BAB 4 - GIVE ME LOVE

1703 Words
“Hoi...” “Anjir...” “b*****t!” Dathan terbahak terpingkal-pingkal. Adel dan Lyn kembali mengumpat kesal pada lelaki sialan yang selalu datang tak terduga tersebut. Seperti hantu saja. Tiba-tiba berada di depan mereka. “b******k banget lo jadi laki!” Lyn menggeram. “Liat nih Riva. Tenang, nggak pecicilan kayak lo. Sekali-kali belajar sama Riva biar tahu gimana jadi cowok. Dasar jadi-jadian!” Riva menunduk. Drama seperti itu bukan kali pertama terlihat di depannya. Jika mereka bertiga bertemu, terutama Lyn dan Dathan. Maka bersiap-siaplah menambah stok kesabaran agar tidak syok. “k*****t. Dasar cewek sinting!” Dathan menjawab. Adel berdecak. “Jangan bawa urusan dapur ke kampus. Di sini mau belajar, bukan berantem karena garam udah habis.” Ucapnya sinis. “Kalian soulmate paling kece yang pernah gue lihat!” Dathan berdecak sembari menggelengkan kepala. “Eh...” Tiba-tiba saja dirinya terlihat serius sebelum kedua gadis itu mulai menyela. “Masya Allah... Itu cewek pake kerudung bening banget. Keliatan adem.” Ucapnya takjub. Lyn dan Adel mengikuti arah pandangan Dathan. Seorang gadis berjalan bersama kedua temannya. Gadis yang mengenakan kerudung berwarna biru dongker. Senada dengan rok yang dikenakannya. Kemeja kedodoran berwarna merah jambu soft. Senyum lebar terpantri di wajah ayu gadis tersebut. Mereka terlihat sedang berbincang dan tergelak bebas. “Gila... Gue jatuh cinta.” Ucapnya dramatis. Lyn dan Adel kembali menoleh pada lelaki tersebut. “Lebay. Playboy mata keranjang.” Ucap mereka bersamaan. Dathan tergelak, lalu memandang Riva yang mengikuti mereka memandang gadis tersebut. “Riva... Lo jujur sama gua. Itu cewek cantik apa kaga? Jujur. Adel lupain dulu!” Riva memandang majikannya. Adel mencebik lalu memutar bola mata. Lelaki itu mengangguk pelan. Menyetujui perkataan Dathan. “Nah... Nah... Liat nih.” Dathan tersenyum lebar. “Riva aja bilang kalau cewek itu cantik, adem, perfect abis. Pacar idaman. Bukan... Calon istri idaman.” “Lo hoax, Dath. Nggak pernah setia sama satu cewek. Jadi nggak perlu ceramah deh.” Jawab Lyn meremehkan. Dathan kembali berdecak. Memandang Lyn dan Adel. “Panas. Gerah banget. Banyak dosa.” Lalu beralih memandang ketiga gadis tadi. Merasa begitu lega. “Adem... Panasnya langsung hilang. Masya Allah...” “Lebay.” Jawab Adel kesal. Bukannya marah atau membalas. Dathan kembali melirik kedua gadis tersebut. Mengatakan kedua gadis itu terasa panas dan menyakiti mata. Lalu kembali melirik ketiga gadis itu. Memuji dan tampak senang sekali. “Dathan... Mending lo pergi deh. Jangan ganggu kita. Lo urus tuh cewek-cewek gak jelas lo.” Kata Lyn. Dathan kembali tergelak. “Ngomong-omong, gue masih ganteng, kan?” Tanyanya mengernyit. “Lo itu cowok terjelek, terudik, ternorak, terngeselin dan semua ter ter lainnya.” Jawab Lyn antusias Adel mengangguk setuju dengan gadis tersebut. “Gantengan mana sama Riva?” “Riva lah...” Jawab mereka berdua kompak. Dathan berdecak, melirik Riva yang sedang menunduk. Kedua bibirnya berkedut menahan senyum. Dathan selalu menjadi bahan bulan-bulanan mereka berdua. “Ck!! Kalau Adel yang bilang begitu, gue setuju. Tapi kalau Lyn, ya nggak lah. Dalam hati lo gantengan gue pasti.” Ucapnya narsis. “Pede lo, k*****t!” Dathan meringis dramatis. “Gue pergi dulu ya. Del, doain gue biar sukses pedekatenya.” Adel memutar bola mata. Sedangkan pada Lyn, Dathan mengacak rambutnya sehingga berantakan. “Dathaaaaaannnn....” Lyn berteriak kesal. Namun lelaki itu kembali terbahak tanpa menoleh ke belakang. Melambaikan tangan dan mulai mendekati ketiga gadis tersebut. “Udah deh. Nggak perlu cemburu.” Adel menggoda gadis galak di sampingnya. Lyn kembali berdecak semakin kesal sembari merapikan rambutnya. Namun kedua matanya melirik Dathan yang sedang bercengkerama dengan ketiga gadis tersebut. Lyn yakin jika Dathan tengah mengeluarkan jurus playboy cap cicaknya. Terlihat gadis itu tengah bersemu. Dasar k*****t memang. “Jangan diliatin, tar mata lo juling.” Adel kembali bersuara. “Diam deh. Kalau lo suka bilang langsung ke orangnya. Jangan nyinyir mulu.” Jawab Lyn kesal. Adel tergelak. Lalu menyerahkan beberapa buku pada Riva di belakang mereka. Lelaki itu menerima dengan sopan. “Ayo masuk.” Ajak Adel kemudian. “Nih. Bawa sebagian.” Lyn memberikan pada Riva beberapa buku lagi sehingga tangan lelaki itu kepenuhan buku. Adel terkikik geli melihat Lyn. “Eh, jangan nyuruh-nyuruh asisten gue dong. Cari asisten sana kalau buku lo mau di bawain.” Protesnya. “Nggak apa-apa, mbak.” Riva menjawab dari belakang. Adel mengernyit, memandang curiga pada asistennya. “Suka? Bilang langsung ke orangnya. Jangan sok cari perhatian!” Riva jadi serba salah. Dia pun akhirnya diam dan menundukkan kepala. Membiarkan kedua gadis angkuh itu mempora-porandakan harinya. “Cemburu, mbak? Bilang dong.” Lyn mengejek tidak mau kalah. Adel memutar bola mata jengah. Lalu kembali menelusuri koridor kampus dengan Lyn di samping dan Riva di belakang mereka. *** Bosan!! Long weekend. Kelas tidak ada. Job pun di cancel semua. Lyn sedang ada acara keluarga. Adel mendesah panjang, membutuhkan suasana baru. “Riva?” “Iya, mbak.” Riva menoleh pada Adel yang tampak kusut di sofa. Dari pagi belum mandi, hanya tiduran sembari mengutak-atik saluran televisi. Sesekali sibuk berselancar di dunia maya. Namun akhirnya jenuh juga. Riva sedang sibuk dengan tugasnya, tidak jauh dari tempat Adel bermalas-malasan. “Gue bosan!” Riva tersenyum tipis. Tumben sekali gadis itu tidak mengamuk. Dia mirip seperti kucing rumahan. Menggemaskan! “Pikirin apa yang bikin mood gue membaik. Hitungan sepuluh harus ada!” Sialan. Baru saja Riva memuji dalam hati. Namun sekarang telah kembali menyebalkan. “Saya...” “Tiga...” “Mbak...” “Lima...” “Saya tidak...” “Sepuluh...” Adel selesai menghitung. “Lo ya... Lama banget. Apa??” Tanya Adel menggeram. “Nggak tau, mbak.” “Sini lo.” Adel duduk bersila. Riva beranjak dari kursinya. Mendekat dan berdiri di depan majikannya. Adel menyipit, memandang wajah Riva dengan serius, sehingga lelaki itu salah tingkah. “Gue harus apain ya muka lo? Kali aja gue bisa seneng.” Riva terkejut. Ngeri pada majikannya yang sengklek. “Pencet jerawat kali yak?” “Saya tidak punya jerawat, mbak.” Adel membenarkan. Manggut-manggut sembari memperhatikan wajah Riva lagi. “Pake apa lo? Kenapa jerawat lo nggak ada?” “Nggak pake apa-apa, mbak.” Riva tersenyum tipis. Adel berdecak setelah memutar bola mata. Beberapa saat kemudian Adel menjentikkan jari dan tersenyum sumringah. “Main kartu. Ayo main kartu.” Ajaknya. Riva terkejut. Memandang tidak percaya pada majikannya. Sejak kapan mereka sok akrab begitu? “Mbak?” “Cepat. Beli kartu sana.” Suruh Adel galak. Riva mengangguk. Bergegas keluar apartement untuk mencari kartu seperti permintaan majikannya. Adel tersenyum puas. Berbagai macam pikiran menghiasi otak jahilnya. Lihat saja nanti. Beberapa saat kemudian, Adel menoleh pada pintu. Menemukan Riva masuk ke apartemennya. Adel menyuruhnya mendekat. Mereka duduk di lantai. Riva semakin bingung. Meski begitu. Dia tetap menurut apa kemauan majikannya. “Duduk sini!” Riva mengangguk. Duduk dekat di samping Adel. Tepat di depannya. Adel meraih kartu remi dari tangan Riva. “Kalau kalah coret pake lipstik ya.” Kata Adel serius. “Mbak?” “Diam aja! Pokoknya ikutin permainan gue.” Riva mengangguk. Memperhatikan Adel membagikan kartu untuk mereka.  Riva mengikuti permainannya. Adel tampak serius sehingga gadis itu sering mengomelinya. Riva tersenyum tipis. “Sini muka lo!” Riva mengernyit. Begitu serius sehingga Adel mengalahkannya. Adel berdecak sembari mendekat. Membuka lipstik lalu mencoret muka lelaki tersebut. Riva hendak menjauh, tetapi Adel menahannya. “Kalau kalah kudu coret!” Kata Adel. “Nih.” Lalu menyuruh Riva mengocok kartunya. Riva mengangguk, mengikuti perintah majikannya. Tampak Adel puas dengan kemenangannya. Biar saja. Yang penting Adel senang. “Kalah lagi lo.” Adel memyeringai. “Sini muka lo.” Gadis itu mencoret dari telinga kiri melewati hidung hingga ke telinga kanan. Adel tergelak. Riva terlihat sangat berbeda dari biasanya. Adel membuka kacamatanya. “Lo minus atau cuma gayaan aja sih?” Tanyanya mengernyit. Riva salah tingkah. Adel semakin bersikukuh. “Kaca mata buat pelindung mata, mbak.” “Ck! Dasar ya.” Adel menggeleng. “Ayo lagi!” Riva mengangguk. Kembali membagikan kartu untuk mereka. Adel kembali antusias untuk mengalahkan riva. Mencoret semua wajah lelaki tersebut. “Heh... Belum. Gue belum!” Adel berdecak. “Ulang. Lo salah.” “Mbak kan udah. Sekarang giliran saya.” Kata Riva polos. “Ulangi. Lo mainnya licik. Nggak bener.” Adel mengaduk-aduk semua kartu. Jelas saja dia bermain licik. Dia tidak mau wajahnya dicoret. Adel ingin menang hingga permainan selesai. “Mbak...” “Ulangi!!!” Dalam diam, Adel menyeringai licik. Biarkan saja. Siapa suruh berurusan dengan Adel. “Ulangi!!” Adel kembali protes untuk kesekian kalinya. Sehingga Riva mulai berdecak. “Mbak salah melulu dari tadi. Ini kan sudah pas giliran saya.” Kata Riva memprotes. “Tadi lo salah!” “Kali ini bener ya, mbak.” Adel berdehem malas. Riva kembali membagikan kartu. Memainkan sebenar-benar mungkin sehingga Adel kalah telak, tidak bisa meliciki Riva lagi. Sialan! “Mbak, kalah.” Kata Riva pelan. Adel mendengkus. Memberikan wajahnya mendekap pada Riva. “Jangan banyak-banyak. Satu garis cukup!” Riva mengangguk, memegang erat lipstik di tangannya lalu mencoret wajah majikannya. Seperti perintah Adel. Hanya sedikit dan jangan banyak-banyak. “Sudah, mbak.” Ucapnya. Adel meraih cermin, memeriksa wajahnya. Menatap tajam pada Riva. Gadis itu melihat garis lurus sepanjang lima centimeter di pipinya. Tidak sebanyak di wajah Riva. Wajah lelaki itu penuh dengan coretan lipstik. Adel memang sangat kejam. Adel menyusun kartu. Lalu membagikan lagi pada keduanya. Kali ini dia benar-benar serius. Sesekali modus, sengaja bergerak untuk mengintip kartu lelaki tersebut. Riva tentu saja mengetahuinya. Menjauhkan dari jangkauan majikannya sehingga Adel tidak bisa mengintip lagi. “Gue haus. Ambilin minum.” Riva mengangguk. Membawa kartunya lalu berdiri. “Kartu lo taro sini.” Kata Adel. Riva kembali menurut. Meletakkan di samping tempat duduknya. Buru-buru ke dapur untuk mengambil air minum untuk majikannya. Riva kembali dengan gelas di tangannya. Memberikan pada Adel yang sedang mengecek handphonennya. “Giliran lo.” Kata Adel setelah meneguk air minumnya. Riva melirik Adel. Kartunya berubah drastis. Huh, tanpa dijelaskan lagi. Riva tahu jika Adel telah memgganti semuanya. “Lo kalah. Sini muka lo...” Adel senang bukan main. Meletakkan semua kartunya dan meraih lipstik. “Mbak...” Riva menjauhkan wajahnya. Mencekal tangan Adel sehingga vadis itu tidak bisa mencoretnya. “Riva... Lo kalah!” Kukuhnya. “Mbak mengganti semua kartu saya.” Elak Riva. “Nggak. Emang lo punya bukti?” “Saya masih ingat semua dengan kartu-kartu saya sebelumnya.” “Nggak! Gue nggak nukar kartu lo.” Kata Adel semakin menjadi. Namun tetap saja Riva tidak mau mengalah sehingga Adel kesal. “Muka lo sini, b*****t!!” Adel menerjangnya. Sehingga Riva tidak bisa menahannya lagi. Tangannya tetap mencekal kedua tangan majikannya agar menjauh darinya. Adel tetap tidak mau mengalah. Dia harus mencoret wajah Riva bagaimana pun caranya. “Kakak...” Adel tersadar. Menoleh pada pintu dan menemukan Lola dan Azka berdiri di sana. Adel langsung bangun. Menjauh dari riva yang salah tingkah. Berdehem lalu menundukkan kepala. Meraih kaca mata kemudian mengenakannya. “Kakak... Muka kakak lucu banget.” Lola mulai heboh. “Sini, kak, Lola fotoin dulu.” Lola meraih handphonenya lalu membidik foto Riva yang tidak siap di foto. “Jangan, La.” Kata Azka. “Sekali aja. Muka kakak lucu banget. Berdua yuk fotonya.” Kata Lola semakin menjadi-jadi. Mendekat lalu membuat pose alay. “Lola... Udah.” Lola cemberut dan menyuimpan handphonenya. “Ngapain ke sini?” Tanya Adel jutek.  Riva buru-buru pamit kembali ke apartemennya, tetapi Lola ingin ikut. “Kak ikut... Nanti foto lagi ya.” “Lola... Duduk sini!” Azka melarang. Sehingga gadis itu kembali cemberut dan menurut. Duduk di samping Azka. “Possessif amat?” Goda Adel. Azka mendengkus lalu membuang pandangan. “La, di apartemen Riva ada makanan. Minta gih, gue lapar.” Suruh Adel menyeringai. “Iya, kak.” Lola hendak berdiri. Tetapi Azka mencekal tangannya. Sehingga gadis itu mengerutkan dahi. “Duduk sini!” Lalu remaja itu berdiri dan keluar. Adel tergelak. Berbaring di sofa sembari menelenggelamkan wajahnya di bantal. “Kenapa, kak?” Tanya Lola mengernyit. “Ada yang cemburu.” Ucapnya. “Siapa, kak?” Adel memutar bola mata. Membuat Lola semakin bingung. Wajar saja Azka terus-terusan kesal jika ada cowok lain yang dekat dengan Lola. Gadis itu menganggap semua orang sama. Sama-sama polos seperti dirinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD