Mulai Melukis

800 Words
Dengan langkah santai, Dakota menaiki anak tangga menuju lantai dua mansion megah milik Rain. Suasana pagi yang hangat membuat sinar matahari menyelinap lembut melalui kaca-kaca besar, memantulkan kilauan keemasan di sepanjang dinding bercat krem yang elegan. Di tangannya, dia membawa sebuah tas berisi peralatan dan bahan melukis yang sudah disiapkan sejak kemarin di tas khusus. Dakota mengenakan pakaian yang nyaman pagi ini—sebuah kamisol putih berbahan kaos tipis yang membalut tubuhnya dengan lembut dengan tali kecil di bahunya, serta celana pendek dari bahan kaos yang memamerkan kaki jenjangnya yang indah. Rambutnya dikuncir sampai ke atas dan digelung sedikit berantakan hingga menampakkan leher jenjangnya dan wajahnya yang cantik semakin terlihat mungil. Udara hangat yang masuk dari jendela besar membuat kamisolnya sedikit berkibar ketika dia berjalan pelan menuju ruang perpustakaan yang terletak di ujung koridor. Ruangan itu terletak di lantai dua mansion yang memiliki desain klasik dengan sentuhan modern. Langit-langitnya tinggi, dengan rak-rak kayu jati yang dipenuhi buku-buku tua berjejer rapi hingga mencapai hampir ke langit-langit. Namun sorot mata Dakota langsung tertuju pada sosok pria yang duduk di dekat jendela, menunggunya dengan tenang. Rain. Pemilik mansion sekaligus pria tampan itu langsung beranjak berdiri ketika melihat Dakota datang. Rain menatap Dakota saat wanita itu memasuki ruangan. Sinar matahari yang jatuh dari jendela besar tepat menyinari tubuh Dakota, membuat kulit putihnya tampak berpendar seperti porselen yang memantulkan cahaya. Setiap lekuk tubuhnya, yang terbungkus pakaian sederhana itu, terlihat begitu memukau di mata Rain. Jantungnya berdegup lebih cepat namun dia masih bersikap tenang. Dakota bahkan hanya memakai kamisol yang warnanya pudar dan hampir usang, serta celana pendek kaos yang sangat sederhana. Rambutnya yang diikat asal-asalan justru menambah kesan menggoda yang tampaknya tak disadari oleh Dakota. Namun itu sudah membuat Rain begitu terpesona melihatnya. Dan Dakota sama sekali tidak menyadari betapa terpesonanya Rain saat itu. Ia hanya tersenyum tipis sebelum meletakkan tas peralatan melukisnya di atas meja bundar dekat sofa beludru yang berwarna biru tua. "Hai, maaf menunggu lama,” sapa Dakota. Rain hanya mengangguk pelan. Sejujurnya, dia sedang berusaha mengendalikan detak jantungnya yang berdegup begitu keras. Entah mengapa, melihat Dakota dengan penampilannya yang sederhana justru membuatnya merasa seperti sedang melihat sesuatu yang tidak nyata. "Kau akan menunggu di sini selama aku melukis?" tanya Dakota sambil mengeluarkan beberapa peralatan dan bahan cat dari dalam tasnya. Rain tersentak dari lamunannya dan berdeham pelan. "Ya. Aku ingin melihat proses awalnya. Setelah itu, aku tak akan mengganggumu.” Dakota mendongak dan melihat Rain. "Kau berhak menilaiku selama aku bekerja. Aku tak keberatan jika kau di sini.” Rain tersenyum dan bersorak di dalam hatinya. Dia, berjalan ke sisi dinding dimana Dakota akan melukis. Dakota menatap sekeliling. Cahaya matahari hangat yang masuk menciptakan bayangan lembut di sekitar mereka. Rain menggeser salah satu kursi beludru ke dekat jendela yang terbuka. Angin yang sejuk berembus, membuat tirai tipis berayun pelan. Dakota duduk, mulai mencampur warna di paletnya. Rain, di sisi lain, hanya duduk di sofa yang berhadapan dengan Dakota. Matanya tidak lepas memperhatikan wanita itu yang mulai memoles dinding dengan kuasnya. Keheningan yang ada di antara mereka terasa begitu nyaman. Hanya suara gesekan kuas dengan dinding yang terdengar, sesekali diiringi suara angin yang menggesek ranting pepohonan di luar jendela. Rain tidak bisa berhenti menatap Dakota. Setiap gerakan wanita itu—cara dia mengangkat kuas, mengernyit sedikit saat mencoba mencampur warna, hingga ekspresi puas ketika sapuan warnanya berhasil—semuanya membuat Rain merasa seperti sedang menyaksikan sesuatu yang magis. "Dakota?" "Hmm?" Dakota menjawab singkat tanpa mengalihkan wajahnya. “Kau tak masalah jika kita sambil mengobrol?” “Ya, tak masalah,” jawab Dakota yang tetap fokus dengan lukisannya. Rain tersenyum. “Kau kelihatan ... berbeda jika melukis." Dakota akhirnya menoleh melihat ke arah Rain. "Dalam arti baik atau buruk?" Dakota mengangkat sebelah alisnya. "Baik, tentu saja," jawab Rain, tersenyum kecil. Setelah beberapa saat, Dakota kembali fokus pada kanvasnya. Namun, Rain tahu betul, hatinya sudah sepenuhnya tertawan pada wanita yang kini ada di hadapannya itu. “Oh ya, terima kasih sudah memberi kesempatan ini. Aku tak akan pernah melupakanya,” kata Dakota. “Aku senang menjadi orang pertama yang memberikan kesempatan itu.” Mata Rain tak lepas dari sosok gadis cantik itu. “Aku akan mentraktirmu nanti.” Rain tertawa kecil. “Oke, aku menunggunya.” Dakota hanya mengangguk dan kembali melanjutkan lukisannya. Dan hari itu, di tengah keheningan perpustakaan yang dipenuhi cahaya matahari, Rain menyadari satu hal yang tak dapat disangkal lagi. Dia jatuh cinta pada Dakota. Jatuh cinta pada sikap ketusnya yang begitu cuek. Jatuh cinta pada karakternya yang apa adanya. Dakota sama sekali tak pernah mencoba menarik perhatian Rain, seperti yang biasanya dilakukan oleh banyak wanita padanya. Dan Rain bahkan jatuh cinta pada wajah sinis nan cantik wanita itu, yang justru terlihat menggoda ketika dia melirik tajam padanya. ‘Aku harus mendapatkanmu, Dakota. Ya, kau akan menjadi milikku,’ gumamnya dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD