4. Boneka Di Atas Panggung

1553 Words
Kata itu disebut Cinta, Rasa yang indah, Namun juga pahit, Begitu dia datang, semua sepi berubah. Membawa fase yang dinamakan Dewasa. *** Malam nanti pesta akan di adakan di rumah megah itu, para pelayan bersiap, termasuk para crew yang disewa. Diana yang mengatur semuanya, dia ingin pesta ala kelas bangsawan yang diadakan di rumah. Sayang sekali rumah semegah dan sebagus ini jika hanya dilihat oleh mata mereka saja. Dia ingin semua tamunya bisa melihat seberapa tinggi kelas keluarga Alvarendra di mata konglomerat lain. Sekaligus menunjukkan betapa rendahnya menantu yang dipungut oleh sang anak, entah dari mana? Sejak pagi penata busana sudah memasuki kamar Prabu untuk mengukur tubuh Zevana dan mencari persediaan gaun untuk wanita itu. Namun tak ada yang cukup. Tubuh Zevana terlalu kecil dan tidak proporsional seperti model-model gaun yang dimiliki olehnya. Karena itu dia meminta izin untuk merombak sedikit beberapa gaun sesuai ukuran tubuh Zevana dan berjanji untuk mengirimnya sebelum pesta mulai. Zevana merasakan kepalanya yang pusing, dia tak terbiasa dengan keramaian seperti ini. Para pelayan dan staff event organizer hilir mudik dan setiap melihatnya menyapanya dengan anggukan sopan membuatnya memilih kembali masuk ke dalam kamar. Lebih baik dia berkutat dengan tokoh novel favoritnya yang menurutnya lebih manusiawi di banding manusia-manusia di sini. Nyatanya Prabu memang sangat sibuk, setelah pulang untuk makan malam, dia sering keluar lagi untuk bertemu rekan kerja atau koleganya, terkadang dia berkutat di ruang kerja untuk meeting dengan kolega dari luar negeri. Itu sebabnya Zevana benar-benar tampak tak mengenal sosok pria yang harusnya menjadi suaminya itu. Pukul delapan malam pesta digelar, sekarang sudah pukul tujuh dan wajah Zevana sudah dirias, namun gaunnya belum juga sampai. Di lantai bawah, pihak dari wardrobe datang terburu, banyaknya tamu membuat perjalanan ke rumah ini menjadi macet, dia terpaksa mengutus kurir membawakannya dengan sepeda motor, gaun tersebut dimasukkan ke dalam kotak. Salah satu gaun di antara lima gaun yang dibawa, yang menurut pihak wardrobe akan sangat cocok dengan pesta malam ini. Diana menyapa kurir yang membawa gaun tersebut yang langsung menyerahkannya pada wanita tua itu karena sudah mengenal sebelumnya. Seorang wanita tinggi dengan gaun hijau emerald, kalung berlian tampak di lehernya melingkar dengan sangat indah, menghampiri Diana. Usianya baru 35 tahun, tapi make up justru memperlihatkan wajahnya yang tampak jauh lebih dewasa. Gaun berbelahan d**a rendah yang dipilihnya begitu kontras dengan kalung yang dia pakai, clutch yang dihiasi permata pun tampak indah di genggaman tangannya. “Hallo mami,” sapa wanita itu pada Diana. “Miralda, kok baru sampai?” tanya Diana sambil memeluk wanita itu serta mengecup pipi kiri dan kanannya. “Aku harus ... yah menunjukkan bahwa aku yang tercantik malam ini,” ucap Miralda membuat Diana tersenyum lebar. “Kamu selalu menjadi yang tercantik,” ucap Diana. “Apa yang mami bawa?” tanya Miralda. “Gaun,” ucapnya sambil melirik ke arah kamar Prabu. Keduanya tersenyum menyeringai dan Miralda mengambil kotak tersebut. “Hmmm biar aku yang antar,” tuturnya sambil tertawa. “Terima kasih,” jawab Diana dengan senyum yang tak pudar dari wajahnya. Ankala yang melintas melihat pemandangan itu dengan alis terangkat sebelah. Sepertinya ada sesuatu yang direncanakan mereka berdua? Penasaran, secara diam-diam Ankala mengikuti Miralda yang bukannya menuju kamar sang ayah di mana Zevana menunggu, melainkan berada di lorong menuju kamar pelayan. Seorang pelayan kepercayaan Diana menghampiri Miralda dan membawakan pisau juga paper bag. Miralda membuka gaun indah itu, dia menggeleng perih. “Sayang sekali gaun indah ini harus ... ,” ucapnya terpotong, kemudian dia merobek gaun itu dengan robekan yang besar. Ankala membelalakkan mata. Jahat sekali. “—koyak!” imbuh Miralda sambil tertawa bersama pelayan kepercayaan Diana itu. Dia kemudian meminta pelayan tersebut mengisi pakaian lain ke dalam kotak yang tadi di bawanya. “Sekarang kamu ke sana dan bilang kalau tema malam ini cowboy, khusus untuk pasangan pengantin baru,” kekeh Miralda. Pelayan yang berusia cukup tua itu tertawa. “Siap nyonya,” jawabnya sambil tersenyum lebar. Pelayan itu membawa baju itu ke dalam kamar Prabu, di mana para perias sudah diminta keluar karena Zevana akan berganti pakaian. “Tema untuk kedua mempelai adalah cowboy, karena tuan Prabu sangat suka menunggang kuda,” ucap sang pelayan itu. “Bukannya tadi pagi, saya mencoba gaun ya, Bu?” tanya Zevana. Wanita itu tampak salah tingkah, lalu dia berdehem seraya mendongakkan kepalanya. “Ehmm, itu Tuan Prabu meminta mengubahnya agar lebih berkesan, jadi ini bajunya, silakan dipakai,” tukasnya. Zevana hanya terdiam menatap kotak tersebut. Pelayan itu keluar dan Zevana mengganti bajunya. Kemeja putih dan celana jeans robek-robek yang bagian pinggangnya cukup kebesaran. Juga sepatu boots tinggi sampai betis, memakai scraft merah di leher dan topi ala cowboy di kepalanya. “Apa cocok sama dandanannya?” tanya Zevana pada dirinya sendiri. Lalu terdengar suara musik mengalun. Pesta pasti sudah dimulai, dia pun keluar dari kamar. Dia terkejut ketika ada sebuah tangan menghalangi pintu. “A-Ankala?” ujar Zevana terbata. Ankala memakai setelan jas mahal berwarna hitam, menatap Zevana dengan pandangan sedih. Dia tahu neneknya membenci Zevana, tapi dia tak menyangka Diana akan mempermalukan wanita itu seperti ini. Dia pun mendorong Zevana masuk kamar lagi dan menutup pintu. “Ganti pakaian kamu!” tukas Ankala. “Ganti pakai apa? Aku enggak punya baju dan katanya baju ini—“ “Ganti!” ujar Ankala tak dapat dibantah. “Aku enggak punya baju pesta,” ucap Zevana seraya menunduk. Ankala menatap Zevana prihatin. Lalu dia berjalan ke arah ruang wardrobe yang sebelumnya tak diketahui Zevana sama sekali karena tampak seperti pintu biasa. Ditarik tangan Zevana untuk ikut masuk ke dalamnnya. Ankala berjalan ke bagian sudut ruangan yang tampak serba putih itu, dia membuka salah satu lemari dan menemukan beberapa gaun bekas mendiang ibunya. “Aku baru tahu ada kamar ini,” ucap Zevana membuat Ankala bingung. “Selama ini kamu ganti baju di mana?” tanya Ankala, tapi dia menggeleng, “lupakan,” tukasnya. Diambil beberapa gaun yang dipaskan ke tubuh Zevana tak ada yang muat karena memang ukuran tubuh ibunya lebih berisi dibanding Zevana. Hingga dia menemukan satu gaun putih, Ankala mengingat ibunya pernah menunjukkan gaun itu pada Ankala, “Nak nanti kalau kamu menikah, istrimu harus pakai gaun ini, ini gaun pernikahan mama,” ucap sang ibu dulu ketika Ankala masih SD. Ankala hanya memeluk ibunya erat. “Aku akan belikan istriku gaun yang lebih indah!” tutur Ankala. “Tapi gaun ini buatan nenek kamu, khusus untuk mama, dan di gaun ini terajut cinta,” ucap sang ibu. Memang nenek dari pihak ibunya adalah seorang designer yang cukup terkenal. Sayang tak ada yagn meneruskan usahanya. Ankala merasakan panas di matanya. Ketika menikah pasti ibunya sekurus Zevana, dia pun menyerahkan gaun itu pada Zevana. “Pakai ini, kamar mandinya di sana. Cepat, kita enggak ada waktu lagi,” tutur Ankala. Zevana pun membuka kamar mandi di ruangan itu, matanya membelalak, kamar mandi ini sangat besar dan luas, sejenak dia mengagumi interior itu hingga dia menyadari panggilan Ankala padanya. Dia segera melepas pakaiannya dan mengganti dengan gaun putih yang tampak sederhana itu, namun ... gaun itu sangat pas di tubuhnya seolah memang dibuat untuknya. Zevana keluar dari kamar mandi, Ankala memandanginya nyaris tanpa berkedip. “Bagus,” ucapnya kemudian. Lalu dia mengajak Zevana keluar, menarik tangannya lagi. Zevana memandang tangan Ankala yang mengenggam erat jemarinya. Jantungnya berdebar tak karuan. Hingga di kamar depan dia melihat Prabu yang tampak kebingan mencarinya. “Kalian dari mana?” tanya Prabu. Ankala melepas pegangan tangannya pada Zevana. “Tadi ada insiden kecil, seharusnya papa bisa lebih memperhatikan istri papa, sebelum dia menjadi bahan lelucon orang-orang!” sentak Ankala. Prabu memandangi pakaian yang dikenakan Zevana, dia menutup mulutnya dan menunjuk pakaian itu, “Ya itu baju mama,” ucap Ankala seraya keluar dari kamar tersebut dan menutup pintu. Dia berjalan cepat menuju tempat lain, di tempat yang sepi dan gelap. Dia menyeka sudut matanya. “Ma, akhirnya ... akhirnya baju mama dipakai istri papa, bukan istriku,” ucapnya menahan tangis. Pria yang dikenal player dan macho itu kini menyeka sudut matanya yang berair karena mengingat ibunya. Pesta pun dimulai, lampu-lampu kristal berkilauan, musik orkestra lembut mengalun dan tamu-tamu berdatangan dengan pakaian mewah. Gaun-gaun berkilat, jas elegan, tawa berbaur dengan bunyi gelas beradu. Prabu berjalan dengan Zevana yang mengamit tangannya, Diana dan Miralda saling tatap, dari mana wanita itu mendapat gaun putih gading itu? Meskipun gaunnya indah, namun tubuh Zevana terasa kaku memakainya, seolah kulit asing melekat padanya. Diana dan Miralda kemudian berjalan di depannya dengan anggun, menyapa tamu dengan senyum penuh keangkuhan. Sesekali matanya melirik Zevana seakan menikmati setiap langkah canggung gadis itu. Prabu berdiri di samping Zevana, berusaha menenangan dengan genggaman tangan yang ringan. Namun, sorot mata para tamu jelas penuh tanya. Sebagian berbisik pelan sambil menoleh, sebagian lagi tersenyum sinis. Dan dari kejauhan, Ankala yang mengenakan setelan jas hitam elegan berdiri dengan segelas anggur di tangan, menatap Zevana seolah sedang menilai sesuatu. Ada yang terasa aneh baginya, ketika dia dekat dengan Zevana tadi dia merasakan debaran asing yang anehnya seperti dirindukannya. Wajah itu seperti asing namun tak asing, dan menimbulkan gema samar di sudut ingatannya. Di manakah dia pernah bertemu Zevana? Mengapa rasanya dia pernah berdiri berdekatan dengan wanita itu sebelumnya? Sementara Zevana terus menunduk, berharap malam itu segera berakhir, dia tahu pesta ini bukan perayaan untuknya, namun ini adalah panggung. Dan dirinya adalah boneka yang dipaksa tampil hanya untuk dipertontonkan lalu dipermalukan di depan umum! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD