasih undangan ini. Lusa kan pesta anniversary pernikahanku, Mbak datang, ya? Tadi saya juga sudah kasih undangan ke Maya. Tapi punya Mbak gak aku titipkan, aku pengin ngasih langsung ke Mbak. Karena Mbak sudah membuat saya puas dengan hasil kerja Mbak membuat gaun yang untuk besok. Saya suka, dan puas sekali akan hasilnya,” tutur Syakila.
“Terima kasih undangannya, kalau tidak ada halangan, saya akan datang,” ucap Ayu.
“Harus datang pokoknya,” pinta Syakila.
“Semoga saja, saya bisa hadir ya, Mbak? Saya tidak janji, Mbak,” ucap Ayu.
“Saya tunggu kehadiran Mbak dan Asisten Mbak pokoknya. Kalau begitu saya pamit ya, Mbak?” Syakila bersiap untuk pulang, mereka saling berjabat tangan.
“Iya, saya usahakan, Mbak. Mari saya antar Mbak ke depan,” ucap Ayu.
Saat mereka berjalan ke arah pintu keluar sambil sedikit mengobrol, tiba-tiba terlihat seorang laki-laki masuk ke dalam Butik.
“Sayang?” ucap Syakila dengan wajah berbinar, saat Sang Suami datang ke Butik. Tahu saja suaminya kalau dia tidak membawa mobil kali ini. Syakila mengira Azmi ke Butik untuk menyusul dirinya, padahal dia ingin bertemu Ayu dan Alina.
“Mas ke sini mau jemput aku? Mas tahu aku tidak bawa mobil?” tanya Syakila, dia langsung bergelayut manja di lengan Azmi.
“Mau sekalian belikan gaun untuk Mamaku dan Mamamu,” jawab Azmi datar. Azmi sama sekali tidak tahu kalau Syakila ada di Butik Ayu, dan tidak bawa mobil.
“Untuk mama?”
“Ya, biar lusa mereka memakai gaun dari aku,” jawab Azmi.
“Ah ... suamiku tumbe so sweet banget? Ya sudah aku bantu pilih, ya?”
“Hmmm ...,” jawabnya dengan datar.
Syakila antusia memilihkan gaun untuk mamanya dan mama mertuanya. Akan tetapi tidak untuk Azmi. Dia malah mencuri pandang pada Ayu terus menerus yang sedang menemani Syakila memilih gaun untuk mamanya.