7. Menyesal

1345 Words
“Kalau ada masalah itu diselesaikan baik-baik. Jangan main kabur-kaburan ke rumah. Apalagi sampai ngomong yang enggak-enggak. ” Tutur Ainun. Saat ini, Ainun dan putra sulungnya sedang sarapan bersama di ruang keluarga. Suaminya sudah berangkat kerja, dan putra bungsunya sudah berangkat sekolah. “Kalau Mama ngomong itu didengerin!” Kesal Ainun. Lantaran anaknya hanya diam tak menggubris. Seolah tontonan di televisi itu lebih penting dari pada ucapan mamanya. “Iya.” Sahut Bara cuek. “Jangan buat Mama kepikiran.” “Nggak ada yang nyuruh Mama mikir.” Ainun menghela nafasnya. Berbicara dengan putra sulungnya disaat mood lelaki itu masih buruk, hanya akan membuat tensi darah Ainun naik. “Gimana Mama nggak kepikiran. Adek kamu aja, kamu pukulin sampai babak belur.” Ujar Ainun. Menyinggung insiden pertengkaran kedua putranya dua tahun yang lalu. “Itu karena dia yang keterlaluan.” Sahut Bara cuek. Dua tahun yang lalu. Ketika Bima, Adik Bara masih duduk di bangku kelas satu SMA. Mereka pernah bertengkar hebat, sampai Bima berakhir babak belur. Hal itu terjadi, karena Bara kesal melihat Bima yang setiap hari mengambil uang orang tuanya secara diam-diam. Akibat dari pertengkaran itu, sampai saat ini mereka belum juga berbaikan. Dan berbicara ketika ada perlunya saja. “Sekarang Freya di mana? Di Apartemen sendiri?” tanya Ainun. “Mana Bara tau.” Jawab Bara cuek. “Bar! Jangan buat Mama marah!” geram Ainun. Merasa kesal karena fokus menonton bolanya terganggu. Bara lantas pergi meninggalkan Mamanya yang masih mengomel. *** Sementara itu, Freya yang baru saja sampai di rumah orang tuanya, langsung berjalan masuk dengan langkah gontai. Ia melihat sekeliling rumahnya, dan tidak melihat siapapun di sana. Rumah sangat sepi, padahal ini masih pagi hari. Freya membaringkan tubuhnya di sofa. Kepalanya masih terasa nyeri, bekas tamparan masih terasa sakit, dan badannya juga sangat lemas. Tak lama kemudian, Freya tertidur di sofa dengan tubuh yang meringkuk. “Ya ampun, Freya!” ujar Mega kaget. Saat melihat Freya yang tertidur di sofa dengan tubuh yang meringkuk. Dirinya baru saja selesai olah raga pagi bersama suaminya di taman Komplek. Meskipun usianya tak lagi muda, Mega dan Ayah Freya masih rajin berolah raga sampai sekarang. Karena mereka berdua menerapkan gaya hidup sehat. Berbeda dengan Freya yang lebih memilih tidur dari pada berolah raga. “Kenapa Bun?” sahut Tomi, Ayah Freya. Sembari berjalan menghampiri istrinya. Mega lantas duduk di samping Freya. Kemudian tangannya terulur untuk memegang kening anaknya. “Ya Allah, panas banget.” Ucap Mega sedikit panik. “Loh. Kok bisa ada di sini, princessnya Ayah.” Ujar Tomi. “Mas, tolong ambilin kompres. Badan anak kamu panas banget.” Perintah Mega. Membuat Tomi langsung terkejut. Pria paruh baya itu lantas membungkukkan badannya, untuk mengecek suhu badan Freya. Tanpa berlama-lama lagi, Tomi lantas pergi ke dapur untuk mengambil handuk dan memasak air hangat. Sementara itu, Mega sedang berusaha membangunkan Freya dari tidurnya. “Freya..Frey, bangun Sayang!” ujar Mega. Wanita itu lantas membalikkan tubuh Freya agar terlentang. Dan betapa terkejutnya dia, saat melihat luka memar di pipi Freya. “Adek... hey. Bangun Nak! Ini pipi kamu kenapa?” Freya menggeliat, kemudian membuka matanya yang terasa sangat berat dengan perlahan. “Apa...” lirih Freya dengan suara serak. “Pipi kamu kenapa memar begini?” tanya Mega. Sembari mengusap pipi Freya dengan pelan. Freya tak menjawab. Gadis itu lantas kembali memejamkan matanya, dan menutup wajahnya dengan cardigan yang tadi ia pakai. Tomi meletakkkan satu baskom air hangat dimeja. Kemudian handuknya ia tempelkan di kening Freya yang masih memejamkan mata. “Udah makan, belum?” tanya Mega, yang hanya dibalas dengan gelengan oleh Freya. Melihat wajah Freya yang memucat, Mega dan Tomi semakin khawatir. Apalagi suhu tubuhnya juga sangat panas, dan memar di pipi Freya terlihat sangat jelas. “Makan ya! Bunda belikan bubur.” Tawar Mega. Namun lagi-lagi Freya hanya menggeleng dengan mata yang masih terpejam. “Kenapa memar begini, Dek? Kamu habis jatuh?” tanya Tomi. Seraya mengusap pipi Freya pelan. Mungkin efek dari tamparan Bara kemarin yang terlalu keras, sampai luka memar itu belum juga hilang. Dan efek dari kulit Freya yang sangat putih, sehingga bekas tamparannya terlihat sangat jelas. “Ini mah bukan karena jatuh, Yah! Bunda yakin, ini pasti bekas ditonjok orang. Iya kan?” sahut Mega. “Kamu habis berantem?” tanya Tomi lagi. Namun Freya tetap saja menggeleng. “Terus, ini kenapa pipinya?” tanya Mega. “Bekas ditampar setan.” Lirih Freya. Membuat kedua orang tuanya langsung terkejut. “Jawab jujur, Dek! Siapa yang nampar kamu?” cecar Tomi. “Freya mau tidur dulu, Yah. Badan Freya sakit semua.” Lirih Freya. Ia masih malas menceritakan kronologi yang terjadi semalam. Badannya lemas, dan ia butuh istirahat. Mega lantas mengambil bantal dan selimut di kamarnya untuk Freya. Sedangkan Tomi keluar rumah untuk membeli bubur sekaligus obat. Mereka berdua tidak mau mengganggu anaknya yang sedang butuh istirahat. Meskipun Mega sudah penasaran setengah mati. Ingin tahu, siapa yang berani menampar pipi anaknya sampai jatuh sakit. Selesai menyelimuti tubuh Freya, Mega lantas mencium kening anaknya yang terasa sangat panas. *** Bara menggeram frustasi. Lelaki itu bahkan membanting handphonenya ke lantai, sampai layarnya retak. Saat ini sedang berada di perpustakaan Kampus bersama teman dan juga pacarnya. Sedari tadi, Bara tidak bisa fokus mengerjakan skripsi. Pikirannya hanya tertuju pada Freya, Freya, dan Freya. “Kenapa, Sayang?” tanya Elisa kaget. Wanita itu lantas mengambil handphone Bara yang terpental lumayan jauh. Bara mengusap wajahnya kasar. Hatinya benar-benar tidak tenang memikirkan keadaan Freya. Setelah semalaman merenunginya, Bara akui, ia sangat menyesal. “Ih, sayang banget. Layarnya retak.” Ucap Elisa. “Kenapa Bro? Ada masalah?” tanya teman akrab Bara yang bernama Rifki. Bara hanya diam tak menjawab. Lelaki itu lantas menghembuskan nafasnya kasar, kemudian kembali membuka laptopnya yang sedari tadi ia anggurkan. “Kalau lagi stress jangan dipaksa buat ngerjain, Sayang. Istirahat aja, biar aku yang ngerjain.” Tutur Elisa. Wanita itu memang selalu membantu Bara dalam mengerjakan skripsi. Karena judul yang diambil oleh Bara sangat berat, jadi Bara sering merasa kewalahan. Yah, tidak heran. Karena Elisa memiliki otak yang sangat cerdas. “Tuh. Kurang enak apa coba, punya pacar pinter.” Ujar Rifki. Bara menurut. Lelaki itu lantas memberikan laptopnya pada Elisa. Membiarkan wanita itu mengerjakan skripsinya yang masih stuck di bab tiga. Tak lama kemudian, Teresa dan Mika memasuki perpustakaan. Membuat Bara yang tadinya lemas, langsung menegakkan tubuhnya. Mata Bara bertemu dengan mata Teresa. Keduanya saling melemparkan tatapan tajam yang penuh dengan permusuhan. Teresa masih berdiri di depan rak buku yang dekat dengan tempat duduknya Bara, dengan mata yang terus menatap Bara tajam. Sedangkan Mika sudah pergi entah kemana. “Tere...” panggil seorang lelaki berkacamata, sembari menepuk pundak Teresa pelan. Teresa yang terkejut langsung membalikkan badan, sehingga eye contactnya dengan Bara terputus. “Iya?” sahut Teresa. “Freya nggak masuk?” tanya lelaki yang berwajah Chindo itu. Teresa berpikir sebentar. Sepertinya ini waktu yang pas untuk membuat Bara panas. Ia sangat tahu, bahwa lelaki Chindo di depannya ini sangat menyukai Freya dari awal masuk kuliah. Teresa tersenyum miring. Kemudian ia menatap Bara sebentar, dan kembali berbicara. “Freya sakit. Kalau kamu pengen jenguk, langsung ke rumahnya aja. Tau kan, rumah Freya?” ujar Teresa, sambil sesekali melirik ke arah Bara. Lelaki itu langsung menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Di komplek Altura, kan?” tanyanya. Teresa mengangguk seraya tersenyum manis. Matanya kembali melirik Bara yang sedang meremas botol aqua dengan wajah yang terlihat sangat kesal. “Freya masih suka buah kan?” tanya lelaki itu. “Masih dong. Dia juga masih suka dessert buatan kamu.” Jawab Teresa. Teresa tersenyum puas. Sepertinya niatnya untuk memanasi Bara berhasil. Karena lelaki itu terlihat semakin geram dengan tangan yang terkepal kuat. Lelaki Chindo itu tertawa kecil, “Aku beliin buah dulu. Dessertnya nanti sore aja.” Ucapnya, diakhiri dengan senyuman yang sangat manis. Sampai Teresa meleleh dibuatnya. Setelah lelaki itu pergi. Bara langsung memukul meja dengan keras. Mata tajamnya melirik Teresa sebentar. Kemudian ia langsung berdiri dan berlari keluar. Mengabaikan Elisa yang terus saja berteriak memanggilnya. Ia akan menyusul lelaki itu ke rumah Freya. Tidak peduli, meskipun akan terjadi keributan di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD