10. Hampir saja

1505 Words
"Ayo, turun." Aldric mengajak Khavi untuk melanjutkan langkah mereka namun Khavi menahan lengan Aldric. Khavi memberi isyarat pada Aldric untuk kembali ke kamarnya melalui gerakan matanya. Aldric mengerutkan alisnya namun pria itu mengikuti langkah Khavi. Khavi sendiri mengurungkan niat mereka untuk turun setelah mendengar percakapan yang sedang terjadi di ruang keluarga rumah keluarganya itu. Khavi mengajak Aldric kembali ke kamarnya dan keduanya memutuskan untuk menunggu sambil bermain game console di dalam kamar mereka. "Kenapa malah balik naik lagi? Elo enggak mau gabung? Elo udah kenal si Rafael?" Aldric bertanya dengan nada penasaran. Khavi yang sedang menyalakan kembali game console miliknya pun menganggukkan kepalanya, "Biarin Papa sama Mama kenalan sama si Rafael. Gue rasa pilihan Una kali ini oke juga." Aldric diam sementara Khavi melangkahkan kakinya mendekati Aldric dan Khavi duduk di sebelah Aldric. Keduanya duduk di lantai beralaskan karpet itu dan bersandar pada tempat tidur Aldric. Keduanya main selama beberapa saat hingga Aldric memutuskan pamit pulang karena sudah malam. Khavi mengantar Aldric turun dan di ruang keluarganya masih ada Raffael yang sedang berbincang dengan kedua orang tuanya. Aldric pamit pada kedua orang tua Khavi dan Launa yang ada di sana. Khavi mengantar Aldric hingga sampai di depan mobil milik Aldric. Aldric masuk ke dalam mobilnya dengan kepala yang mendadak penuh. Ucapan yang Aldric dengar tadi seakan berputar di dalam kepalanya bak kaset kusut. Ada perasaan kesal yang perlahan tapi pasti muncul dalam diri Aldric saat Khavi mengajaknya kembali ke kamar. Aldric semakin kesal ketika saat ia dan Khavi turun untuk pamit pulang Khavi melihat Rafael sedang tertawa bersama dengan kedua orang tua Launa. Apa mungkin Rafael berhasil mendapatkan izin dari kedua orang tua Launa? Sejauh apa hubungan Launa dengan Rafael sebenarnya? Pertanyaan itu muncul di benak Rafael membuat pria itu. Diam di dalam mobilnya. Ia tidak melakukan apapun karena pria itu masih sibuk dengan isi kepalanya sendiri hingga dari dalam mobilnya Aldric melihat Rafael dan Launa sudah berdiri di samping mobil yang terparkir tepat di depan mobil Aldric. Dari dalam mobilnya Aldric memperhatikan interaksi Rafael dan Launa. "Maaf sudah membuat suasana tadi menjadi canggung." Rafael menjeda ucapannya sambil menatap Launa, "Aku hanya ingin meminta izin kedua orang tua kamu untuk mendekati kamu. Aku bener-bener serius dengan apa yang aku bilang waktu itu, Na..." Launa menghela nafas perlahan. Rafael memang pernah menyatakan perasaannya pada Launa dan Launa sendiri sudah menjawabnya. Namun Rafael tidak mau menyerah. "Kasih izin aku buat deketin kamu, Na..." Launa menghela nafas panjang, "Tapi, Raf..." Rafael mengambil tangan Launa dan mengenggamnya erat, "Besok aku jemput ya, Na... Kita coba dulu. Kasih kesempatan buat aku ya, Na..." Aldric melihat interaksi Launa dan Rafael dari dalam mobil. Tangan pria itu yang sedang memegang kemudi mobil pun spontan mengerat saat melihat anggukan Launa atas pertanyaan yang diajukan oleh Rafael. Walau samar-samar namun Aldric masih bisa mendengar perrcakapan keduanya dan saat Rafael sudah pergi meninggalkan rumah Launa, Aldric pun spontan keluar dari dalam mobilnya dan memanggil Launa. Launa yang hendak kembali masuk ke dalam rumah pun menghentikan langkahnya, "Lho, Mas Aldric belum pulang." Aldric menutup pintu mobilnya dan menggelengkan kepalanya, "La, temenin Mas makan yuk... Masih laper nih..." Launa merotasi bola matanya, "Aku pake baju ngasal begini mau diajak keluar rumah? Ogah ah... Nanti orang mikir Mas Aldric ajak pembantunya." Aldric tertawa lepas mendengar ucapan Launa, "Ngaco aja orang yang mikir begitu. Masa cewek cantik begini dibilang pembantu. Udah ayo jalan Mas laper ini..." "Aku belum izin..." "Nanti Mas yang akan telepon ke Mama kamu dan minta izin. Ayo..." Aldric memberi isyarat pada Launa untuk segera naik dan Launa dengan patuh melakukan apa yang Aldric ucapkan. Aldric memenuhi janjinya meminta izin pada Emily dan pria itu mengajak Launa untuk pergi ke penjual nasi goreng tek-tek yang menjadi langganannya dan Khavi selama ini. Aldric dan Launa akhirnya makan bersama di dalam mobil Aldric. "Kamu sama Rafael..." Aldric berbicara dengan nada ragu, "Kalian pacaran?" Pertanyaan Aldric berhasil membuat Launa menghentikan kegiatannya. Tangan Launa yang hendak menyuapkan nasi goreng ke mulutnya sendiri pun terhenti. Launa menatap Aldric dan menggelengkan kepalanya, "Enggak. Rafael memang sudah bilang suka sama aku tapi aku tolak." Ada perasaan lega yang langsung Aldric rasakan setelah mendengar jawaban Launa namun kelegaan itu masih belum terasa sempurna. Aldric memilih memusatkan perhatiannya pada Launa, "Kenapa kamu tolak?" "Alasannya rahasia." Launa mengalihkan tatapannya kembali ke arah nasi goreng miliknya, "Aku enggak bisa bilang sama Mas alasannya." Launa pun kembali melanjutkan kegiatannya menyendok kembali nasi goreng di piringnya dan memakannya. Sementara itu di sisi Launa, Aldric hanya mengangguk perlahan sebagai respon. Keheningan melingkupi keduanya selama beberapa saat sebelum Launa kembali buka suara, "Rafa minta dikasih kesempatan. Dia bilang dia akan berusaha bikin aku suka sama dia-" "Jangan kasih!" Launa terdiam kaget mendengar ucapan Aldric. "Ke-kenapa jangan dikasih, Mas?" Jantung Aldric mendadak berpacu sangat cepat. Isi kepala Aldric ramai namun mulutnya mendadak kaku. Apa yang Aldric ucapkan barusan adalah sebuah spontanitas yang pria itu sendiri pun kaget. Mulutnya seakan berkhianat dan berada diluar kendalinya. "Mas..." Launa menatap Aldric dengan tatapan bingung. Wanita itu mengerutkan alisnya karena Aldric hanya diam menatapnya tidak menjawab pertanyaannya. Launa mulai mengerutkan alisnya semakin dalam, "Kenapa jangan dikasih?" *** "Maaf, apa saya membangunkan kamu?" Khavi spontan mundur menjauh ketika melihat mata Febby terbuka. Sementara itu di tempat tidurnya, Febby berusaha bergerak dan Khavi spontan mendekat berusaha membantu namun Febby menolak, "Saya bisa sendiri. Saya hanya ingin ke toilet." Khavi kembali menjaga jarak sambil menganggukkan kepalanya. Khavi membiarkan Febby bergerak sendiri perlahan sambil memperhatikan wanita itu dengan seksama, "Kenapa kamu sendirian di rumah sakit? Kemana pria yang tadi sore menjaga kamu?" Febby yang sudah berdiri dari tempat tidur sambil berpegangan pada tiang infus yang menggantung kantung infusnya pun menghentikan langkahnya dan menatap pria yang ada di dalam kamar rawat inapnya, "Bukan urusan anda. Kenapa anda bisa ada di ruangan rawat inap saya?" Khavi menghela nafas panjang, "Ada pasien darurat tadi jadi saya datang ke rumah sakit dan sengaja mampir. Tadi saya belum sempat menyapa kamu jadi saya-" "Terlalu malam untuk menjenguk. Silahkan anda pulang." Febby berucap sambil masuk ke dalam toilet dan wanita itu menutup pintu toilet. Khavi yang masih berdiri ditempatnya pun menghela nafas panjang. Febby benar-benar sudah berubah. Febby yang ada dalam ingatan Khavi pasti akan bersorak dengan ekspresi lebay karena apa yang Khavi lakukan saat ini namun sayangnya saat ini Febby yang ia tau di masa lalu sudah pergi entah kemana digantikan dengan Febby yang saat ini sedang di rawat di rumah sakit. "Kenapa anda belum pergi juga? Terima kasih sudah mampir. Anda bisa pergi saja." Khavi tersadar dari lamunannya dan berusaha membantu Febby melangkah namun Febby kembali menolak. Khavi pun menghela nafas pendek dan menatap Febby yang perlahan kembali melangkah menuju ranjang rawat inapnya lalu wanita itu perlahan duduk di ranjang rawat inapnya dan merebahkan dirinya memunggungi Khavi. Khavi menghela nafas panjang, "Saya tidak menyangka kamu akan bersikap sedingin ini. Saya benar-benar minta maaf atas apa yang saya ucapkan di masa lalu. Sekarang saya hanya bermaksud ingin berteman baik. Saya harap kita bisa berteman baik setelah ini." Tidak ada jawaban apapun dari Febby dan Khavi pun kembali menghela nafas panjang. Khavi pun melangkahkan kakinya pergi meninggalkan ruang rawat inap Febby. Khavi melangkahkan kakinya menuju lift namun saat lift terbuka Khavi malah bertemu dengan Cindy. "Lho, kamu..." "Lho... Kak Khavi... Kok Kakak..." Cindy menjeda kalimatnya beberapa detik, "Apa kakak kerja di rumah sakit ini atau kakak-" "Saya kerja di rumah sakit ini." Khavi menjawab sambil masuk ke dalam lift, "Apa yang kamu lakukan di rumah sakit ini?" "Kakak aku akan melahirkan di rumah sakit ini, Kak. Kondisinya sekarang masih menunggu pembukaannya sempurna. Aku mau turun beli kopi karena aku ikut menunggu. Kakak baru selesai visite pasien?" Khavi menggelengkan kepalanya, "Saya baru saja menjenguk Febby. Febby dirawat di rumah sakit ini dan kami bekerja di rumah sakit ini." Cindy menatap Khavi dengan ekspresi kaget. "Fe-febby di rumah sakit ini? Kakak sudah bertemu dengan Febby?" Khavi menganggukkan kepalanya, "Iya, kami sudah bertemu. Pertemuan pertama kami saat di reuni sekolah kemarin dan siapa sangka kami kembali bertemu karena bekerja di rumah sakit yang sama. Ternyata yang kamu bilang waktu itu benar, saat ini Febby sudah bertunangan..." "Apa Febby kembali mengejar-ngejar kakak seperti dulu? Dulu aku tiap hari menasehatinya untuk menghentikan rencananya. Apa sekarang aku perlu bertemu dengan Febby dan menasehatinya untuk menjaga sikapnya agar menjauhi kakak seperti dulu? Febby perempuan harusnya bisa menahan diri menunggu kalau kakak memang mau mendekat kalau tidak mau jangan memaksa mengejar. Aku bisa membantu kakak mencoba bicara pada Febby seperti waktu sekolah dulu..." Khavi menggelengkan kepalanya, "Tidak perlu. Febby sudah berubah, Cin. Dia tidak lagi sama dengan Febby sewaktu SMA dulu. Apa yang kamu bilang benar. Febby sudah berubah." Cindy memasang ekspresi kaget dan Khavi menyadari itu. Khavi tersenyum tipis, "Sepertinya kamu kaget dengan apa yang saya ucapkan barusan, Cindy. Saya mengerti. Awalnya saya juga kaget dengan perubahan Febby tapi tidak ada yang tidak mungkin mengingat sudah lama kita tidak pernah bertemu. Apapun bisa terjadi, Cin." Cindy tersenyum menganggukkan kepalanya cepat dan ketika lift terbuka Khavi dan Cindy sama-sama keluar dari dalam lift. Khavi memutar tubuhnya menatap Cindy, "Besok kamu mau menjenguk Febby sama-sama?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD