Dari belakang, tampak Rain yang baru saja turun dari tangga beranda melihat Dakota yang sedang duduk menyandar di atas rumput halaman sambil menggambar.
Rain melangkah mendekatinya karena dia mengenal Dakota. Dia melihat apa yang digambar oleh Dakota.
“Gambar yang sangat indah,” ucap Rain di belakang Dakota.
Dakota terkejut dan mendongak ke atas. Wanita itu mengerutkan keningnya.
“Boleh kuminta gambar itu? Sungguh, itu sangat indah.” Rain tersenyum ramah.
Dakota terdiam sesaat, lalu menyobek kertas itu dari bagian bukunya dan menyerahkannya pada Rain.
Dia suka jika ada yang mengapresiasi hasil karyanya.
“Terima kasih. Masuklah ke dalam. Ibumu menunggumu di dalam,” kata Rain.
Dakota mengangguk dan berdiri lalu memasukkan buku sketsa dan pensilnya ke dalam mobil.
Kemudian dia berjalan ke arah tangga beranda tanpa mengatakan apa pun pada Rain.
Rain memandang wanita cantik yang terlihat tak pernah bersahabat itu meskipun dia sudah bersikap ramah padanya.
*
*
Ruangan tamu di mansion itu terasa begitu megah, dihiasi dengan ornamen klasik dan jendela besar yang memperlihatkan taman hijau di luar.
Dakota duduk di sofa berlapis kain beludru, menggenggam cangkir teh hangat yang disediakan oleh pelayan.
Pikirannya melayang, sambil menunggu ibunya, Lindsey, yang sepertinya masih membereskan barangnya setelah melatih gym sang pemilik mansion.
Rain, seorang pria tampan dan matang dengan aura percaya diri dan senyuman hangat, duduk di kursi seberang Dakota.
Tatapan matanya selalu tertuju pada gadis cantik blasteran Jepang-Amerika itu.
Rambut indah panjang Dakota digelung asal-asalan namun tak membuat kecantikannya memudar.
Dan mata birunya seperti menyimpan cerita yang belum dia ketahui dan mungkin akan selalu menjadi misteri.
“Jadi, apa yang biasanya kau lakukan di waktu luang?” tanya Rain, membuka percakapan.
Dakota mengangkat bahu, meletakkan cangkir teh di meja di depannya. “Tidak banyak. Aku suka melukis, tapi ... tidak ada yang benar-benar mendukungku untuk itu.”
Rain mengernyit. “Why? Bukankah melukis sebuah pekerjaan dan hobi yang menyenangkan?”
Dakota terdiam sejenak dan jarang ada orang yang menanyakan tentang hal ini padanya.
Biasanya orang-orang atau terlebih para pria lebih suka berbasa basi dan bertanya hal yang tak penting padanya.
“Karena menurut ibuku, melukis bukan karier yang menjanjikan. Dia ingin aku fokus pada sesuatu yang lebih ... realistis, seperti bisnis atau hukum.” Ada kegetiran yang tidak bisa Dakota sembunyikan dalam suaranya.
Dan entah mengapa dia membicarakan ini dengan Rain, pria yang baru saja dikenalnya.
Rain memperhatikan Dakota dengan seksama. Ia bisa melihat semangat dalam diri wanita itu yang terpendam, seperti api kecil yang hampir padam karena kurangnya dukungan.
Dan dia senang karena bisa mengobrol sedikit panjang dengan wanita ketus itu.
“Kalau begitu …,” ujar Rain setelah beberapa saat berpikir, “kenapa kau tidak melukis untukku saja? Anggap saja ini pekerjaan pertamamu sebagai pelukis profesional. Aku bisa melihat betapa bagusnya lukisanmu tadi, dan tak seperti amatir sama sekali.”
Dakota memandangnya dengan alis terangkat. “Apa maksudmu?”
Rain menyandarkan tubuhnya ke kursi, menyilangkan kaki, dan memasang senyum penuh arti. “Aku punya perpustakaan kecil di tempat tinggalku. Dindingnya kosong dan kurasa butuh sentuhan seni. Aku sudah lama ingin memperindah ruangan itu, dan sepertinya kau adalah orang yang tepat untuk melakukannya.”
Dakota menatap Rain dengan ragu. “Kau serius? Aku … tak punya pengalaman melukis untuk seseroang sebelumnya. Aku hanya melukis untuk diriku sendiri.”
“Tentu saja. Semua pekerjaan diawali dengan sebuah proyek pertama. Benar, kan?,” jawab Rain mantap. “Aku tidak hanya ingin memberimu pekerjaan pertama, tapi juga kesempatan untuk menunjukkan bakatmu. Kau bisa melukis apa pun yang kau mau di sana, asalkan itu terlihat indah dipandang jika aku sedang membaca buku di sana.”
Dakota terdiam, mencerna kata-kata Rain. Tawaran itu menggiurkan, tetapi dia tahu bahwa menerima tawaran itu berarti menantang kehendak ibunya, yang selalu memandang rendah kemampuannya.
Namun, bukankah ini adalah kesempatan yang selama ini dia tunggu?
“Kurasa itu ide yang bagus. Baiklah, aku mau,” kata Dakota akhirnya, sebuah senyuman tipis yang sangat langka akhirnya muncul di wajah cantiknya.
‘Damn!! She’s so beautiful,’ batin Rain ketika melihat senyuman langka itu.
Rain kemudian tersenyum juga. “Bagus! Kita bisa mulai kapan saja kau siap. Berapa lama kau butuh untuk menyelesaikannya? Tapi aku tak ingin kau terburu-buru agar hasilnya maksimal.” Rain berusaha tetap tenang dan tak terlalu semangat agar Dakota merasa tetap nyaman.
“Aku belum tahu. Aku bahkan belum melihat perpustakaannya.”
Rain tertawa kecil. “Baiklah, jika kau tak sibuk nanti malam, kau bisa mengunjungi rumahku. Aku akan mengirimkan alamatnya padamu nanti. Bisa aku minta nomer ponselmu?”
Dakota mengangguk dan mengambil ponselnya lalu memberikannya pada Rain. “Tulis saja nomermu di ponselku.”
“Oke,” jawab Rain dan mengambil ponsel itu lalu dia menyimpan nomernya di ponsel Dakota.
‘Langkah pertama, done,’ batin Rain senang.