Sudah seminggu lebih berlalu sejak Dakota mulai mengerjakan lukisan pertamanya di mansion Rain.
Dinding besar yang dia kerjakan dengan penuh ketelitian kini hampir rampung.
Setiap goresan kuas yang melintas di atas permukaan dinding terlihat semakin matang, menggambarkan keindahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Dakota memang melukis dengan penuh konsentrasi. Tangannya terampil, setiap warna yang dia campur dan aplikasikan begitu selaras, membentuk karya seni yang nyaris sempurna.
‘Jika lukisan ini selesai, maka pekerjaannya di sini akan berakhir,’ batin Rain seakan tak menerima hal itu.
Dan Rain ingin menahan Dakota di sana lebih lama lagi apa pun caranya. Pria itu hampir tiap hari menemani Dakota melukis meskipun terkadang harus pergi untuk menyelesaikan pekerjaan pentingnya.
Dakota lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan untuk menyelesaikan lukisannya.
Wanita itu hanya fokus pada pekerjaannya, sesekali mengangguk atau mengucapkan terima kasih ketika Rain membawakan makanan atau minuman untuknya.
*
*
Rain tidak ingin membiarkan Dakota pergi begitu saja. Dia ingin waktu yang lebih lama lagi bersama Dakota.
Wanita itu bukan hanya sekadar pelukis yang dia pekerjakan, tapi wanita yang dicintainya. Meskipun untuk saat ini dia tak ingin membingungkan Dakota dengan perasaannya.
Karena itulah, malam itu, setelah mengamati lukisan Dakota yang sudah hampir selesai, Rain mengambil keputusan.
“Dakota,” panggil Rain dengan suara tenang namun tegas.
Dakota yang sedang menyapukan warna terakhir pada detail langit di lukisan itu menghentikan gerakan tangannya.
Ia menoleh, menatap Rain dengan ekspresi datar seperti biasanya.
“Ya?”
Rain melangkah mendekat, menatap hasil karya Dakota dengan penuh kekaguman.
“Lukisanmu hampir selesai,” gumam Rain sambil menyentuh bagian tepi dinding, berhati-hati agar tidak mengganggu karya seni yang begitu indah itu.
Dakota mengangguk pelan. “Iya, mungkin satu atau dua hari lagi selesai.”
Rain terdiam sejenak.
“Kalau begitu, aku ingin menawarkan pekerjaan baru untukmu.”
Kening Dakota berkerut. “Pekerjaan baru?”
Rain mengangguk, mencoba tetap tenang meskipun dadanya sesak dengan rasa gugup.
“Ya. Aku ingin kau membuat 20 lukisan untukku. Semua dalam ukuran berbeda, sesuai imajinasimu. Aku ingin menaruhnya di kantor dan beberapa perusahaan milikku.”
Mata Dakota melebar. Dia tampak terkejut, tetapi kemudian ekspresinya berubah. Matanya berbinar, meskipun bibirnya masih mencoba menahan senyum.
“Dua puluh lukisan?” ulangnya, seakan memastikan ia tak salah dengar.
Rain mengangguk. “Benar. Aku ingin karyamu menghiasi setiap tempat yang aku miliki. Jika kau bersedia, tentu saja. Dan mungkin masih bisa bertambah jika ada beberapa klienku yang tertarik membelinya.”
*
*
Dakota terdiam, menatap Rain dengan pandangan tak terbaca. Di dalam hatinya, ada rasa haru yang perlahan menghangatkan dadanya.
‘Dua puluh lukisan?’ batin Dakota bersorak senang.
Kesempatan ini adalah hal yang selama ini hanya berani dia impikan. Sejak kecil, seni adalah bagian dari jiwanya.
Namun, semua itu pernah terenggut ketika sang ibu dengan keras melarangnya melukis untuk sebuah pekerjaan.
Bagi ibunya, Lukisan tidak akan memberinya masa depan yang jelas.
Dan sekarang?
Ada seorang pria yang memercayainya. Tidak hanya untuk satu karya, tetapi dua puluh karya.
Hatinya bergetar. Namun, Dakota menahan diri agar tidak menunjukkan terlalu banyak emosi.
“Kenapa aku?” tanyanya, mencoba mencari alasan di balik kebaikan pria itu.
Rain menghela napas.
“Karena aku percaya pada bakatmu, Dakota. Lukisanmu punya emosi. Aku ingin semua orang yang datang ke kantorku merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan saat melihat lukisan ini,” jawabnya tulus.
Dakota tersenyum. Sebuah senyum yang tipis namun begitu tulus, membuat Rain terdiam memandangnya lebih lama dari yang seharusnya.
“Aku ... mau,” ucap Dakota dengan suara pelan namun tegas.
Rain mengangguk, namun di dalam hatinya,d ia merasa seperti baru saja memenangkan sesuatu yang jauh lebih berharga daripada sekadar lukisan.
*
*
Hari-hari berikutnya berlalu dengan kehangatan yang berbeda.
Dakota kini tidak hanya menghabiskan waktu di studio lukis, tetapi dia mulai lebih sering berbincang dengan Rain.
Wanita yang biasanya begitu tertutup itu mulai membuka diri.
Rain sering menemani Dakota saat melukis, meskipun dia hanya duduk di sofa sambil membaca buku atau mengerjakan pekerjaannya di laptop.
Atau terkadang hanya sekadar mengamati Dakota yang sibuk dengan kuas dan catnya.
Namun, kehadiran Rain membuat Dakota merasa nyaman. Bahkan, tanpa sadar, senyum Dakota mulai lebih sering muncul.
Suatu sore, ketika hujan turun dengan derasnya, Rain mendapati Dakota sedang duduk di depan kanvas, namun tidak melukis.
Hanya memandangi tetesan hujan di luar jendela dengan tatapan kosong.
Rain mendekat. “Kau baik-baik saja?”
Dakota tersentak, lalu mengangguk.
“Aku hanya... mengingat masa lalu,” ucapnya pelan.
Rain duduk di sampingnya, menunggu Dakota melanjutkan.
“Dulu ... aku berpikir, aku tak akan memiliki kesempatan ini. Melukis dengan bebas dan menjadikannya sebuah pekerjaan sekaligus hobiku,” lanjut Dakota.
Rain meraih tangannya perlahan, membuat Dakota mendongak. “Kau bisa memilih jalanmu sendiri mulai sekarang.”
Dakota mengangguk. “Terima kasih, Rain. Tanpamu mungkin aku tak bisa melakukan hal ini dan tak akan melangkah sejauh ini.”
Rain tersenyum dan Dakota melanjutkan lukisannya.
*
*