Ciuman mereka terlepas, meninggalkan keduanya terengah. Napas Rielle memburu, dadanya naik-turun tidak terkendali. Satu tangan Harven masih bertengger di pipinya, membelai lembut seakan enggan melepaskan. Sorot mata Harven begitu tajam, namun hangat, membuat Rielle memilih memalingkan wajah. “Aku mau mandi,” ucapnya cepat, berusaha menguasai diri. Ia hendak berjalan, namun lengannya segera tertahan oleh jemari Harven. “Aku siapkan air hangat. Tubuhmu pasti butuh relaksasi,” suara Harven rendah, lembut, berbeda sekali dari nada kerasnya yang dulu sering menyakiti telinga Rielle. “Aku tahu kamu lelah.” Rielle terdiam sejenak. Ada getaran halus yang menjalar di dadanya karena perhatian itu. Pelan, ia hanya mengangguk. Harven tersenyum samar, lalu menuntun Rielle agar kembali duduk di atas

