8 | Butuh Kepastian

1517 Words
Kamu sadar tidak, sih, kalau aku suka? Sadar, ya? Sadar, kan? Soalnya aku sendiri yakin bahwa perasaanku begitu kentara. . . Apakah ban mobilnya benar-benar diganti? Cely tidak tahan duduk diam menunggu di dalam. Tujuannya ke bengkel, kan, untuk melihat Kak Sakti. Kalau begini sama saja tidak melihat. So, Cely beranjak. Namun, tas selempangnya dia letakkan di sofa, lalu melangkah keluar dari sana. Ini bengkel, bukan panggung catwalk, tetapi langkah Cely begitu anggun dan tentunya memesona. Dia jadi yang paling mencolok di sana. Bagaimana tidak? Semua orang yang ada adalah pria, lalu mereka berpakaian kumal—maaf, ya. Namanya juga kang bengkel, kan? Sedangkan Cely ... beuh! Kinclong mulai dari pakaian hingga ke kulitnya. Wangi pol pula, di tengah aroma oli dan besi. Cely tidak risi, kok. Ini dunianya Kak Sakti, jutru Cely menyukai. Dia pun senyum dan balas say hi kepada para montir yang menyapa, tanpa tahu seseorang di luar sana dapat melihat tingkahnya. Ini Cely tidak sedang tebar pesona, hanya memang dia terkekeh saat mereka yang mendapat balasan sapa darinya langsung blingsatan. Dasar, ya! Ditambah-tambah Cely iseng bilang, "Semangat, ya, Mas-Mas, kerjanya!" Fix, bengkel mobil Sakti heboh seketika. Barulah mereka diam saat terlihat sesosok pak bos berjalan ke arah Cely Daneswara. "Mau pulang?" Itu Sakti yang tanya. "Nggak." Dan Cely geleng-geleng. "Mobilku udah beres memang, Kak?" "Tunggu di dalam." "Aku mau lihat prosesnya." Sakti menghela napas samar, sedang para montir malah bersiul-siul nakal. Mereka pasti paham bahwa Sakti sedang keberatan dengan sosok Cely yang jadi pusat perhatian, alias ditatap oleh nyaris semua laki-laki di bengkel ini. But, Cely tidak memahami hal itu. Tidak tahu-menahu malah. Yang mana dia lalu mengikuti langkah Kak Sakti ke dekat mobil, tetapi tidak begitu dekat. Selepas Kak Sakti masuk dulu ke ruang pribadinya untuk mengambil jaket, lalu meraih kursi. Kak Sakti meletakkan bangku tersebut dan mempersilakan Cely duduk. "Tutupi dengan ini," katanya, meletakkan jaket di pangkuan Cely. Ow, ow, ow ... apa ini, Pemirsa? Sebentuk perhatian, hm? Cely menahan senyuman, dia ganti dengan mengulum bibir. Okay, dia tutupi pahanya yang memang terekspos karena sedang memakai rok mini. Benar-benar habis pemotretan tadi. Kini paha hingga lutut Cely sudah tertutupi. Kak Sakti pun kembali mengotak-atik ban mobil Cely. Diganti sungguhan, ya, ternyata? Cely kurang asem sekali membuat laki-laki itu bekerja pada hal yang semestinya tidak perlu dikerjakan. Eh, lho, tapi cepat sekali. "Udah?" Cely agak mendongak saat Kak Sakti berdiri di depannya. "Cuma ganti ban," balas beliau. Melepas sarung tangan kumal itu. Kumal karena oli, ya! Cely paham, kok. Dan durasi mengganti ban mobil hanya sekitar sepuluh sampai lima belas menitan untuk satu ban. Lain lagi jika empat, bisa jadi sampai satu jam lebih-kurang. Kak Sakti menjelaskan. Cely ber-oh ria. Ya, kalau begini ceritanya ... ketemunya cuma sebentar, dong? "Pulang?" Cely berdiri. Memeluk jaket Kak Sakti. Ditanya begitu, Cely tidak langsung menjawab. Soalnya memang belum ingin pulang, kecuali kalau sama Kak Sakti. Jadi .... "Kakak yang bawa mobilku." Ah, bodoh amat! Namanya juga usaha, kan? Meski taruhannya urat malu. Untungnya, Kak Sakti mengangguk. "Saya ganti pakaian dulu." Dan Cely menyerahkan jaket itu. Debar di d**a sudah pasti tidak keruan sejak kakinya menapaki bengkel ini. Apalagi saat matanya dan mata Kak Sakti bersirobok. Argh! Cely mleyot bisa-bisa. Lekas saja dia alihkan tatapannya. Cely rasa sekarang justru dirinya yang tidak bisa menatap pria itu lebih dari tiga detik. Syukurlah Cely pakai make up. Jika tidak, sudah semerah apa ini wajahnya, ya? Cely pun menunggu di mobil. Namun, tunggu dulu. Ini pintunya terkunci. Cely lantas berjalan mengekori Kak Sakti yang sudah lebih dulu pergi. Mengabaikan sorotan mata para montir terhadapnya dengan sang pemilik bengkel ini. Sampai di dalam ruangan pribadi Kak Sakti, Cely tidak melihat pria itu, tetapi ada suara gemercik air. Oh, orangnya sedang di kamar mandi. Cely pun meraih tas selempang, tetapi tadi kunci mobilnya di mana, ya? Di Kak Sakti kalau tidak salah. Cely tidak membawanya. So, dia menunggu di sini sajakah? Menunggu laki-laki dewasa itu keluar dan ... Cely tertegun. Kembali bersitatap dengan Sakti Adhyaksa. Di mana pria itu baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya agak basah dan wajah yang kini sudah bersih, tampannya berkali-kali lipat di mata Cely hingga dia membeku untuk sepersekian waktu. Masih pakai baju, kok. Kalian jangan berpikiran kumal dulu. Kak Sakti tidak bertelanjang d**a sehingga siklus bernapas Cely masih baik-baik saja walau sempat tertahan arus pertukaran oksigen dan karbondioksidanya. Hanya memang lelaki itu sudah melepas wearpack, pun menggantinya dengan kaus polo warna hitam dan celana panjang. Well, jikalau Kak Sakti adalah obat, sepertinya Cely sudah overdosis. "Kunci mobil aku ...." Putri Mars gugup. "Di Kakak, kan?" *** Dulu .... Katakanlah tahun-tahun lalu. "Udah mau tiga puluh tahun, Sa. Kok, belum keliatan hilal ceweknya?" Di kampung. Sakti menoleh kepada sang kakak yang ketika itu sedang berkunjung ke kediaman orang tua. Kak Bia memang sudah tidak tinggal bersama di sana, beliau semenjak menikah diboyong oleh suaminya. "Nanti kalau sudah ada, Sakti ajak Mbak Bia ke rumahnya." "Widih ...." Tapi, kan, masih 'kalau'. Kalau sudah ada. Artinya, sekarang-sekarang ini masih belum ada. "Kapan itu, Sa?" "Nanti." Mbak Bia berdecak. Ditatapnya Sakti yang sedang mengelap motor kesayangan, baru selesai dicuci tadi. Ini Sakti sedang liburan dari hiruk-pikuk ibu kota yang padat penduduk. Sudah beberapa tahun Sakti tinggal di Jakarta dan membesarkan bengkel yang telah dibangunnya bersama bapak. Untuk ada di titik ini Sakti tidak instan. Jerih payah dan keringat kerja kerasnya disaksikan oleh orang-orang yang dia anggap keluarga. Meski bukan kandung, tetapi mereka adalah sosok-sosok paling berharga. "Ngomong-ngomong, Sa. Kamu, kan, udah bisa dikatakan sukseslah, ya. Itu gimana tujuan kamu? Jangan bilang belum ada hilal cewek karena merasa belum tercapai tujuan utamanya?" Yakni menemui sang mama. Tujuan utama Sakti berambisi sukses besar dan punya usaha adalah beliau; ibu kandungnya. Sakti mau mendatangi kediaman Lazuardhi. Sayangnya, semakin ke sini Sakti justru merasa ... untuk apa? Untuk apa dia mewujudkan tujuan itu? Bila ternyata mama bahkan lebih suka tidak bersamanya. Mama lebih senang tanpanya. Berkali-kali Sakti melihat berita pebisnis dan keluarga Lazuardhi adalah salah satunya. Kadang menampilkan wajah mama dengan senyum bahagia. Jadi, Sakti menjawab, "Tidak juga, Mbak. Soal perempuan, memang belum ada saja. Dan soal tujuan, sepertinya Sakti sudah tidak begitu berminat ke arah sana. Ya, lihat nanti saja." Selalu nanti. Saat itu Sakti masih perlu memantapkan hati, baik soal wanita dan ibu kandungnya. "Afni ada, tuh." Afni yang Mbak Bia sebut adalah sosok perempuan yang paling dekat dengan keluarga ini. Dia gadis yang paling diminati oleh mereka untuk Sakti. "Kalo emang belum ada dan soal tujuan utama terkait mama kamu udah nggak begitu diminati ... cobalah buka hati buat Afni," kata Mbak Bia lagi. Sakti tahu maksud beliau. Di sini, Sakti membuat resah satu keluarga karena mereka mengira Sakti berputus asa terkait wanita. Jadi, mereka menjodoh-jodohkannya dengan perempuan terbaik di kampung halaman. Afni. Nama itu baru saja Cely sebutkan makanya Sakti sekilas mengulas tentang tahun-tahun lalu kehidupannya, tetapi tidak diutarakan kepada Cely. Hanya berputar di ingatan lamanya saja. Oke. Tadi Cely bertanya, "Kak Afni apa kabar?" Sangat tiba-tiba. Sakti pikir Cely sudah lupa dengan sosok tersebut. Kan, waktu berlalu begitu jauh dari masa Cely remaja. Kini putri Bapak Mars sudah berusia dua puluh empat tahun. Dan ... sekadar informasi, ini Cely bertanya karena tidak tahan akan keheningan. Duduk berdua di dalam mobilnya yang Sakti kemudikan. Cely sedang di perjalanan pulang sehabis ganti ban. "Setahu saya kabarnya baik," jawab Sakti. Cely berdebar. "Kalian masih suka ketemu, ya?" "Kalau saya pulang kampung." Jawaban Sakti apa adanya. Kan, rumah Afni dekat. Mau tidak mau jadi bertemu, apalagi Afni memang akrab dengan ibu. Cely menggigit bibir bagian dalamnya. Tak lama. "Kalau chat, kalian suka chat-an?" Apa sajalah Cely bahas, apalagi ini soal wanita masa lalu Kak Sakti. Cely sebut begini karena seingatnya, Afni satu-satunya perempuan 'asing' yang luwes hilir-mudik di dalam rumah orang tua Kak Sakti. Dan rumah tersebut adalah kediaman yang Kak Sakti tinggali sejak lahir. Cely ingat sekali semasa dirinya liburan di sana waktu masih SMP. "Saya nggak tahu ini konteksnya chat-an yang kamu maksud atau bukan, tapi Afni memang beberapa kali suka bertanya kabar." Demikian jawabannya. "Dibales?" Cely bertanya lagi. Sakti mengangguk. Praktis, Cely melengos. Saat itu ... Sakti menoleh. Dia tidak akan bertanya kenapa dan memilih bertanya, "Ada lagi yang mau ditanyakan?" Adapun Cely menekan geraham. Berpikir. Kalimat apa yang tepat untuk meluahkan isi kepala berikut isi hatinya sekarang, juga memberi kode bahwa dia tidak suka Kak Sakti balas-balasan chat dengan wanita lain, sedangkan dengannya sama sekali tidak pernah lagi sejak hari pertemuan tempo lalu. Ya, meski ini terkesan 'siapa lo siapa gue'. Tapi, kan ... kalian paham, dong? Cely tidak suka. "Kalau tidak ada, saya yang mau tanya." Eh? Cely auto menoleh, menatap sumber suara. Wajah Kak Sakti dilihat dari samping tetap tampan, begitu saja Cely salah fokus. "Tanya apa?" Yang mana saat itu berpas-pasan dengan lampu merah, Kak Sakti bicara seraya menatap telaga bening Cely. Singkat kata, mereka berpandangan. Entah ini perasaan Cely saja atau bukan, atmosfernya intim dan menggoda detak di d**a untuk lebih ugal-ugalan daripada sebelumnya. Tatapan Kak Sakti pun agak ... apa, ya? Cely sampai meremang. Katanya, "Kamu sendiri bagaimana dengan Regan?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD