6. Kemarahan Bara

1187 Words
Bara menarik tangan Freya dengan kasar. Menyeret wanita itu agar segera keluar dari club. Sesampainya di parkiran, Bara langsung menghempaskan tangan wanita itu. Lalu menatapnya dengan tatapan yang penuh emosi. “Kasih tau aku, Frey. Harus dengan cara apalagi, biar kamu bisa berubah.” Lirih Bara dengan suara yang begitu berat. Terlihat, jika lelaki itu sedang menahan emosinya. “Kenapa kayak gini, Frey? Kenapa harus ke club malam?” Sementara itu, Freya hanya diam sembari memijit kepalanya yang terasa sangat nyeri. Meskipun wanita itu dalam keadaan setengah sadar, tetapi ia masih bisa mendengarkan Bara berbicara. “Kalau kamu mau pulang ke Ayah kamu. Ayo! Aku anterin. Aku udah nggak sanggup ngurus kamu, Frey. Kesabaran ada batasnya." “Apa maksud kamu?” sahut Freya. “Kamu pikir nggak berat, ngurus perempuan nakal kayak kamu?! Kalau bukan karna Ayah kamu yang mohon-mohon biar aku mau nikahin kamu, aku juga nggak bakal sudi nikah sama wanita liar kayak kamu!” murka Bara dengan suara yang mulai meninggi. Dan perkataannya ini, sukses melukai hati Freya. Freya menggelengkan kepalanya pelan dengan mata yang berkaca-kaca. Hatinya benar-benar sakit, mendengar cacian yang keluar dari mulut Bara. “Seharusnya kamu bisa mencontoh Elisa. Perempuan itu harus anggun. Harus bisa menjaga dirinya sendiri. Bukan malah jual diri di club malam! Sekarang kamu tau kan, alasan aku nggak mau komitmen sama kamu? Kamu itu terlalu buruk buat dijadikan pasangan, Frey! Beda sama Elisa.” Lagi-lagi, kata hinaan itu keluar dari mulut kejam Bara. Membuat mulut Freya terbuka sembari tertawa getir. Bukankah kata jual diri itu terlalu kasar untuk diucapkan? Lagi pula, Freya tidak mempunyai niat seperti itu. Ia masih tahu batas wajar. “Kenapa kamu marah, Bar?” tanya Freya lirih. Membuat emosi Bara semakin meluap. “Masih bisa nanya, kenapa aku marah? Kamu itu perempuan, Frey! Kamu punya suami. Seharusnya kamu bisa menghargai suami kamu!” Freya tersenyum getir dengan air mata yang mulai berjatuhan di pipinya. Kemudian tangannya tergerak untuk menyentuh d**a bidang Bara dengan lembut. “Kalau aku bisa menghargai suamiku, apakah suamiku juga bisa menghargai istrinya?” lirih Freya, membuat Bara langsung terdiam. Sementara itu, Freya kembali melanjutkan ucapannya. “Kalau suamiku pengen dihargai, harusnya dia juga bisa menjaga perasaan istrinya. Bukannya selingkuh itu lebih fatal dari pada mabuk-mabukan?” Ujar Freya, diakhiri dengan senyuman sinisnya. Tangan Bara terkepal. Rahangnya mengeras, nafasnya memburu, dan matanya menatap Freya dengan tatapan yang begitu tajam. Sedetik kemudian, Bara langsung menampar pipi Freya dengan keras. Hingga membuat kepala gadis itu sampai terhempas ke samping. Freya langsung terdiam kaku, sembari memegang pipinya yang memerah dan berdenyut nyeri. “f*****g b***h!” umpat Bara. Air mata Freya kembali menetes. Lengkap sudah, penderitannya hari ini. Sudah di hina, di bandingkan, di caci maki, dan sekarang ia di pukul juga. Sungguh, tidak ada kata-kata yang bisa mewakili hati Freya selain “anjing”. Freya menghapus air matanya. Kemudian ia mendongak, menatap Bara yang masih memasang wajah bengisnya. Freya menyunggingkan senyuman sinisnya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan Bara. “Makasih. Mulai sekarang, jangan ngurusin hidup aku lagi.” Ujar Freya. Setelah mengatakan itu, Freya langsung berlari pergi meninggalkan Bara. Air matanya kembali turun dengan deras, dan kepalanya kembali terasa pusing. Bekas tamparan Bara memang sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit. Sementara itu, Bara langsung mengusap kasar rambutnya sembari mengeluarkan u*****n-u*****n kasar. Ia terlalu terbawa emosi, sampai tangan dan mulutnya tidak bisa dikendalikan. “s**t!” umpat Bara. Sementara itu, kedua teman Freya yang sedari tadi menonton pertengkaran mereka. Lantas berjalan mendekati Bara, lalu menampar pipi lelaki itu dengan keras. “b******n!” umpat Teresa, setelah berhasil membalaskan perbuatan lelaki itu pada Freya. Merasa belum puas, Mika ikut menampar pipi lelaki itu dengan keras. Sehingga lengkap sudah, penderitaan pipi Bara. Sebelah kiri ditampar oleh Teresa, dan sebelah kanan ditampat oleh Mika. “Tinggalin temen gue, b*****t!” teriak Mika yang benar-benar murka. *** “Aww. Pelan-pelan, Mik!” ringis Freya. Saat Mika tidak sengaja menekan kompresnya di pipi Freya. Saat ini, Freya dan Teresa berada di Kos milik Mika. Kedua temannya sedang membantu Freya untuk mengobati luka memar di pipinya. Sebenarnya Freya sempat menolak, gadis itu ingin langsung pulang ke rumah orang tuanya. Namun setelah diberi pengertian, pada akhirnya Freya menurut saja. Kedua temannya tidak tega, membiarkan Freya pulang ke rumah orang tuanya dengan keadaan seperti ini. Karena jika Ayahnya mencium bau alkohol di mulut Freya, bisa dipastikan Freya akan semakin babak belur. Maka dari itu, mereka memaksa Freya untuk menenangkan diri di kos Mika terlebih dahulu. “Tahan bentar ya!” ujar Mika, seraya menempelkan kompres handuknya di pipi Freya. “Makanya, lain kali kalau temennya ngomong itu didengerin! Jangan keras kepala, jadi orang! Udah gue bilang, jangan diminum. Eh, malah nambah sampai dua gelas.” Omel Teresa. Menyinggung soal whiskey yang diminum oleh Freya. “Lo tau sendiri kan? Gue kalau stress itu butuh alkohol.” Balas Freya. Sontak saja, Mika langsung menekan kompresnya dengan keras. Membuat Freya menjerit kesakitan. “Awww. Sakit g****k!” pekik Freya. “Obat stress itu ibadah. Bukan mabuk-mabukan!” ujar Mika. Membuat Freya langsung menatapnya tak suka. “Najis. Kayak pernah ibadah aja lo!” ketus Freya. “Sebenernya gue kesel sama lo. Tapi lihat lo ditampar dan dicaci maki sama laki lo, gue jadi kasihan. Lo emang salah, tapi nggak seharusnya laki lo ngomong kayak gitu. Seharusnya dia bisa kontrol ucapannya. Sakit hati gue, lihat lo direndahin kayak gitu.” Ujar Teresa. “Iya. Apalagi sampai main tangan. Itu udah keterlaluan banget! Lo jangan diem aja. Kalau dia kdrt lagi, laporin ke orang tua lo!” sahut Mika. “Iya bestie, iya! Kan tadi udah dibalesin sama kalian, tamparannya.” Ujar Freya. “Tapi, dia emang sering kayak gitu nggak?” tanya Teresa. “Enggak. Baru kali ini, gue lihat dia semarah itu.” Jawab Freya. “Berarti, dia bener-bener kecewa sama lo.” Sahut Mika. “Bodo amat. Gue nggak peduli.” Ujar Freya acuh. Wanita itu lantas membaringkan tubuhnya di kasur, setelah Mika selesai mengkompres pipinya. “Heh. Jangan tidur dulu! Ini, makan dulu sup hangatnya.” Gertak Teresa, saat Freya mulai memejamkan matanya. Freya berdecak kesal. Kemudian ia lantas bangun dan memakan sup hangat yang telah disediakan oleh Teresa. *** Bara membanting pintu rumah orang tuanya dengan kencang. Emosinya belum juga mereda. Padahal ia sudah menghabiskan lima gelas kopi dan satu bungkus coklat. Kopi memang selalu membantu Bara dalam meredakan emosinya. Namun entah mengapa, saat ini minuman itu benar-benar tidak berfungsi. “Loh. Tumben pulang?” tanya Ainun, Ibu Bara. Bara diam tak menjawab. Lelaki itu terus berjalan menuju kamarnya yang sudah lama tidak ia tempati. “BARA!” teriak Ainun, seraya berlari menyusul Bara ke kamarnya. Membuat Bara berdecak kesal. “Kenapa pertanyaan Mama nggak dijawab?” tanya Ainun. “Bara cuma pengen pulang. Kenapa? Nggak boleh emang?” balas Bara sedikit sewot. “Biasa aja kali! Sewot banget sama Mamanya sendiri.” “Mending Mama keluar aja. Bara ngantuk, pengen tidur.” “Mantu Mama mana? Kok nggak diajak?” tanya Ainun lagi. Membuat Bara kembali meradang. “Nggak usah nanya mantu-mantu lagi. Bara nggak suka!” Ketus Bara. Membuat sang Ibu langsung melotot kaget.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD