3. Bertemu Cinta Pertama

1753 Words
Hari ini terasa sunyi, Waktu yang berputar begitu lama, Tak secepat detak jantungku, Menunggu hadirmu di lorong kelas, Sayangnya, sampai jam terakhir ... kamu tidak datang. Entah kamu berada di mana? Yang jelas, kamu membawa sepi dalam hariku. *** Lampu-lampu neon di jantung ibukota berkelip seperti bintang. Dentuman musik yang berasal dari club malam pun bergema, menelan tawa, desahan dan bisikan penuh rayuan. Di antara kerumunan itu, seorang pria tinggi berhidung mancung, pemilik mata keabuan terang itu duduk di sofa VIP. Ankala Alvarendra. Segelas minuman mahal di tangannya. Perempuan-perempuan cantik dan seksi bergantian mendekat, menggoda dengan senyum dan sentuhan. Ada yang memuji wajahnya, ada yang memuja hartanya. Semuanya seolah berlomba menjadi pusat perhatiannya. Namun, di balik tawa ringannya, Ankala hanya merasa hampa. Dia berpindah dari satu club ke club lain, setiap malam. Malam-malamnya dipenuhi dentuman musik, aroma parfum asing dan tawa palsu yang terdengar serupa. Pacar berganti pacar, kekasih berganti nama. Namun, setiap kali pagi tiba, dia terbangun sendirian di apartmen mewahnya. Dikelilingi sepi yang tidak bisa ditutup dengan uang. Terkadang dia menatap ke luar jendela tinggi, ke arah kota yang tidak pernah tidur. Seolah bertanya pada dirinya sendiri. Apakah benar ini hidup yang dia inginkan? Ankala sebenarnya ingin mengambil study ke luar negeri setelah masa SMA-nya. Namun ayahnya tidak memberikan izin karena tak mau anaknya terlampau liar. Padahal di negara mana pun, jika memang dia sudah memilih jalan liar, dia akan menemukan jalan itu. Di pagi hari, Ankala akan terbangun dengan tubuh setengah telanjang, memakai celana pendek saja. pasti salah satu body guard yang disewa ayahnya yang membawanya pulang. Sebelum mereka membangunkannya untuk kuliah. Ankala sudah lebih dulu terbangun, rambutnya berantakan, bibirnya merah setelah semalam meneguk alkohol. Dia menatap ke atas nakas, ada botol minuman pereda pengar, langsung dia meneguknya hingga tandas, mencari di mana ponselnya yang tengah berdering itu? Dia menjatuhkan bantal dan selimut, lalu menemukan benda itu tergeletak seperti tak berdaya. Tampak nama Sang nenek meneleponnya. “Ada apa Oma?” tanya Ankala. “Baru bangun, Honey?” tanya Diana dari seberang sana. “Ya, mau siap-siap ke kampus, hari ini hari terakhir kelas karena besok sudah libur,” ucap Ankala berjalan ke arah wastafel dengan mata yang masih mengerjap seolah mengumpulkan nyawanya. “Pulangkah Ankala, ayahmu sudah menikah lagi, kami akan mengadakan pesta untuk memperkenalkan istri barunya,” ucap sang nenek. “Menikah? Dengan siapa? Tante Miralda? Sarah? Almahera?” tanya Ankala yang kebetulan tahu beberapa nama wanita yang sering ke rumahnya untuk menggoda ayahnya dan tak satu pun yang membuat ayahnya tertarik, dia seperti seorang yang tak mau menikah lagi. Ankala pun cukup terkejut mendengarnya sudah menikah. “Bukan di antara mereka, dia perempuan muda, seusia denganmu,” jawab sang nenek. Mata Anakala menyipit, setengah rasa mabuk yang tertinggal pun hilang seketika. Istri baru? Seusia dengannya? Ankala tersenyum miring, ayahnya suka daun muda ternyata. Rasa ingin tahunya pun membuncah. “Malam nanti aku pulang, Oma,” ucap Ankala sebelum memutuskan panggilan itu. *** Ankala memesan tiket pesawat untuk kepulangan malam ini, dia memandang ke jendela perjalanan yang ditempuh menuju rumah tempat dia dilahirkan. Ankala berpikir, betapa setia sang ayah yang tak mau menikah meski ibunya telah meninggal sejak sepuluh tahun lalu. Namun, dia salah, kesetiaan ayahnya hanya bertahan sepuluh tahun. Dan dia justru kini menikahi wanita yang seusia dengannya. Tak henti Ankala tersenyum miring. Sopir menjemputnya di bandara, dia mendorong tas punggungnya ke kursi belakang, lalu bersandar di kursi penumpang. Sopir itu melajukan kendaraan membelah jalan raya menuju kediamannya. “Papa benar sudah menikah?” tanya Ankala pada sang sopir keluarga. “Ya, dengan gadis muda yang ditemuinya di desa, katanya dekat kebun sawit,” jawabnya dengan pandangan yang tetap fokus ke depan. “Gadis betulan kan? bukan kuyang?” tanya Ankala membuat sang sopir itu tertawa. “Gadis benar, kakinya menapak lantai,” ucapnya. Ankala mengangguk kecil, penasaran siapakah wanita yang bisa merebut hati ayahnya dari banyaknya persaingan para wanita berkelas lainnya? Mendengar nada suara neneknya pagi tadi, Ankala bisa menebak bahwa neneknya tidak terlalu menyukai menantunya itu. Tiba di rumah hari sudah sangat larut, semua orang sudah tertidur. Ankala memasuki kamarnya, matanya belum bisa terpejam, iseng dia menuju rak buku. Ada buku bersampul biru yang selalu dia simpannya sejak dulu, yang dibacanya ketika dia merasa harinya melelahkan. Puisi-puisi dari anonim itu membuat rasa lelahnya hilang, dia merasa bahwa dia dicintai, kehadirannya ditunggu dan dia bisa menggambarkan ketulusan dari sang penulis. Sayangnya, sampai hari kelulusan pun, dia tidak tahu siapa pengirim buku puisi itu. Yang membuatnya dihantui rasa penasaran sampai kini. Ankala pun tertidur memeluk buku itu, dan ketika dia terbangun, dia merasakan sebuah tangan mengusap wajahnya. Dia membuka mata, menatap wajah cantik sang nenek yang tak lekang oleh waktu, tersenyum ke arahnya. “Kapan tiba?” tanyanya. “Semalam, Oma,” jawab Ankala, memindahkan buku itu ke atas nakas. “Sekarang mandi dan sarapan, kita lihat bagaimana respon ibu tirimu melihat anaknya yang seusia dengannya,” ucap Diana. Ankala mengangguk, tersenyum pada neneknya, dia sangat menyayangi sang nenek yang sejak kepergian ibunya, sudah dianggap seperti ibunya sendiri. Setelah mandi, Ankala berjalan ke ruang makan, di sana dia melihatnya untuk pertama kali. Seorang gadis muda memakai dress selutut berwarna cerah, berdiri kikuk di samping ayahnya. Wajahnya tampak pucat, matanya penuh canggung seolah tidak terbiasa berdiri di ruangan sebesar itu, dia terus menunduk seperti lebih suka memperhatikan lantai marmer di banding orang-orang yang lalu lalang. “Jadi ... dia ibu tiriku?” ucap Ankala, matanya dan mata Zevana bertemu. Wanita itu nyaris terjatuh jika tak cepat berpegangan dengan ujung meja. Ankala! Pria yang selalu ada dalam mimpinya. Apa dia bilang? Ibu tiri? Zevana seperti tersedot ke masa lalu. Ankala Alvarendra, Prabu Alvarendra. Betapa bodohnya dia, membandingkan nama mereka yang sama. Lagi pula mengapa tidak ada foto keluarga di rumah ini? Membuatnya benar-benar terkejut seperti tersengat aliran listrik. Jantungnya berdebar keras, seperti tak mampu memompa oksigen dan darah ke seluruh tubuhnya. “Siapa namanya, Pa?” pertanyaan dari Ankala selanjutnya seolah menyadarkan Zevana bahwa dia tak pernah ada di ingatannya. “Zevana,” panggil dia mama, karena dia adalah mama kamu sekarang. Ankala mengulurkan tangannya, dengan gemetar Zevana membalas uluran tangannya. “Dingin banget, kamu masih hidup kan?” tanya Ankala melepas jabatan tangan itu. Zevana. Nama itu tidak muncul di ingatannya, yang dia lihat hanyalah seorang asing, ibu tirinya. Bukan gadis SMA pemalu yang dulu menulis puisi untuknya. Ankala tersenyum tipis, separuh mengejek, separuh tak percaya. Sementara itu Zevana terus menunduk, dadanya berdebar, dia masih tak menyangka. Laki-laki yang dulu memenuhi setiap baris puisinya, kini berdiri di hadapannya sebagai anak dari suami yang dia nikahi secara pura-pura. “Duduk,” ajak Prabu. Membiarkan Zevana duduk di sebelahnya sementara Ankala di seberang Zevana terus menatapnya lekat. Dan Diana berada di kursi paling ujung, paling dihormati. Aneka sarapan tersaji di meja membuat Zevana merasakan sakit di perutnya, bagaimana dia bisa makan di depan orang yang paling dia sukai? Sekaligus orang yang sama yang paling tak ingin dia temui. Setiap gerak-geriknya terasa begitu asing, dia masih tak pandai menggunakan sendok dan garpu, apalagi pisau. Sejak awal tinggal di rumah itu, dia merasa seperti berjalan di atas lantai yang mudah rapuh seperti pecahan kaaca. Dia melangkah dengan hati-hati, takut suaranya terlalu keras, takut salah menyentuh benda apa pun. Semuanya tampak sangat asing, lampu kristal yang menggantung berat, kursi-kursi yang berlapis beludru, bahkan sendok dan garpu yang berkilau seolah tak pantas disentuh tangannya. Dia kemudian diambilkan makanan oleh salah satu pelayan yang melayaninya secara khusus, mereka secara terang-terangan memandanginya dengan tatapan penuh tanya. Sebagian menyembunyikan senyum sinis. Zevana tahu, gosip tentang dirinya pasti sudah menyebar. Istri baru Prabu, perempuan kampung yang masih muda. Telinganya bergetar setiap kali mendengar bisik-bisik samar ketika dia melintas. Itu sebabnya setiap Prabu berangkat kerja, dia langsung masuk ke kamar rahasianya, menonton televisi atau mendengar musik, terkadang memainkan ponsel baru dan canggih yang diberikan Prabu untuknya. Dia kembali bersembunyi, memilih diam seperti di sekolah dulu, ketika puisinya dibaca ramai-ramai dan dia memilih tenggelam di balik keheningan. “Bagaimana masakannya nyonya? Ada yang kurang?” tanya sang pelayan pada Zevana yang hanya menyuap sedikit, rasanya seperti ada duri yang tersangkut di tenggorokan. “E-enak,” cicitnya, “terima kasih.” Diana meraih gelas dan meneguk airnya, “mungkin dia tidak terbiasa memakan makanan mahal, pasti rasanya asing,” sindirnya. Prabu hanya menggeleng perih sementara Ankala menatap neneknya yang sudah melemparkan tatapan membunuh pada Zevana yang sempat mengangkat wajahnya dan kembali menunduk lagi dengan ketakutan. Ankala merasa pernah melihat wanita itu? Namun di mana? Dia merasa tak asing ketika terus memandangnya, akan tetapi dia benar-benar tidak dapat mengingatnya. Siang itu, Zevana seperti menemukan dunia baru, sebuah perpustakaan yang ada di rumah itu. Prabu yang mengatakan padanya karena Zevana berkata bahwa dia suka membaca. Tempat itu seperti surga bagi Zevana di hari itu, dia mencari buku-buku, ada beberapa novel romance terjemahan, dia seperti menemukan harta karun. Senyumnya terbit untuk pertama kalinya sejak menginjakkan kaki di rumah itu. Hingga, Zevana melihat Ankala yang melintas, aroma parfum maskulin mengisi udara, langkahnya penuh percaya diri, kontras dengan gerakan Zevana yang canggung. Di tangannya sudah memegang beberapa novel yang akan di bawa ke kamar. Mmeskipun perpustakaan ini dilengkapi sofa dan cahaya untuk membaca yang sangat cukup, namun bagi Zevana tak ada tempat yang lebih aman dibanding kamar kecilnya itu. Ankala berdiri dan bersandar pada rak buku tinggi, tangannya terlipat di d**a seperti tak membiarkan Zevana lewat. Dia menatap wanita itu dari ujung kepala hingga kaki. “Jadi ... kamu ini ibu baruku?” suaranya setengah mengejek. Zevana menunduk, jantungnya berdegup kencang, dia tak tahu harus menjawab apa? Ankala terkekeh, mengambil satu buku dari tangan Zevana, lalu melemparkan ke meja, dia melangkah maju, sementara Zevana terus mundur hingga tersudut ke dinding, tangannya erat memeluk sisa buku yang dia pegang. “Kita seusia, tapi kamu lebih memilih menjadi istri dari ayahku. Pintar juga kamu memilih jalan cepat?” Kata-kata itu menusuk seperti pedang di hati Zevana, namun dia terus terdiam, hanya menggigit bibir dan menahan diri, dia tidak berani membuka suaranya atau pun mendongak menatap Ankala yang berdiri satu meter di depannya. “Pe-permisi,” ucap Zevana terbata. “Berapa harga yang papa bayar untuk menikahimu?” tanya Ankala. Mata Zevana memanas, harga? Serendah itu kah wanita di hadapan para taipan? Dia mengumpulkan keberaniannya, melewati Ankala meski bahu mereka sedikit bertabrakan, dia meninggalkan pria itu, pria yang bukan sekedar putra dari Prabu, namun juga cinta pertamanya yang dulu hanya bisa dia abadikan dalam puisi. Dan bagian yang paling menyakitkan adalah, bahwa Ankala benar-benar tidak mengenalinya. Bahkan mungkin dia tak pernah tahu bahwa Zevana hidup di dunia ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD