Good Act Service

968 Words
Dakota duduk di depan dinding dengan penuh konsentrasi. Cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela besar perpustakaan menciptakan suasana hangat, menyinari helaian rambut hitamnya yang keluar dari ikatannya dan tergerai berantakan. Tangan kanannya sibuk mengayun kuas, menciptakan guratan-guratan lembut yang membentuk warna-warna cerah di kanvas putih itu. Sesekali, dia menyipitkan mata, memperhatikan detail karyanya dengan seksama, lalu kembali mencampur cat di palet yang sudah penuh dengan gradasi warna yang dia ciptakan sendiri. Sejak pagi tadi, Dakota tenggelam dalam dunia seninya. Dia bahkan lupa waktu, membiarkan perutnya yang mulai keroncongan diabaikan begitu saja. Melukis adalah segalanya bagi Dakota, dan dia tak ingin momen inspiratifnya terganggu hanya karena masalah sepele seperti makan siang. Rain, yang sejak tadi duduk di sofa di sudut ruangan dengan sebuah laptop di pangkuannya, melirik Dakota dengan ekspresi khawatir. Wanita itu terlalu fokus, terlalu serius, hingga Rain merasa perlu melakukan sesuatu. Perlahan, Rain menutup laptopnya dan bangkit dari sofa. Dia berjalan mendekati Dakota, berhenti tepat di belakangnya sambil mengamati lukisan yang sedang dikerjakan wanita itu. "Lukisan yang indah," ucapnya pelan, namun Dakota hanya mengangguk kecil, sama sekali tak terganggu. Rain menghela napas. Sudah lebih dari empat jam sejak mereka masuk ke perpustakaan ini, dan Dakota belum beranjak sama sekali. "Aku akan menyuruh pelayan menyiapkan makan siang untukmu. Kau butuh tenaga," ucap Rain lagi, kali ini lebih tegas. Dakota mendesah pelan, namun tetap tidak mengalihkan pandangannya dari kanvas. "Aku baik-baik saja, Rain. Jangan khawatir. Aku bisa makan nanti. Aku terbiasa dengan hal ini.” Rain tidak membalas. Dia tahu Dakota terlalu keras kepala. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia keluar dari perpustakaan dan langsung memanggil salah satu pelayan. "Siapkan steak medium rare dengan sayuran dan brown sauce. Bawa ke perpustakaan," perintahnya singkat. * * Lima belas menit kemudian, pelayan kembali dengan nampan perak berisi dua piring steak yang dipotong utuh, seporsi salad, dan dua gelas jus jeruk segar. Rain mengambil alih nampan itu dan membawanya sendiri ke dalam perpustakaan. Saat dia kembali, Dakota masih dalam posisi yang sama. Tangannya yang dipenuhi cat terlihat semakin belepotan dengan berbagai warna, namun hasil lukisannya semakin jelas. Rain menghela napas panjang. "Kalau kau tidak ingin makan dengan benar, aku akan menyuapimu," katanya, suaranya terdengar menggoda namun juga penuh ketegasan. Dakota menoleh sekilas, mengangkat sebelah alisnya. "Kau bercanda? Hei, itu sangat menggelikan.” Rain hanya tersenyum samar, meletakkan nampan di meja kecil dekat sofa, lalu menarik sebuah kursi dan duduk di samping Dakota. "Anggap saja ini bagian dari tugasku. Kau tetap melukis, aku yang akan memastikan kau tidak kelaparan." Sebelum Dakota sempat protes, Rain sudah mulai memotong steak itu menjadi potongan-potongan kecil. Aroma daging panggang yang hangat langsung menyeruak ke udara, membuat perut Dakota yang sejak tadi diabaikannya akhirnya berbunyi pelan. Rain tersenyum mendengar suara itu. "See? Tubuhmu juga protes." Dakota menghela napas panjang, berusaha kembali fokus ke lukisannya. Namun saat potongan steak yang ditusuk dengan garpu diulurkan ke bibirnya, Dakota menatap Rain dengan ekspresi setengah tak percaya. "Aku bisa makan sendiri nanti, Rain. Tanganku masih ... kotor," dalihnya, menunjukkan telapak tangan yang dipenuhi cat biru dan ungu. Rain menggeleng, matanya menatap Dakota dengan sabar namun penuh perhatian. "Kalau begitu, jangan buat aku repot dengan menolak. Ayo, buka mulutmu." Dengan sedikit ragu, Dakota akhirnya menurut. Dia membuka mulut dan membiarkan Rain menyuapinya. Begitu daging steak itu menyentuh lidahnya, Dakota langsung menghela napas pelan. Rasanya benar-benar lezat, juicy dengan saus yang begitu sempurna. Dia mengunyah pelan, sementara Rain kembali memotong daging itu untuk suapan berikutnya. "Enak, kan? Kau tetap bisa melukis dan makan sekaligus," ujar Rain dengan lembut. "Dan aku di sini untuk membantu.” Dakota menatapnya sejenak, lalu mengangguk kecil dan kembali mengayunkan kuasnya di atas dinding. * * Kali ini, Dakota melukis dengan kecepatan yang lebih lambat, seakan menikmati setiap momen yang terjadi. Rain terus menyuapi Dakota dengan sabar, memperhatikan setiap detail kecil pada wajahnya yang mulai memerah, entah karena malu atau hanya efek dari kehangatan di ruangan itu. "Rain ... aku merasa seperti anak kecil," gumam Dakota akhirnya, setelah suapan kelima. Rain hanya tertawa pelan. "Kau memang seperti anak kecil kalau sedang melukis. Terlalu fokus sampai lupa segalanya. Jadi, anggap saja aku melakukan ini untuk memastikan kau tidak pingsan di tengah-tengah karya hebatmu." Dakota mendengus pelan, namun tidak menolak lagi ketika Rain menyodorkan potongan steak berikutnya. Suasana di perpustakaan menjadi lebih tenang. Hanya suara kuas yang menggesek dinding, suara napas Dakota, dan gemerisik piring yang sesekali terdengar saat Rain mengambil potongan daging berikutnya. * * Setelah setengah porsi steak habis, Dakota menurunkan kuasnya perlahan. Tangannya terasa sedikit pegal, namun perutnya yang sudah lebih terisi membuatnya lebih rileks. "Terima kasih, sudah cukup. Aku sudah kenyang," gumamnya, kali ini dengan nada lebih tulus. Rain hanya tersenyum, meletakkan garpu di atas piring kosong yang hampir habis. "Sama-sama. Kau harus ingat istirahat, Dakota. Jangan terlalu memforsir tenagamu. Aku tak mau kau pingsan karena melukis seharian,” ucap Rain yang kemudian memakan steak nya sendiri. Matanya juga menatap hasil lukisan Dakota yang sudah hampir terlihat bentuknya, dengan kagum. Dakota menatap lukisan yang belum jadi itu sejenak, kemudian mengangguk. “Hasilnya tidak buruk, kan?" Rain mendongak, meneliti setiap detail lukisan dengan lebih seksama. "Tidak buruk? Dakota, ini luar biasa," ucapnya tulus. "Kau benar-benar punya bakat yang luar biasa." Dakota hanya mengangkat bahu, tapi wajahnya jelas terlihat senang karena pujian itu. Rain menatapnya lekat, lalu dengan perlahan, mengangkat jemari dan menyentuh pipi serta hidung Dakota yang terdapat cipratan cat di sana. Dakota memundurkan langkahnya. Rain tersenyum tipis. “Di wajahmu ada cat,” ucap Rain. Dakota mengusap sendiri wajahnya, namun bukannya bersih, tapi justru semakin kotor karena tangan Dakota kotor dengan cat. Rain tertawa melihat itu dan dia mengambil ponselnya, lalu memotret foto Dakota yang belepotan cat. “Rain, apa yang kau lakukan?” “Hanya untuk menyimpan kenangan,” sahut Rain santai. “Ck,” Dakota berdecak dan kemudian kembali melukis setelah meminum jus jeruknya. * * *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD