Pendekatan Yang Perlahan Tapi Pasti

855 Words
Rain berdiri di ambang pintu perpustakaan rumah itu, memperhatikan sosok Dakota yang tenggelam dalam dunia seninya. Cahaya matahari sore mulai menembus kaca jendela besar di belakangnya, menciptakan siluet yang indah di sekitar tubuh wanita itu. Tangan Dakota yang berlumuran cat bergerak lincah di atas kanvas, menciptakan guratan-guratan ekspresif yang mulai membentuk sebuah karya yang tampak hidup. Rain mengamati dengan diam, merasa ada keindahan tersendiri dalam pemandangan itu. Dakota tampak begitu fokus, seolah-olah dunia di sekitarnya menghilang sepenuhnya. Namun, di balik kekagumannya, ada kekhawatiran yang mengusik hati Rain. Sudah berjam-jam berlalu, dan Dakota belum beranjak sedikit pun dari tempatnya. Dia menghela napas pelan, melangkah ke sofa kembali tanpa suara. Namun, ketika semakin dekat, Rain bisa melihat bagaimana ekspresi Dakota. Ada ketenangan, namun juga semacam ketegangan yang terpendam di sana. Pandangan matanya tajam, penuh semangat, tetapi ada kelelahan yang tak terucap di balik kelopak mata yang mulai menggelap. “Dakota,” panggil Rain dengan suara lembut, berusaha tidak mengganggu. Namun, seperti yang diduga, Dakota hanya berdehem pelan, masih tenggelam dalam lukisannya. Rain menatap kanvas yang hampir selesai itu. Lukisan abstrak yang penuh warna, namun ada sentuhan emosi yang begitu kuat dalam setiap guratannya. Seolah Dakota melukis bukan hanya dengan kuas, tapi juga dengan perasaannya yang terdalam. Rain mendekat, menyentuh lembut bahu Dakota. “Dakota, kau sudah melukis terlalu lama. Kau harus istirahat, setidaknya duduklah sebentar.” Dakota menggeleng, bahkan tanpa menoleh. “Aku belum selesai. Aku harus menyelesaikan ini sebelum inspirasinya hilang.” Rain menghela napas, mencoba memahami. Dia baru menyadari bahwa Dakota cukup perfeksionis. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ketekunan ini. Sesuatu yang membuat Dakota begitu terobsesi, seolah dia takut kehilangan kendali atas karya yang sedang dia buat. Rain akhirnya melangkah mundur, membiarkan Dakota kembali dengan lukisannya. Namun, bukannya pergi, dia memilih tetap duduk di sofa dekat jendela, memperhatikan dan menemaninya dengan sabar. * * Waktu berlalu perlahan. Dakota tak kunjung berhenti. Kuas yang digenggamnya terus menari, sementara cat mulai mengering di jemarinya. Rain benar-benar kagum dengan semangat Dakota, tetapi juga tak tega melihat wanita itu melupakan dirinya sendiri demi lukisan. Dia mengingat percakapan mereka beberapa waktu yang lalu, tentang Dakota yang begitu tertekan di bawah kendali ibunya, Lindsey. Ibunya selalu menganggap seni sebagai sesuatu yang tidak penting, bahkan sia-sia. Melukis hanyalah buang-buang waktu, katanya. Dakota tumbuh dengan tekanan besar untuk selalu menjadi anak yang “berprestasi” di mata Lindsey, harus mengikuti segala aturan yang ditetapkan ibunya—bersekolah di tempat terbaik, mengambil jurusan yang menjanjikan, dan meninggalkan semua yang dianggap “tidak berguna,” termasuk melukis. Namun kini, ketika Dakota sudah dewasa, ketika belenggu itu perlahan lepas, Rain bisa melihat bagaimana luka masa lalu itu masih menghantui wanita itu. Dakota melukis bukan hanya untuk menciptakan karya. Dia melukis untuk membuktikan pada dirinya sendiri bahwa inilah dirinya yang sebenarnya. Namun, Rain tahu tubuh Dakota bukanlah mesin. Jika terus seperti ini, dia akan jatuh sakit. Akhirnya, Rain bangkit dari sofa, menuju meja kecil tempat beberapa makanan ringan seperti roti dan salad yang tadi disiapkan oleh pelayan. Makanan itu belum tersentuh. Rain berpikir sejenak, kemudian tersenyum kecil. Dia kembali mendekat ke Dakota yang masih saja larut dalam lukisannya. “Dakota,” panggil Rain lagi, kali ini dengan nada lebih lembut namun tegas. Wanita itu hanya menggumam pelan. “Hmm?” Rain tersenyum tipis. Tanpa berkata-kata, dia mengambil sepotong roti dan mendekatkannya ke bibir Dakota. Awalnya Dakota terkejut, menoleh dengan ekspresi bingung. Namun, ketika melihat Rain yang dengan sabar menyuapinya, ada seulas senyum lelah di wajahnya. “Rain, aku …” Dakota berusaha menolak dengan sopan, namun Rain tetap menatapnya dengan penuh kasih. “Kau butuh tenaga untuk melukis lebih lama. Buka mulutmu,” bisik Rain. Dengan sedikit ragu, akhirnya Dakota membuka mulutnya dan menerima potongan roti itu. “Kau menyuapiku lagi. Kau seperti baby sitter-ku saja,” ucap Dakota dengan mulut yang masih mengunyah roti. Rain tersenyum puas, kemudian kembali menyuapi dengan sabar, memasukkan potongan roti satu per satu dan memastikan Dakota benar-benar mengunyah makanannya. Situasi ini begitu intim. Dakota yang biasanya keras kepala kini membiarkan Rain menyuapinya untuk kedua kalinya. Dan Rain? Dia menikmati setiap detiknya. Setelah beberapa suapan, Dakota berhenti melukis. Kuas yang dipegangnya diletakkan perlahan di atas palet, seolah menyadari bahwa tubuhnya memang membutuhkan istirahat. Dia menatap Rain dengan mata yang mulai melembut. “Terima kasih.” Rain mengusap sisa cat di pipi Dakota dengan ibu jarinya. “Aku hanya ingin kau tak sakit dan tetap sehat selama melukis. Aku tahu melukis penting untukmu, tapi aku lebih peduli dengan kesehatanmu. Selalu ingatlah hal itu. Kesehatanmu juga penting.” Dakota mengangguk, sedikit terharu dengan perhatian itu. Baginya, hanya Rain yang benar-benar menerima dirinya sepenuhnya. Rain tak pernah meremehkan impiannya dan bakatnya. “Maaf, aku terlalu terobsesi …” Rain menggeleng pelan. “Bukan obsesi. Ini adalah dirimu. Aku hanya ingin mau menjaga dirimu juga.” Dakota menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Baiklah, terima kasih sudah mengingatkan.” Rain tersenyum, dan kemudian mengangguk. Mata itu saling memandang, wajah Rain tampak mendekat, dan Rain sangat ingin menyentuh bibir itu. Namun, dia menahannya, dia tak ingin ini justru membuat Dakota menjauh. Dia ingin mendekati Dakota secara perlahan dan tak membuat Dakota lari dari dirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD